Pakar Hukum Kesehatan Sebut Suntik Vaksin Kosong di Medan Bukan Ranah Pidana, Siap Jadi Saksi Ahli

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Viralnya dimedia sosial soal dugaan suntikan vaksin kosong ke salah seorang siswa SD di Medan. Setelah dilakukan pemeriksaan, polisi menetapkan dokter G sebagai tersangka.

Menanggapi itu, Pakar sekaligus Guru Besar Hukum Kesehatan Universitas Parahyangan (Unpar) Prof. DR. Wila Chandrawila Supriadi SH mengatakan memang betul terjadi kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Namun, sambungnya, dugaan penyuntikan vaksin kosong itu tidak ada akibatnya.

“Fokuslah, gitu akibatnya tidak ada luka berat, tidak ada kematian, itu bukan ranah pidana,” sebut Prof Wila sapaan akrabnya ketika diskusi dengan Ketua MKEK Pusat IDI dr. Pukovisa Prawiroharjo SPS(K), Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpF(K)., SH., LLM., FACLM, dr. Hadi Wijaya MPH., MHKes disiarkan langsung di Chanel YouTobe Kang Hadi Conscience, Minggu (30/1/2022).

Alumni Fakultas Hukum Unpar itu mempersilahkan kasus tersebut masuk kedalam kedisiplinan atau etika kedokteran.

“Kelalaian Nakes ini, unsur kerugian itu tidak ada, kalaulah pidana kerugiannya harus luka berat, cacat, kematian. Kemudian kalau mau dengan gugatan perdata, bisa gak sih, kerugiannya apa? Karena biar bagaimana pun satu tuntutan atau gugatan, mau gak mau atau suka gak suka, faktor akibat itu sangat penting,” kata Wila yang pernah mendapatkan gelar guru besar untuk lima bidang ilmu, yaitu Ilmu Hukum Perdata, Hukum Waris, Sosiologi Hukum, Hukum Kesehatan, dan Metode Penelitian Hukum itu.

Ditegaskannya, polisi sudah mengambil alih kasus viral ini, tentunya ada proses penyelidikan. “Pada saat penyelidikan itu seharusnya dan saya kira sudah, ada kuasa hukum, digelar, barulah naik tingkat penyidikan, ditetapkanlah sebagai tersangka, tentunya ini adalah realita,” jelasnya.

Prof Wila mengungkapkan, kalau kita bicara fakta, harus mencari penyebab dokter G ditetapkan tersangka. Lanjutnya, untuk menetapkan G tersangka itu harus ada dua alat bukti.

“Pertama, ada pengakuan dari dokter dan mengucapkan salah. Kedua, saya tidak tau bukti kedua itu apa, seharusnya bahwa menetapkan tersangka ada pihak dari dokter G, apakah itu advokat atau mengerti “hukum”. Dalam gelar itu harus ada ahli yang mengatakan bahwa ini bukan ranah hukum pidana,” papar Prof Wila yang pernah belajar enam bulan tentang spesialisasi Hukum Kesehatan di Belanda dan dia mendapatkan bimbingan langsung dari Profesor W.B. van Mijn, seorang Guru Besar Hukum Kesehatan dari Erasmus Universiteit Rotterdam itu.

Prof Wila mengatakan pada waktu gelar perkara, ada hak dari calon tersangka ini untuk mengemukakan ahli hukum kesehatan.

“Di tingkat penyidikan ini ada kesempatan lagi untuk memasukkan ahli, saya siap jadi ahli, ke Medan siap, bahwa ini bukan ranahnya hukum pidana, ada gelar nanti, kalau nanti sudah gelar, ada P-16 kasihkan ke Kejaksaan, baru nanti P-21. Jadi sekarang ini menetapkan sebagai tersangka, ya silahkan. Prosesnya dijalan dengan baik sehingga tidak menjadi liar, proses di polisi, jalankan,” tegasnya sambil mengingatkan dokter untuk tidak lalai.

Dugaan Suntik Vaksin Kosong
Dr. Redyanto Sidi, S.H., M.H., C.Med(Pes)., CPArb.

Sebelumnya diberitakan, Ketua Program Studi Magister Hukum Kesehatan Universitas Pembangunan Panca Budi (MHKes UNPAB) Dr. Redyanto Sidi, S.H., M.H., C.Med(Pes)., CPArb menegaskan terkait adanya dugaan kasus vaksinasi kosong kita Junjung Tinggi Asas Praduga Tak Bersalah.

Ketua Tim Kuasa Hukum DPW Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia Sumatera Utara (MHKI Sumut) itu berharap dapat dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).

“Kedokteran MKEK guna mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran standar profesi medis yang diduga dilakukan dokter G tersebut sebagai vaksinator,” kata Redyanto Sidi.

Menurutnya, MKEK harus berperan dalam kasus ini guna mendapatkan kepastian ada atau tidaknya suatu pelanggaran etik. Persoalan ini belum layak dibawa ke ranah hukum, apalagi Hukum Pidana adalah jalan terakhir sebagaimana asas Ultimum Remedium.

“Kita juga menghimbau kiranya masyarakat dapat menunggu proses tersebut dan tidak menanggapi apalagi menjudge secara negative, mari kita junjung tinggi asas Praduga Tak Bersalah (Presumtion Of Innocence) karena kita tidak yakin ada dokter yang memiliki niat tidak baik mengingat sumpah profesi nya termasuk juga dalam pelayanan kesehatan khususnya vaksinasi massal tersebut,” pungkas Direktur LBH Humaniora ini. (Arda)

- Advertisement -

Berita Terkini