Prabowo Membangun Kabinet Keroyokan, Ngeri-ngeri Sedap

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, MEDAN – Totalitas untuk melakukan hal yang berbeda itu butuh sensasi khusus dan juga perbuatan serta tindakan yang serius. Bukan hanya akan berdampak pada dirinya tetapi perubahan yang diharapkan menjadi keyakinan baru.

Kiranya kebutuhan yang mendesak bagi bangkitnya kembali kesadaran untuk merawat dan mempertahankan demokrasi di Indonesia?

Dalam perkembangan demokrasi Indonesia, Pemilu 2024 diyakini sebagai pelaksanaan demokrasi terbesar namun dikatakan sebagai tonggak kematian demokrasi secara dramatis. Pemilu 2024 dengan banyak teatrikal politik yang merusak dan membakar marwah, subtansi sekaligus memutuskan cita-cita luhur para pendiri bangsa.

Disebutkannya jika output politik hanya sekedar memberikan legitimasi searah bagi langgengnya feodalisme yang berkerja sama dengan rejim sedang berkuasa. Produk politik yang nihil akan moralitas dan integritas dengan penyertaan politik transaksional yang brutal dan mengenaskan.

Agenda Pemilu 2024 salah satunya memilih Capres dan Cawapres. Pilpres sudah berakhir dengan segala kompleksitas permasalahan yang berjenjang. Pilpres dianggap berakhirnya politik transaksional baik yang dilakukan oleh elite partai, partai politik dan juga pihak-pihak yang sudah melakukan pertaruhan modal besar. Pemilu sekedar menghasilkan isu kekuasaan dan distribusinya.

Wajar saja jika dalam proyeksi politik mengandalkan jual beli posisi dan juga bargaining politik. Mereka para pihak selaku pemenang Pilpres lebih suka berbagi kekuasan dan kenyamanan. Politik kerjasama yang membahagiakan semua pihak.

Bagiamana mungkin seorang capres yang belum dilantik sudah pasang badan melakukan deal politik khusus dengan berbagi kekuasan. Bukan hanya kartel politiknya yang akan dibagikan dan juga dijanjikan posisi jabatan yang mengiurkan, lawan politiknya pun ditawarkan kelezatan kekuasaan.

Wajar saja jika proyeksi kementrian akan meledak dan presiden terpilih Prabowo Subianto akan membentuk sebuah kabinet yang gemuk. Kabinet bersama untuk menikmati kekuasaan bersama ketimbang kabinet yang efektif dan efesien untuk melayani masyarakat dan simbul pengabdian bagi masyarakat.

Ancaman bagi presiden terpilih bakal melanggar UU berkaitan pemekaran Kementrian hanya untuk berjuang mendistribusikan jatah politik ke para pihak yang akan menjaga, merawat dan ikrar sumpah kesetiaan ke rejim baru Prabowo -Gibran. Perlu diingat, di dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, pengaturan dan pembatasan itu misalnya menyangkut jumlah kementerian yang dibentuk serta pertimbangan-pertimbangan suatu kementerian dibentuk. Terkait jumlah kementerian, UU ini menentukan paling banyak 34 kementerian (Pasal 15). Sekali lagi Prabowo -Gibran dalam kabinetnya harus selalu mendahulukan kepentingan negara dan bangsa bukan justru kabinet baru menjadi tempat persekutuan politik untuk kejahatan kolektif merampas kekayaan dan membunuh demokrasi.

Presiden terpilih mengumbar janji dengan menyertakan entitas politik di Kabinetnya. Tidak berfikir memberikan ruang untuk para pejuang demokrasi steril dari penyakit virus kekuasaan. Justru sebaliknya Prabowo Subianto mengaku akan terus menjalin kerja sama dengan semua kekuatan. Meski begitu, dia tidak mempermasalahkan jika masih ada yang tidak mau untuk diajak kerja sama.
“Indonesia tidak bisa dibendung. Kecuali elit Indonesia tidak bisa atau tidak mau kerja sama.

Kuncinya itu. Dengan demikian, saya akan berjuang terus bersama semua kekuatan yang mau diajak kerja sama. Yang tidak mau diajak kerja sama tidak apa-apa,” kata Prabowo dalam acara Bimtek dan Rakornas PAN di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/5/2024).

Apakah keputusan politik bagi-bagi jabatan dilakukan oleh Prabowo Subianto sebagai upaya meredam konflik dan untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia? Bagiamana nasib janji kampanye “makan siang gratis”?

Oleh : Heru Subagia

- Advertisement -

Berita Terkini