Pelayan Baru

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sebagai kepala negeri Kucing Betina, saya sedang memanggil beberapa kepala daerah, untuk diwawancarai guna membantu menangani tata kelola pemerintahan. Para kepala daerah itu, dari level goberner walaukota, dan baupati. Berasal dari latar belakang berbeda, akademisi, praktisi, pengusaha, juga para agen dunia-akhirat.

Saya punya hobi ngebul sampai berbungkus-bungkus rokok setiap hari, terutama bila sedang ruwet merumuskan dan memutuskan berbagai masalah terkait kondisi negeri kami

Saya tidak mau hal-hal itu dimanfaatkan musuh, rival, serta lawan-lawan politik. Terutama karena saat ini adalah masanya tahun-tahun politik.

Sedikit bau tak sedap bisa menjungkalkan saya dari kursi kekuasaan. Jadi, semuanya harus dibungkus rapi. Atau, Geeduuubraaaak. Saya terjerembab. Hanya gara-gara saya dikampanyekan ngudut melulu dalam kepulan asap tembakau sepanjang hari, ketimbang menyelesaikan sengkarut dan penderitaan rakyat negeri.

Kandidat pertama seorang goberner, orangnya lugas, tangkas, dan trengginas. Sepertinya dia lebih banyak menggunakan ototnya, daripada otaknya. Saya tak tertarik, saya bukan tengah mencari kuli panggul, saya tengah mencari pelayan yang siap menanggung beban saya.

Tapi, untuk basa-basi saya biarkan goberner itu mempesentasikan kemampuannya.

“Saya siap membantu bapak dengan meningkatkan pendapatan asli negeri dan daerah lewat pajak. Semua tanah akan dimanfaatkan hingga berhasil dan berdaya guna. Petani-petani akan kita gusur, dan tanahnya akan kita jadikan pabrik, kawasan industri. Sisa tanah akan kita sewakan kembali kepada para petani, dan akan kita kenakan pajak yang tinggi. Kita buai para petani itu untuk merelakan tanah-tanah pertanian mereka, agar mereka, sewa kembali. Dengan semboyan Pak Tani Pahlawan Negeri”.

Saya mendehem, sedikit terbatuk sambil melirik goberner itu. Ternyata dia salah duga, dia kita saya tertarik atas gagasannya, dan bersiap-siap membentangkan tumpukan kertas berisi ide-idenya brilian, dan mungkin entah ide siapa yang dibajaknya.

Sebelum dia tambah banyak membual, jual kecap. Saya ambil langkah konkrit, “Cukup, gagasanmu akan kita bahas dalam pertemuan selanjutnya”.

Saya lihat sang goberner agak kecewa, tapi mendengar pengharapan dari saya, masih sempat saya mendengarkan ajukannya. “Siap menunggu perintah”.

Saya berdesis dalam hati, saya sedang mencari pelayan bukan buruh kuli panggul.

Kandidat kedua seorang walaukota, muda, tampan dan mempesona. Dia katakan dia akan mensosialisasikan berbagai kebijakan-kebijakan saya kepada warga. Bahkan untuk itu, dia siap menginap dirumah-rumah warga, ikut memasak, sampai membersihkan rumah dan pekarangan warga. Seolah peduli kesulitan-kesulitan anak negeri. Sambil tentunya tidak lupa menjanji-janjikan akan adanya berbagai perbaikan disana-sini. Diselipi harapan, agar dipilih kembali.

Saya tak ingin membuang-buang waktu dengan basa-basi seperti ini. Langsung saya tutup pembicaraan dengan instruksi.

“Untuk urusan teknis, nanti siapkan bahan-bahan agar diberikan kepada para manteri”.

Walaukota itu menunduk hormat, terlihat senyum puas diujung bibirnya. Merasa ide dan gagasannya telah menggoda saya. Padahal, orang muda itu tidak tahu. Nantinya para manteri sayapun, hanya akan menjadikan ide dan dan usulannya, hanya sebagai bahan obrolan, diskusi, alat menghabisi anggaran negeri.

Kandidat selanjutnya, seorang baupati. Perawakannya tidak terlalu tua seperti goberner itu, juga tidak terlihat sangat muda seperti walaukota tadi.

“Bapak tengah menghadapi hari-hari yang sangat berat,” ujarnya membuka bicara.

Helaan nafas panjangnya, seolah menahan himpitan sederetan gunung yang menggantungi pundak. Sambil mengerling, saya melirik kandidat yang satu ini. Meski tengah menunduk, terlihat jelas ada seringai culas diujung bibirnya. Tetapi, entah mengapa saya suka itu.

“Lanjutkan”, kata saya. Ketika melihat dia seolah ingin menghentikan pembicaraan.

Sembari menghembuskan nafas yang tadi dia tahan, dia kembali bergumam.

“Saya prihatin, tidak ada seorangpun yang merasa simpati dan memberikan empati terhadap penderitaan yang bapak alami”, ucapannya barusan, sontak menghunjam kehati ini.

“Ya benar itu, benar sekali. Memang benar, benar sekali memang benar”, saya bersemangat mendengar hujanan kalimat yang keluar dari bibir sang baupati.

“Ya lanjutkan, lanjutkan”, kata saya, melihat baupati tambah berhati-hati melanjutkan kata-katanya.

“Hmmmm, dan itu semua akibat sikap ugal-ugalan para penulis di seantero bumi Kucing Betina yang berlagak bagaikan dewa yang serba tahu,” semburnya berkali-kali.

Saya ternganga, menatapnya lekat-erat terkesima.

“Bapak naik sepeda, mereka tulis tidak kekinian. Kuno dan kolot, serta anti modernisasi. Bahkan beberapa penulis lainnya dengan berani menghina bapak, seolah bapak adalah produk gagal dari masa lalu”.

Saya makin mengangga kian terpesona, bagaikan memang sedang melihat sesosok dewa dan sengaja singgah untuk berada tepat dihadapan saya.

“Bahkan ketika bapak naik motor, guna mengambarkan betapa mulus dan padunya aspal produk asli negeri. Mereka tuding bapak ugal-ugalan dan tidak mencontohkan apalagi memberikan suri teladan.

“Jadi apa yang harus saya lakukan”, tanya saya seraya mendekat, sembari berbisik kepadanya.

Kali ini dia tidak menunduk seperti biasa, tapi menatap langsung kemata saya. Seolah malaikat el-maut, yang siap menjemput.

“Kita penjarakan para penulis-penulis itu. Kita pidanakan mereka biar jera. Mereka yang hanya punya kemampuan menghasut, memprovokasi, bikin rusuh. Menyebar kebencian, mengobarkan perlawanan. Bahkan diam-diam merencanakan makar. Harus kita bungkam,” tegasnya dengan pancaran api kemurkaan yang berkobar-kobar serta berkibar dimatanya.

Saya langsung terkulai lemah dihadapan si baupati, bak melihat seorang pahlawan. Inilah yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Seorang PAHLAWAN.

Tak rela pahlawan saya diambil orang, langsung saja saya salami dia.

“Selamat bertugas. SK Pengangkatan segera menyusul, acara Pelantikan akan segera digelar. Cepat-cepat, diurus ini,” teriak saya kepada beberapa staf bidang surat menyurat yang selalu mendampingi.

Sambil masih terus menggenggam tangannya, saya katakan lagi kepadanya.

“Lanjutkan tugasmu, lakukan apapun yang dianggap perlu”, perintah saya sambil mengusap-usap pundak pelayan baru itu.

Masih terus menunduk, baupati yang kini jadi pelayan baru saya itu, mengucapkan terima kasih.

“Saya siap pasang badan untuk Bapak. Soal pidana dan memenjarakan para penulis itu, akan sepenuhnya menjadi urusan dan tanggung jawab saya. Bapak akan bersih dan clear, dari hal-hal sepele dan remeh-temeh seperti ini,” janji sang Pelayan Baru.

Saya tak sanggup menahan haru, mata saya berkaca-kaca. Baru kali ini, ada yang peduli kepada saya sebagai pemimpin negeri Kucing Betina.

“Jalankan amanah, amankan kepercayaan,” perintah saya seraya beranjak pergi.

Dengan langkah tegap meninggalkan sang Pelayan Baru, yang masih tetap menundukkan wajahnya dihadapan saya.

Sayup-sayup dari arah belakang saya mendengar sahutan dari Pelayan Baru itu.

“Amanah segera dijalankan, Kepercayaan pasti diamankan”.

Saya terus melangkah pasti meninggalkan Pelayan Baru tadi, dengan hati ringan dan nafas lega. Keadaan pasti akan berangsur membaik. Sudah ada yang siap, pasang badan untuk saya.

Baru kali ini saya benar-benar merasa bahagia. Saya tersenyum puas. Diujung senyuman saya, tertinggal seringai culas. Sama seperti seringai diujung senyuman culas sang Pelayan Baru. (alf-140402)

Catatan: Cerita ini hanyalah fiktif belaka, semua nama, jabatan dan tempat bukan mencatat kejadian atau peristiwa.

Cerpen: Alfiannur Syafitri

- Advertisement -

Berita Terkini