Tidak Rasional dan Sengaja Bikin Gaduh, Watak Oposisi di Indonesia

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tahukah kamu, mengapa Indonesia sepertinya selalu ribut setiap ada isu apapun? Soalnya adalah, oposisi Indonesia itu tidak kritis tapi waton berbeda. Bukan untuk kemajuan bangsa tapi sengaja bikin gaduh agar presiden jatuh. Buktinya, oposisi di luar negeri meski kerap bersikap keras, namun untuk penanganan covid mereka satu suara mengikuti pemerintah, no debat. Karena mereka rasional, harus satu komando, kalau banyak yang mengatur maka penanganan tidak berjalan tuntas.

Di Indonesia, oposisi bersikap irasional sengaja menghasut rakyat untuk tidak percaya covid, menolak vaksin dan melawan prokes. Dibikin lunak terus ngelunjak (lihat saat mudik). Ditegasin malah marah (lihat kasus Suramadu). Jika percaya bahwa kesadaran “asal beda” itu muncul dari diri masing-masing warga, tentu keliru. Melainkan ada yang menghasut secara terus-menerus sehingga diyakini sebagai kebenaran oleh sebagian masyarakat. Siapa pelakunya? Oposisi pemerintah.

Oposisi di Indonesia sepertinya tidak akan tidur tenang jika program dan kebijakan pemerintah berjalan baik dan lancar, bahkan inginnya segera menjatuhkan. Rakyat terus dihasut agar tidak terlena oleh keberhasilan pemerintah menerapkan kebijakan dan pembangunan di segala bidang di seluruh daerah. Segalak-galaknya oposisi di luar negeri, namun mereka sepakat dan menghormati konstitusi selesaikan masa jabatan presiden (kecuali terjadi pelanggaran konstitusi).

Di Indonesia hanya berdasar asumsi “rakyat tengah menderita” lalu menuntut presiden mundur. Itu teori dan aturan dari mana? Ketidakpuasan berujung kepada pelengseran? 1998 Suharto mundur memang atas desakan mahasiswa dan rakyat yang merasa marah karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan Suharto ketika itu, mulai dari soal korupsi hingga kekerasan terhadap rakyat sipil (perampasan tanah rakyat, penculikan-pembunuhan aktivis dll).

Saat ini ketidakpuasan atas kondisi yang mana? Mereka yang teriak tidak puas adalah individu-individu kelas menengah-atas saja seperti politikus, pengusaha, masyarakat sipil hingga mahasiswa. Sementara rakyat jelata di pedesaan dan di daerah-daerah justru merasakan banyak perubahan menuju kemajuan atas apa yang sudah dilakukan Jokowi. Jika pun ada yang “teriak”, itu adalah hasil karya oposisi yang selalu menghasut tadi, menebar kebencian serta menyembur berita hoax hingga melempar tuduhan keji.

Rakyat terprovokasi. Sebut lah daerah mana yang Jokowi kalah saat pilpres 2019? Dan dapat dipastikan di sana oposisi menang. Dipastikan pula rakyat di daerah tersebut suaranya sudah mirip suara politikus yang oposisi, hingga saat ini, yaitu: lawan pemerintah! Waton berbeda! Pokoknya bukan Jokowi! Ini pula yang menjawab mengapa Madura seperti itu saat pandemi ini? Bukan soal kultural di mana rakyat hanya mendengar tokoh agama dan katanya pemerintah tidak lakukan pendekatan kultural (sowan) ke tokoh agama.

Mungkin benar rakyat mendengar tokoh agama, namun tokoh agama “mendengar” siapa? Ya mendengar politikus parlemen dan partai yang menang di sana. Pakai apa alatnya supaya menang dan bisa didengar suara mereka? Ya pake uang, apa mempan cuma pakai menyan dan jampi-jampi? Pemerintah tentu sudah melakukan pendekatan yang dimaksud namun (istilahnya) kalah modal, dan bahkan mungkin tanpa modal.

Pemerintah melalui perangkat daerahnya hanya menghimbau dan berharap kesadaran diri tokoh masyarakat dan agama untuk membantu pemerintah memberi pencerahan ke warga terkait bahaya covid. Faktanya rakyat melawan, yang itu artinya tokoh oposisi yang berperan kuat di sana. Tidak ada variabel lain. Tokoh agama hanya sebagai “jembatan” antara politikus oposisi dengan konstituennya. Itulah bedanya watak oposisi Indonesia dengan dii luar negeri.

Oleh : Agung Wibawanto

- Advertisement -

Berita Terkini