Politik Orang di Sekitar Istana, Antara Kekuasaan dan Pelayanan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Apakah selamanya politik itu kejam? Sepenggal syair dari sebuah lagu Iwan Fals sepertinya patut menjadi renungan buat kita. Atau, apakah memang itu yang sudah digariskan di dunia politik?

Menjilat, menghasut, memperkosa hak-hak sewajarnya? Tindakan amoral dari politik tersebut dapat diterima begitu saja sebagai sebuah kewajaran? Jika memang sesuatu yang biasa? Mengapa kita harus teriak, kecewa dan marah?

Politik itu bukan kriminal. Politik juga bukan barang haram yang harus dijauhi. Politik adalah salah satu cabang ilmu sosial yang merupakan turunan dari Etika dan Filsafat.

Sebagai sebuah ilmu, politik sama kedudukannya dengan ilmu sosial lainnya seperti ekonomi, hukum, budaya dll. Semua ilmu sosial akan sangat bergantung kepada manusia yang menjalankannya. Dan sifat manusia itu memiliki kutub hitam dan putih. Tinggal yang lebih dominan yang mana.

Jadi, sepanjang manusia itu ada, maka hitam dan putih, atau jahat dan baik, itu akan selalu ada di manapun. Tidak hanya di dunia politik tapi juga di sisi kehidupan lainnya. Untuk itu, politik pun tidak selama buruk dan busuk.

Masih banyak orang dengan background politik yang menjalankannya penuh humanis menggunakan hati dan pikiran. Tidak perlu jauh mencari contoh. Lihat dan perhatikan orang di sekitar Jokowi. Yang berada di lingkaran istana.

Siapa-siapa para menteri yang semata sibuk ingin berkuasa, dan siapa pula yang sibuk bekerja dengan penuh kesungguhan (sudah beredar list siapa menteri yang mendukung siapa capresnya).

Saya tidak membahas soal dukung mendukung. Itu merupakan hak konstitusi bagi semua warga negara termasuk para menteri. Saya lebih suka membahas soal watak. Dua watak Hitam-Putih manusia itupun ada dalam kabinet Jokowi.

Sangat mudah terlihat siapa yang semata mengejar kekuasaan dan siapa yang tulus melayani rakyat. Saya melihat ada nuansa “putih” yang sangat kuat dalam karakter beberapa menteri berikut, seperti: Basuki Hadimuljono (Men PUPR), Sri Mulyani (Menkeu), Retno Marsudi (Menlu), Nadiem Makarim (Mendikbud), bahkan Risma Triharini (Mensos). Mereka tipe yang menggunakan politik sebagai jalan kebaikan, melayani.

Mereka berkuasa bukan untuk kekuasaan itu sendiri tapi mengabdi kepada rakyat. Mereka tulus berdiri di samping presiden untuk membantu kerja-kerja presiden melayani rakyat. Mereka tidak terlibat bahkan tidak ingin membahas kekuasaan.

Karena bagi mereka kekuasaan manusia itu ada batasnya dan ada masanya. Mereka pun tidak suka yang dikatakan menjilat apalagi membuat petakompli hanya untuk jabatan di istana.

Tidak heran, orang-orang seperti mereka merasa sedih, karena terkena imbas dari persepsi publik (sentimen negatif) yang mengatakan istana ingin berkuasa kembali.

Padahal mereka selama ini merasa sudah bekerja keras secara profesional dan proporsional untuk rakyat. Mereka sudah mencoba jujur bahkan tulus, tapi kemudian hasil akhirnya, mereka turut mendapat getah dari nangka yang tidak pernah mereka sentuh.

Perilaku sebagian menteri dengan hasrat kekuasaan menjadikan mereka kecil di mata rakyat. Pak Bas dikabarkan hingga menangis menerima realita politik saat ini. Apa yang kurang yang sudah diberikan orang-orang seperti Pak Bas ini?

Pada faktanya ia merasa tertekan, bukan soal lecehan publik kepada para menteri di istana. Bukan soal hujatan termasuk tertuju kepadanya. Tapi soal hubungan kebathinan dengan sahabatnya sendiri, presiden Jokowi.

Mereka satu perguruan di UGM. Begitupun Pak Bas dengan Pratikno (mantan rektor UGM). Pak Bas sedih saja karena sahabat-sahabat baiknya lebih suka merencanakan kelanggengan kekuasaan.

Pratikno diketahui sebagai orang yang paling intens mengupayakan jalan mulus bagi Gibran menjadi cawapres Prabowo. Apa yang dilakukan Pratikno tidak disepakati Pak Bas. Begitupun dengan Jokowi yang dikabarkan “membangkang” atau sudah mengabaikan PDIP.

Pak Bas yang merupakan anggota kader PDIP pun merasa bertambah sedih. Meski terdengar sumur bahwa tujuan Gibran masuk ke dalam gerbong Prabowo adalah agar kelompok Islam radikal (Rizieq cs) tidak menguasai Prabowo, namun tetap saja Pak Bas menangis.

Sebuah sumber mengatakan, Pak Bas masih berharap jika Jokowi dapat menyelesaikan jabatannya dengan baik dan tidak meninggalkan cacat politik-hukum. Agar Jokowi tetap dikenang sebagai orang yang bersih.

Pak Bas mengaku tidak marah ataupun kecewa kepada Jokowi, karena tidak bisa. Ia tidak bisa marah dan tidak mungkin kecewa kepada sahabatnya, kepada yuniornya, sekaligus kepada atasannya, presiden Jokowi.

Mereka, para menteri “putih”, kini hanya bisa saling berdoa dan saling menguatkan, bahwa apa yang sudah mereka lakukan tidak sia-sia, tidak dicap sebagai politik kotor dan sebagainya. Mereka ingin tunjukkan bahwa kerja kemanusiaan juga bisa dilakukan di ranah politik.

Mereka sekaligus ingin menjawab lagunya Iwan Fals. Tidak selamanya politik itu kejam, tidak selamanya tiada yang sanggup menghadang. Buktinya mereka bisa berbakti dan mengabdi yang sesungguhnya untuk negeri.

Mereka buktikan mampu menghadang agar istana tidak menjadi rusak seluruh bangunannya akibat rayap bernama kekuasaan. Salam hormat kami, rakyat, untuk para menteri “putih” seperti Pak Bas dkk. Tetaplah mengabdi untuk negeri, pak. Kami butuhkan itu.

- Advertisement -

Berita Terkini