Terbongkar! Gerindra Tidak Senang Jokowi Terlalu Cepat Beri Demokrat Hadiah

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Lintang Timur

Memang sudah diduga banyak pengamat soal dualisme kekuasaan ‘matahari kembar’ Jokowi dengan Prabowo yang bakal berujung malapetaka.

Diam-diam, masing-masing pihak akan mengukur kekuatan bahkan tidak saling percaya. Jokowi merasa dirinya sudah memberi kesempatan Prabowo tampil sebagai capres bahkan Jokowi turun tangan langsung untuk memenangkannya.

Seolah Jokowi sudah berdarah-darah untuk Prabowo dan berani pasang badan. Jadi, Jokowi ingin mengatakan bahwa tanpa dirinya, Prabowo tidak akan ada apa-apanya.

Sehingga pantas jika Jokowi yang memegang kendali kekuasaan. Jokowi juga, di mata pengamat, bukanlah orang yang mudah percaya kepada orang lain. Untuk itu Jokowi harus punya jaminan Prabowo tunduk padanya.

Tentu Jokowi juga tidak menginginkan kasus yang sama pada pemerintahan di Filipina terjadi di Indonesia. Ferdinand Marcos Jr atau yang dikenal sebagai Bongbong, menghianati perjanjian akan berganti kekuasaan dengan Sara, Puteri Rodrigo Duterte (mantan presiden Filipina) setelah 6 tahun Bongbong berkuasa nantinya. Konstitusi masa jabatan presiden di Filipina dibatasi satu periode (6 tahun).

Bongbong dikabarkan akan mengubah undang-undang masa jabatan tersebut demi melanggengkan kekuasaannya. Jika melihat ke dalam politik Indonesia, sebenarnya ada yang agak berbeda.

Usia Bongbong relatif masih cukup muda dibanding dengan Prabowo (72 tahun). Rasanya sulit bagi Prabowo untuk bisa meneruskan kekuasaannya untuk dua periode. Namun bisa juga diserahkan kepada orang terdekat Prabowo.

Jokowi sendiri menghendaki agar putera mahkota, Gibran Rakabuming Raka, akan menjabat sebagai RI pada periode 2029-2034. Bahkan jika mungkin, Prabowo cukup 2-3 tahun saja menjabat untuk selanjutnya diserahkan kepada Gibran (kesaksian Connie RB). Tapi apakah Prabowo atau partainya, Gerindra, mau menerima begitu saja? Menurut bocoran seorang pengurus Gerindra, tentu mereka menolak.

Sumber tersebut memastikan Prabowo yang menjadi komandannya, “Jika pilpres ini Prabowo menang, maka Prabowo dong yang menjadi leader atau komandannya, masa Jokowi? Jokowi kembali menjadi rakyat biasa.

Beliau juga mengatakan akan mengabdikan dirinya pada lingkungan di Solo. Itu wajib, dan kami akan pastikan Prabowo yang menyetir, bukan disetir,” ungkap sumber politisi Gerindra yang tidak ingin disebut namanya.

Dengan begitu nantinya, Prabowo sebagai presiden yang memiliki hak prerogatif memilih menteri-menteri kabinetnya, “Sebagai presiden nantinya, Prabowo akan memegang kekuasaan penuh untuk memilih para menteri.

Yang lain bisa mengusulkan tapi keputusan ada di tangan Prabowo,” ungkap sumber lagi. Dari itu, ia menyesalkan pengangkatan AHY sebagai menteri. Menurutnya, itu hadiah yang kepagian.

“Belum waktunya. Dan lagi, Demokrat itu kan partai koalisi pendukung Prabowo untuk pilpres, bukan partai koalisi pemerintah Jokowi? Ini kan aneh dan kami menyesalkan.

Demokrat 9 tahun menjadi oposisi menentang pemerintahan Jokowi kok sekarang diberi kursi menteri? Yang bener aja? Bukan kami iri, tapi nanti lah. Kalau Prabowo sudah dilantik, pasti Demokrat dapat jatah kursi kok,” tutur sumber yang menjadi anggota DPR RI tersebut.

Apa yang disampaikan sumber dari Gerindra ini diamini oleh pengamat politik, Agung Wibawanto, dari UGM. Agung menganggap wajar jika Gerindra tidak terlalu suka dilantiknya AHY menjadi menteri, “Ya wajar saja mereka tersinggung karena harusnya yang mengatur Demokrat itu adalah Prabowo atau Gerindra sebagai partai utama pengusung Prabowo-Gibran. Di sini Jokowi blunder. Kecuali Jokowi sudah konsultasi kepada Prabowo atau Gerindra,” ucap Agung.

Namun menurut Agung lagi, sepertinya Jokowi sengaja ingin menunjukkan siapa dirinya, “Saya tidak yakin Jokowi konsultasi dengan Gerindra atau Prabowo soal AHY. Saya cenderung melihat Jokowi ingin menunjukkan powernya.

Bahwa dia penguasa dan masih berkuasa. Pemilihan AHY sendiri guna mengunci Demokrat agar loyal nantinya, terutama menghadapi ancaman hak Angket di DPR. Itu soalnya,” terang Agung.

Menurut Agung, Jokowi masih punya soal terkait soft landing jabatannya di Oktober nanti. Agung menilai Jokowi sudah mempersiapkan sejak awal agar parlemen bisa dikuasai dan akan menolak hak angket yang diusulkan.

Atau setidaknya tidak berdampak kepada impeachment seperti presiden Gus Dur, “Makanya di awal Jokowi kan juga ingin mendekati PDIP, dan kemarin mengundang Surya Paloh ke istana,” tambahnya.

Membangun rekonsiliasi bukan barang baru bagi Jokowi. Tentu yang paling fenomenal dirinya berhasil merangkul Prabowo masuk dalam kabinetnya (2019). Tapi sepertinya upaya Jokowi kepada PDIP masih gagal dan ditolak Megawati.

Megawati dengan PDIP nya sendiri siap menjadi oposisi jika memang Prabowo memenangi pilpres. Kembali kepada sumber Gerindra, mereka juga mengaku sudah lakukan pendekatan kepada PDIP.

“Kami ingin pemerintahan yang kuat dengan dukungan mayoritas anggota parlemen juga kan? Makanya kami lakukan komunikasi dengan seluruh partai. Hanya saja, yang ingin kami pastikan bahwa tidak ada istilah ‘matahari kembar’ nantinya.

Prabowo sebagai presiden, Prabowo nahkodanya. Bahkan kami sudah punya rencana di 2029. Tidak mungkin program berjalan hanya dengan 5 tahun berkuasa. Insyallah Prabowo sehat dan mampu,” ucapnya.

Saat ditanya soal rencana 2029 serta bagaimana nasib Gibran, sumber tersebut menjelaskan Gibran akan selesai,

“Gibran hanya dibutuhkan saat ini, tapi nanti ya tidak dipakai lagi. Kami punya banyak kader yang bagus sebagai pengganti pak Prabowo. Sedangkan Jokowi, tentu kami tempatkan di posisi yang layak, mungkin sebagai dewan penasehat presiden. Saya pastikan itu (Gibran tidak kepakai lagi),” pungkasnya.

- Advertisement -

Berita Terkini