Belum Apa-Apa, Bapaslon Prabowo-Gibran Sudah Mendapat Sentimen Negatif

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEES.COM, OPINI – Sudah diprediksi banyak orang dan pengamat bahwa Bapaslon Prabowo-Gibran merupakan pasangan yang rentan. Selain karena figur Gibran yang baru memiliki porto folio menjabat Wali Kota Solo selama dua tahun, tapi juga proses “pertunangan” yang penuh drama, dadakan dan kontroversi. Konsekuensinya, pasangan ini akan mendapat penurunan elektabilitas dibanding posisi hasil survey Prabowo sebelumnya.

Terlebih, swing votter yang tadinya bersikap menunggu, kini sudah mendapat pandangan setelah figur paslon mulai terformulasi. Dari beberapa hasil survey terakhir, pasangan Ganjar-Mahfud sepertinya paling banyak mendapat penambahan. Begitupun pasangan Anies-Imin, meski kecil. Sementara bapaslon Prabowo-Gibran mengalami penurunan. Apa sebabnya?

Tidak lain karena kontroversi yang menimbulkan sentimen negatif terhadap pasangan yang diusung Koalisi Indonesia Maju tersebut. Dari hasil survey kompas, Senin (23/10), disebutkan sebanyak 60% responden menyatakan Gibran cawapres adalah bentuk dari politik dinasti, sementara 24% menyatakan tidak. Dalam pandangan publik secara umum, politik dinasti itu berkonotasi negatif.

Namun demikian tidak semua responden memaknai politik dinasti itu negatif. Pada pertanyaan berikutnya, 47% responden menyatakan politik dinasti menghalangi hak orang dalam berpolitik. Sedangkan 41% menyatakan tidak. Artinya, setidaknya ada sekitar 23% dari 60% yang menyatakan politik dinasti tersebut bukanlah hal yang negatif.

Survey ini menjadi cacatan penting bagi bapaslon Prabowo-Gibran, bahwa terdapat resistensi atau sentimen negatif dari publik sekitar 37% yang menyatakan tidak suka karena dianggap politik dinasti. Prosentase ini berpotensi bertambah. Mereka yang tidak suka bukan hanya menganggap politik dinasti (yang umumnya alasan ini berasal dari kalangan civil society).

Ada pula pendukung atau relawan (aktivis politik) yang (mungkin) tidak mempersoalkan politik dinasti tapi melihat langkah Gibran sebagai penghianatan dan menciderai kepercayaan mereka kepada Jokowi dan Gibran. Sentimen negatif ini juga banyak narasinya berseliweran di lini massa medsos. Belum diketahui memang, apakah suara yang tidak suka tadi (sekitar 37%) bakal lari kemana.

Angka 37% tersebut bisa saja sudah memiliki pilihan di luar Prabowo-Gubran, bisa pula sebagian pemilih Prabowo yang mulai tergerus. Tentu ini merugikan baik secara moral maupun politik bagi bapaslon Prabowo-Gibran. Sementara itu, sentimen positif bisa menghampiri PDIP yang mengusung Ganjar-Mahfud. Di mana PDIP dianggap sudah memberikan dukungan kepada Jokowi dan keluarganya.

Namun ternyata berkesan dikhianati dengan Gibran yang alih-alih turut memenangkan Ganjar-Mahfud, malah ikut kontestasi pilpres bersama lawan. Konteks ini tentu bisa dikapitalisasi oleh PDIP guna meraup simpati masyarakat pemilih. Terlebih PDIP (dari pernyataan beberapa fungsionarisnya) mengatakan tetap menghormati dan mendukung Jokowi, meski dirasakan sakit.

PDIP tidak terlalu menggembar-gemborkan Gibran yang berpindah haluan. Seperti tenang-tenang saja. Publik tentu respek atas sikap yang diperlihatkan PDIP. Jika kemudian Gibran dikeluarkan dari keanggotaan PDIP, publik pun menganggap wajar. Malah banyak yang ingin agar PDIP segera memecat Gibran seperti yang dilakukan kepada Budiman Sudjatmiko.

Bapaslon Prabowo-Gibran sekali lagi harus bekerja lebih keras. Mesin-mesin partai koalisi Indonesia Maju tidak bisa hanya mengandalkan figur saja. Ataupun berharap kepada relawan Jokowi (Jokowi). Mereka harus benar-benar bisa mengemas produk untuk ditawarkan kepada masyarakat pemilih. Kepaduan antar pasangan tersebut pun harus diperlihatkan, mengingat perbedaan yang mencolok dari segala hal.

Tidak mudah menyatukan dua orang yang jauh berbeda untuk bisa jalan harmonis. Terlebih, “pertunangan” ini seperti dipaksakan. Interaksi keduanya memang sudah terjalin meski tidak terlalu lama. Gibran harus memahami karakter Prabowo, demikian sebaliknya. Namun yang terpenting dalam dua hari ke depan ini, terkait pendaftaran Paslon ke KPU.

Ada satu persyaratan yang harus dipenuhi, terutama oleh partai koalisi pengusung yakni, mendapatkan izin Wali Kota Solo kepada presiden Jokowi. Sebelumnya, Jokowi mengatakan bahwa sebagai orangtua, dirinya memberi restu kepada anaknya (Gibran). Namun sebagai presiden, apakah akan memberi izin yang berarti juga merestui Wali Kota Solo (Gibran) ikut dalam kontestasi pilpres sebagai bacawapres Prabowo?

Kita tunggu besok Selasa atau mungkin Rabu detik-detik akhir pendaftaran ke KPU, apakah akan ada drama baru yang mengejutkan lagi? Tinggal inilah satu-satunya, jika ingin dikatakan harapan, yang bisa membatalkan Gibran melenggang pada pilpres 2024, yakni izin dari presiden. Tentu putusan apapun akan berimplikasi dan punya konsekuensi. Presiden dianggap menghalangi hak warga negara, jika menolak. Atau, melanggengkan kekuasaan, jika menerima izin.

Penulis: Agung Wibawanto

- Advertisement -

Berita Terkini