IMPLEMENTASI KUALITAS INSAN CITA DALAM MENCIPTAKAN PEMIMPIN MASA DEPAN DI INDONESIA

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: M Alwi Hasbi Silalahi

MUDANews.com – Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia lengkap dengan sumber daya alam yang melimpah. Seharusnya dengan sumber daya alam yang berlimpah, sebuah negara dapat memakmurkan rakyatnya. “Jauh panggang dari api”, Indonesia dengan segala kelimpahan sumber daya alamnya tidak mampu memakmurkan rakyatnya. Jika berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin pada tahun 2014, presentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 11,25 persen atau 28,28 juta jiwa, maka pada 2015 ada tambahan penduduk miskin sekitar 1,9 juta jiwa.

Kemudian, mampu dianalisis bahwa tidak terwujudnya kemakmuran di Indonesia disebabkan oleh tidak termanfaatkannya sumber daya alam secara maksimal. Tentang sumber daya alam yang tak maksimal itu dipengaruhi langsung oleh pemimpin Indonesia yang tidak mampu mengelolanya. Hal itu adalah tanggung jawab langsung pemimpin-pemimpin di Indonesia.

Masalah di atas adalah masalah terkait materi yang penyelesaiannya tidak sesulit masalah-masalah inmateri yang ada. Masalah-masalah inmateri yang terindikasi adalah krisis nasionalisme, kebangsaan dan masalah-masalah pluralitas. Untuk menyelesaikan masalah inmateri butuh konsep dan komitmen yang terstruktur. Besar biaya dan energi yang harus dikeluarkan. Contoh sederhananya, butuh perbaikan radikal untuk pendidikan di Indonesia.  Banyaknya masalah muncul dari degradasi kepemimpinan di Indonesia yang akhirnya akan terakumulasi sebagai krisis kepemimpinan di Indonesia.

Masalah-masalah inmateri tersebut pasti dipengaruhi oleh karakter-karakter manusia karena karakter akan membentuk pola tingkah. Karakter manusia Indonesia yang banyak berkembang saat ini diantaranya adalah karakter pengikut, pengkhianat, pendusta, hingga penjilat. Karakter-karakter tersebut harus diganti dengan karakter islam yang lebih mementingkan tugas kerja kemanusiaan daripada mementingkan kepentingan pribadi.

Maka dari itu, perlu kiranya ada sebuah gebrakan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. Untuk menyelesaikan sebuah masalah, dibutuhkan tokoh-tokoh untuk dijadikan garda terdepan. Tokoh-tokoh ini harus terdiri dari manusia Indonesia yang memiliki karakter bebas dari sistem kehidupan nyata, tidak memiliki banyak kepentingan, dan beridealime tinggi, singkatnya adalah tokoh yang independentatif. Jawaban dari setiap karakteristik itu adalah mahasiswa. Hanya mahasiswa yang mungkin memiliki sifat independen dan idealisme yang terjaga.

Mahasiswa-mahasiswa itu juga harus diklasifikasikan lebih dalam. Karena dewasa ini banyak mahasiswa yang telah lari dari  fungsi dan tugas sebenarnya. Maka alat ukurnya adalah mahasiswa-mahasiswa yang membentuk sebuah komunitas dan fokus dalam menjaga idealisme dan independensi.

Salah satu yang dapat diklasifikasikan sebagai mahasiswa-mahasiswa dengan idealisme dan independensi yang masih terjaga adalah mahasiswa-mahasiswa yang terhimpun dalam Himpunan Mahasiswa Islam. Himpunan Mahasiswa Islam adalah sebuah organisasi mahasiswa islam tertua Indonesia. Kendati begitu, bukan itu yang melegitimasi Himpunan Mahasiswa Islam sebagai organisasi yang memiliki kualitas lebih dari organisasi sejenisnya. Pepatah klasik membenarkannya, “umur yang tua bukan sebuah garansi dari kedewasaan”.

Bukan hanya satu yang melegitimasi Himpunan Mahasiswa Islam sebagai organisasi yang berkualitas, banyak hal diantarannya yaitu Nilai-nilai Dasar Perjuangan, Tafsir Independensi, Memori Penjelasan Islam sebagai Azas dan Tafsir Tujuan (Mission HMI). Hal-hal itu akan menuntun manusia-manusia Indonesia untuk meninggalkan karakter jahiliyah dan menuju karakter manusia islam. Maka telah terpenuhilah syarat dalam memperbaiki masalah-masalah yang ada di Indonesia. Jika dikerucutkan, Himpunan Mahasiswa Islam memkiliki tafsir independensi dan tafsir tujuan sebagai senjata dalam menumpas biang-biang penyebab masalah di atas. Dengan tafsir independensi, Himpunan Islam harusnya mampu menjaga independensi. Dengan tafsir tujuannya, Himpunan Mahasiswa Islam harusnya mampu menciptakan sebuah inovasi dalam menciptakan sebuah sistem lalu mengabdikannya untuk kepentingan rakyat/ummat.

Sistem itupun jangan dibiarkan hanya menjadi hiasan di dinding-dinding kehidupan sosial Indonesia. Dibutuhkan realisasi dan aktualisasi dari sistem tersebut. Salah satu caranya adalah mentransformasikan konsep sistem tersebut menjadi sebuah produsen pemimpin masa depan Indonesia.

  1. Karakter Manusia Indonesia

Indonesia adalah bumi manusia yang sangat heterogen jika dilihat berdasarkan peradabannya. Terdapat banyak petunjuk bahwa kerajaan-kerajaan kuno Indonesia sangat dipengaruhi oleh peradaban Hindu. Sebaliknya, berdasarkan peninggalan arkeologis serta data antropologis dan filologis, masyarakat Nusantara yang dipengaruhi oleh peradaban India ternyata bukan langsung dating dari India, juga mungkin bukan langsung berasal dari pantai-pantai Cina Selatan seperti biasa diduga. Yang lebih mungkin, penduduk Nusantara merupakan campur-baur kelompok manusia yang berasal dari, dan berkembang di berbagai wilayanh pulau dan daratan disekelilingnya. Keberagaman peradaban Nusantara memastikan bahwa karakter-karakter manusianya pun akan beragam (heterogen).

Peradaban terus berkembang menuju modernitas dan karakter manusianya juga pasti berkembang, namun tetap memiliki kuantitas yang sama, beragam. Beberapa keberagaman karakter manusia-manusia Indonesia jelas terlihat dari zaman kerajaan hingga sekarang. Pertama, tokoh-tokoh masyarakat sebut saja seperti pemuka agama terlegitimasi sebagai kekuasaan yang lebih mutlak dibandingkan pemimpin negara. Pola ini mengikuti budaya kekuasaan pendeta (hierocratic civilization), baik pendeta Hindu maupun Buddha.  Pola budaya seperti ini khas, yaitu raja dipuji, tetapi pendetalah yang dimuliakan. Betapa hebat pun raja, pendeta tetap lebih berkuasa dari pada raja. Pola budaya ini terus menyublim di bumi nusantara hingga menjadi karakter yang cukup kuat mengakar pada mayoritas manusia Indonesia.

Kedua, manusia Indonesia memiliki karakter ketidakdewasaan terhadap pluralitas dan multikulturalisme. Ketidakdewasaan itu tersimbol dalam lemahnya apresiasi atas multikulturalisme tersebut, sehingga yang terjadi adalah pola penyeragaman. Seharusnya untuk merajut pluralism bangsa, maka pola dan strategi pembangunan semestinya lebih berangkat dari paradigm budaya yang apresiatif atas multikulturalisme.

Ketiga, pola membuat patuh manusia lain yang berstatus sosial lebih rendah dan pola korupsi yang diadopsi dari pola-pola kolonialisme. Praktik karakter buruk kolonialisme yang berlangsung hingga berabad-abad tersebut sangat mempengaruhi karakter manusia Indonesia bahkan hingga kolonialisme telah lama berakhir. Baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, praktik membudaki manusia lain dan korupsi sudah sangat menjamur di bumi Indonesia ini.

Itulah tiga karakter manusia Indonesia yang tumbuh dan terus berkembang di Indonesia. Sebenarnya, masih banyak karakter-karakter yang terlihat di setiap manusia Indonesia. Mengerucutkan karakter manusia Indonesia ke dalam tiga karakter tersebut disebabkan ketiganya adalah karakter yang menghambat tumbuh dan berkembangnya karakter pemimpin yang ideal.

  1. Karakter Muslim

Jika karakter manusia Indonesia yang dipengaruhi pola kekuasaan kerajaan-kerajaan kuno dan pola kolonialisme memberikan dampak buruk berupa penghambat timbulnya karakter pemimpin ideal, maka dibutuhkan pola-pola alternatif untuk memperbaikinya. Pola alternatif yang diajukan adalah pola karakter muslim atau karakter manusia Islam. Pola karakter muslim ini kemudian akan mengantitesis tiga karakter manusia Indonesia yang nota bene merupakan penghambat tumbuh kembangnya karakter pemimpin Ideal.

Karakter manusia muslim tersebut adalah pola karakter yang bukan buatan manusia, bukan lahir dari sebuah budaya atau ideologi seseorang maupun sekelompok orang. Pertama, Al-Qur’an dan Hadist adalah tempat mengembalikan segala masalah yang terjadi. Kekuasaan mutlak tuhan dapat disaksikan langsung melalui Al-Qur’an dan Hadist. Ini merupakan antithesis dari pola karakter manusia Indonesia yang menganut paham bahwa pemuka agama merupakan hal mutlak untuk menentukan segalanya.  Jadi dalam praktiknya, karakter manusia muslim yang pertama ini menjadikan Al-Qur’an dan Hadist sebagai hal mutlak yang memegang kekuasaan menentukan setiap permasalahan berikut pemecahannya. Slogan “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist” tentu tidak mengandung masalah penolakan atau penerimaan. Tetapi segi pelaksanaannya akan berbeda. Sebab, di sini menyangkut tingkat pengetahuan dan pengertian: menyeluruh atau parsial, aksentuasi yang tepat atau tidak, latar belakang pendidikan, lingkungan dan kepentingan. Hal ini lebih diperkuat dengan QS. An-Nisa : 59, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”. Jadi, dalam karakter manusia muslim mengarah pada kepatuhan terhadap yang lebih haq dan sempurna, bukan pada tokoh-tokoh yang hanya manusia biasa.(Bersambung)[jo]

- Advertisement -

Berita Terkini