WALHI Sumatera Utara: Kejahatan Hutan yang Berlindung dalam Perhutanan Sosial

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – WALHI Sumatera Utara memaparkan permasalahan tenurial dan buruknya tata kelola hutan di Sumatera Utara. Program Perhutanan Sosial yang digadang Pemerintahan Jokowi sejak periode pertama Pemerintahannya telah berlangsung selama hampir kurang lebih 6 tahun.

Hal itu dikatakan Manager Advokasi WALHI Sumatera Utara Khairul Bukhari, Rabu kepada mudanews.com, Rabu (18/5/2022).

“Di Sumatera Utara, izin-izin perhutanan sosial tersebut telah terbit, namun sampai saat ini masih ditemukan berbagai persoalan di lapangan. Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat Setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan kemitraan kehutanan. (P9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial),” ungkapnya Ari sapaan akrab Khairul Bukhari.

Dalam 2 tahun terakhir, bebernya, WALHI Sumatera Utara menemukan ada 10 kasus konflik perhutanan sosial pasca izin di 6 Kabupaten di Sumatera Utara dengan luas areal mencapai ± 7322 Ha.

“Corak konflik tenurial yang terjadi yaitu, pertama; tumpang tindih penguasaan hutan terjadi antara pemegang izin perhutanan sosial (KTH – kelompok tani hutan) dengan oknum Pengusaha/Pemodal. Akibatnya, KTH yang secara sah telah mendapatkan izin kelola hutan dan memanfaatkan hutan secara lestari harus berhadapan dengan praktik pengelolaan hutan yang merusak hutan; sawit, pertambakan, dan pengambilan kayu untuk kebutuhan industri arang) oleh Oknum Pengusaha/Pemodal,” ungkapnya.

Lanjutnya, Kedua; kebijakan Perhutanan Sosial dimanfaatkan oleh Oknum Pengusaha/Pemodal tertentu untuk mendapatkan akses kelola hutan secara sah dengan menggunakan identitas masyarakat local sebagai pengurus dan anggota kelompok tani hutan. Petani sering dijadikan objek oleh Oknum Pemodal untuk menguasai sumber daya hutan.

“Lemahnya verifikasi teknis dalam proses pengusulan izin Perhutanan Sosial merupakan penyebabnya. Di lapangan, proses tersebut dilakukan tanpa diketahui oleh Petani yang namanya didaftarkan sebagai Pengusul izin Perhutanan Sosial. Akibatnya, setelah terbitnya izin, konflik antara masyarakat dengan pengusaha/pemodal pun terjadi,” ujarnya.

Konflik ini pun, sambungnya, berakibat pada berbagai intimidasi dan kriminalisasi yang dialami Masyarakat. Contohnya kasus kriminalisasi 2 orang Pengurus Kelompok Tani Nipah di Desa Kuala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat di tahun 2021 lalu.

Oleh karena berbagai permasalahan di atas, tegas Ari, WALHI Sumatera Utara mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Sumatera Utara, Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera, GAKKUM KLHK wilayah Sumatera, dan DPRD Provinsi Sumatera Utara untuk:

1. Menginventarisasi dan mengevaluasi izin-izin aktivitas ekstraktif yang di dalam kawasan hutan di Sumatera Utara

2. Menelusuri luasan (30 %) kawasan hutan di Sumatera Utara dan kesesuaiannya dengan daya dukung lingkungan hidup antar generasi

3. Membentuk tim multistakeholder dalam rangka pencegahan kerusakan, penyelesaian konflik tenurial dan penegakan hukum di kawasan hutan

4. Melakukan pendampingan pasca terbit izin perhutanan sosial dan

5. Melakukan evaluasi – proyeksi izin perhutanan sosial

(red)

- Advertisement -

Berita Terkini