Kerbau

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Kita mengetahui bahwa tanah air kita dihuni oleh ribuan kerbau yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Di Indonesia sendiri awal keberadaan kerbau diketahui dari fragmen tulang kerbau yang ditemukan pada ekskavasi di situs-situs arkeologi. Fragmen tersebut pada masa sebelum Megalitik diindikasikan sebagai sisa makanan manusia masa lalu.

Kerbau yang termasuk Famili Bovidae pada awal-awal keberadaannya telah diternakan di India, Malaysia, dan Mesir. Kerbau jinak (bubalus bubalis) berasal dari daratan Lembah indus berkisar 4.500 tahun yang lalu, kemudian menyebar ke cina sekitar 3.500 tahun lalu, dan ke mesir sekitar 800 tahun lalu. Salah satu jenis kerbau jinak, yaitu kerbau air (Water buffalo) Di daerah tropis dan sub-tropis dikenal dengan beberapa nama seperti bhains di india, karabue atau kwai di thailand, carabao di filipina, karbo di malaysia, dan kerbau di Indonesia (Aziz, 1999: 1-11).

Kerbau terbagi dalam dua jenis yaitu; Kerbau berkulit hitam dan kerbau berkulit putih. Kaki kerbau lebih pendek dari pada kaki sapi, kukunya lebih lebar dan takduknya hampir menyerupai bujur sangkar yang panjang atau gepeng.

Penggambaran kerbau pada masa Megalitik atau sesudahnya banyak sekali ditemukan pada bangunan-bangunan monumental dan prosesi tradisi Megalitik. Pada bangunan monumental banyak terdapat kerbau di wadah-wadah kubur, maupun rumah adat. Keberadaan hiasan kerbau ataupun bagian tubuh kerbau tersebut mengindikasikan bahwa kerbau memiliki nilai yang penting bagi pendukung budaya Megalitik. Hiasan kerbau yang ditemukan pada wadah-wadah kubur sering dikaitkan dengan makna-makna religius, seperti sebagai wahana roh ke alam arwah, sebagai bekal kubur maupun untuk menunjukkan sosial di masyarakat.

Prosesi dalam tradisi Megalitik sering menggunakan kerbau sebagai binatang kurban yang mengindikasikan peran kerbau sangat penting bagi sebagian masyarakat Indonesia.

Kerbau sejak dahulu sampai sekarang memiliki berbagai fungsi di antaranya dalam kaitannya dengan sosial ekonomi, kesenian,  dan religi. Kerbau yang berfungsi bertalian erat dengan sosial ekonomi umumnya di jumpai pada masyarakat agraris. Kerbau merupakan binatang domestikasi yang dimanfaatkan bagi kegiatan membajak, menggaru, meratakan sawah sebelum ditanami atau sebagai binatang potong, yang dagingnya diperjualbelikan untuk kemudian dikonsumsi dan bermakna dalam kaitan sebagai simbol sosial dan religi.

Dalam upacara kematian pun kerbau digunakan sebagai binatang kurban. Kerbau tersebut diikatkan pada sebuah tiang kayu yang dipahat menjadi bentuk patung manusia untuk kemudian di tombak hingga mati. Proses penombakan dan pembagian bagian daging kerbau tersebut memiliki aturan tersendiri.

Pada masyarakat pendukung tradisi Megalitik di Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur pendirian bangunan Megalitik berupa susunan batu temu gelang (Compang), upacara yang dilakukan di sini salah satu persyaratannya harus memotong kerbau sebanyak dua ekor sebagai binatang kurban. Sedangkan pada masyarakat penganut  kepercayaan marapu di sumba Timur pada pelaksanaan upacara. Kerbau berfungsi sebagai binatang kurban, bukan kendaraan arwah. Selain binatang kurban, pemotongan kerbau juga dilakukan jika ada pemindahan kubur yang diantaranya disebabkan oleh perluasan jalan, pemindahan kampung dan lainnya.

Upacara Tarik Batu merupakan salah satu upacara yang berkaitan dengan prosesi kematian. Upacara ini biasanya dilakukan oleh kalangan bangsawan dalam upaya pembuatan bangunan Megalitik seperti wadah kubur. Pada upacara ini juga dilakukan pemotongan kerbau disamping babi dan kuda.

Bukan hanya itu saja. Masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara dalam prosesi upacara Saur Matua dan Mangokal Holi, yaitu rangkaian upacara pada prosesi juga menggunakan kerbau berkaitan status  sosial masyarakatnya. Dalam pesta Horja Bius terdapat juga prosesi mangalahat horbo yang merupakan salah satu acara kebesaran masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan penghormatan terhadap leluhur.

Begitu juga masyrakat Batak Karo di Sumatera Utara dalam upacara prosesi upacara kematian dulu juga menggunakan binatang kerbau sebagai binatang kurban, namun pada masa belakangan, kerbau di sembelih hanya dalam kaitannya dengan pemenuhan bahan pangan dalam kegiatan-kegiatan religi.

Sub etnis Batak Karo, memiliki lima rumah jenis adat dan jenis bangunan adat lainnya. Pada umumnya keseluruhan rumah adat dan bangunan adat tersebut pada bagian bubungannya dihiasi dengan hiasan dengan kepala kerbau. Kepala kerbau dibentuk sama sama dengan hiasan kepala kerbau rumat adat Batak Simalungun yaitu bagian kepala dibuat dari jalinan ijuk dan tanduknya menggunakan tanduk kerbau asli. Hiasan kepala kerbau berfungsi sebagai penolak bala.

Pada pesta tahunan yaitu dalam rangka mengucapkan rasa syukur atas hasil panen dan warga kampung dalam keadaan sehat, masyarakat Batak Karo melakukan pesta dengan memotong binatang kerbau sebagai bahan pangan pesta.

Dalam uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa kerbau memiliki peran yang sangat penting hingga masa sekarang ini pada sebagian masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan ditinjau pada fisik dan non fisik. Sisi fisik kerbau merefleksikan tenaga yang yang kuat dan dihubungkan sebagai kendaraan mengingat kekuatan tenaga kerbau dapat diandalkan sebagai pengangkut beban berat. Selain itu diandalkan pada kegiatan pertanian dan badannya yang besar memiliki daging yang cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan makanan. Dari sisi non-fisik dan kekuatan magis yang dimiliki serta nilai ekonomis yang tinggi maja kerbau dijadikan salah satu binatang persembahan yang memenuhui syarat bagi kepentingan yang lebih luas.

Tulisan ini hanya resensi dari buku “Pra Sejarah Sumatera Bagian Utara: Kontribusinya pada kebudayaan kini”. di kesempatan selanjutnya saya akan membahas Geriten dan Tambak.

Penulis : Budiman Daulay (Mahasiswa UISU)

- Advertisement -

Berita Terkini