Kepemimpinan Perempuan: Dimensi Kepemimpinan yang Harmonis dan Humanis

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Cici Indah Rizki, S.H.

Hakikat Kepemimpinan
Sejak ruh ditiupkan ke jasad, manusia sudah memiliki kemerdekaan untuk menentukan sebuah pilihan.

Perjanjian yang dilakukan antara manusia dan Tuhan (melalui perantara malaikat) mengisyaratkan bahwa sejak dalam kandungan manusia memiliki kuasa untuk memimpin dirinya dan menentukan takdir hidupnya kedepan.

Jiwa kepemimpinan melekat sedari manusia dalam bentuk janin, dan jiwa itulah yang lahir dan tumbuh besar bersama dengan tumbuh kembang manusia.

Demikianlah hakikat manusia, yakni seorang pemimpin lahiriah yang bertugas menjadi khalifah di muka bumi, manusia yang merdeka.

Kemerdekaan manusia tak luput dari sebuah kebebasan yang menjadi arah kebijaksaan (wisdom) personal. Antara manusia yang satu dengan yang lainnya memiliki kebijaksanaan yang berbeda.

Karakter, pola didik, kebiasaan, cara pandang, dan berbagai indikator yang lain mempengaruhi kebijaksanaan seperti apa yang akan dijalaninya. Lantas ketika sebuah kebijaksanaan itu memiliki nilai yang keliru dan tidak sesuai dengan norma kebajikan, apakah seseorang tidak pantas untuk merdeka?

Hal ini kerap menjadi pertanyaan berantai yang mana selalu ada pembelaan dan bantahan setelah diberi jawaban. Pada akhirnya, manusia selalu ingin kembali ke hakikatnya menjadi merdeka, baik terhadap keyakinannya maupun pilihannya. Maka dari itu, kebijaksanaan perlu dilandasi dengan keimanan, ketakwaan, serta pilar-pilar kebajikan agar kemerdekaan tetap pada koridor ketuhanan.

Dalam memimpin diri sendiri, manusia hanya perlu menggali pelajaran dan mengimplementasikan nilai-nilai yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Namun untuk menjadi pemimpin bagi orang lain, terlebih dahulu manusia harus memerdekakan dirinya, mematangkan kebijaksanaan, memperkuat aspek ilahiyah, serta berbagai bekal lainnya.

Manusia harus selesai dari dalam dirinya untuk memegang amanah yang besar, karena menjadi pemimpin bagi orang lain adalah hal yang tidak mudah. Pemimpin menjadi penanggungjawab dan mengkoordinir seluruh anggota yang dipimpinnya, serta seluruh anggota mengikuti arahan dari pemimpinnya dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Namun kembali lagi pada dasarnya, bahwa setiap orang adalah pemimpin yang mana masing-masing memiliki peran dan tanggungjawab individu. Setiap orang akan terus berinteraksi untuk mencapai tujuan. Hubungan inilah yang dinamakan kepemimpinan (leadership).

Pertentangan Dalil
Sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, kriteria dasar untuk menjadi seorang pemimpin adalah sebuah kesiapan dan bekal yang matang. Kriteria ini bersifat universal yang mana tidak ada diskriminasi terhadap satu golongan, agama, ras, suku, gender, maupun jenis kelamin.

Allah SWT berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi’. Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah:2/30).

Dalam ayat ini dikatakan bahwa manusia dijadikan Allah sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. Ke-universal-an ayat ini menyatakan bahwa menjadi khalifah adalah sebuah fitrah.

Ayat ini juga menyiratkan sebuah kemerdekaan bagi manusia, yakni tidak ada dinding pembatas antara manusia, baik itu tua atau muda, dari ras Eropa ataupun Asia, entah itu laki-laki atau perempuan. Islam menjunjung tinggi nilai kesetaraan secara general. Tidak ada perbedaan hakikat penciptaan manusia karena semua sama di hadapan Allah.

Walaupun Allah telah menegaskan didalam Al-Qur’an mengenai kesetaraan, akan tetapi selalu ada misunderstanding dalam memahami makna dari ayat tersebut. Beberapa pihak menganggap laki-laki dan perempuan itu memiliki peran yang berbeda, bahkan menganggap kata “khalifah” hanya diperuntukkan khusus laki-laki.

Pada implementasi masyarakat sehari-hari, ayat ini sering dibenturkan dengan ayat lain, yakni firman Allah berikut: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.

Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.

Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (Q.S. An-Nisa’:4/34).

Ayat di atas seakan menjadi tembok pembatas antara laki-laki dan perempuan yang mana pada ayat sebelumnya Allah menegaskan kesetaraan. Namun M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menyiratkan bahwa makna ayat tersebut ialah laki-laki pemimpin bagi perempuan dalam konteks kepemimpinan keluarga.

Artinya, dalam konteks kepemimpinan diluar ikatan suami istri, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama termasuk kepemimpinan di ranah sosial maupun politik.

Bagi orang yang tidak memahami penafsiran kedua ayat di atas akan memperdebatkan pertentangan kedudukan perempuan. Diskriminasi pun terjadi di berbagai lini kehidupan dari masa ke masa, bahkan diskriminasi tersebut melebur bersama masyarakat menjadi sebuah budaya yang sering disebut patriarki. Hal inilah yang harus ditepis agar semua manusia dapat mendapatkan keadilan dan haknya untuk merdeka.

Masculine dan Feminine
Laki-laki dan perempuan diciptakan dengan berbagai perbedaan. Meski kedudukannya sama di hadapan Allah, perbedaaan yang dimaksud adalah dari segi fisik dan karakter yang kemudian akan menjadi kodrat.

Laki-laki diciptakan dengan energi maskulin yang dominan, sedangkan perempuan diciptakan dengan energi feminin yang dominan. Maskulin dan feminin merupakan bagian dari Hukum Polaritas (Law of Polarity), yang mana kedua energi ini seperti dua kutub yang berlawanan. Maskulin adalah kekuatan dan logika, feminin adalah kelembutan dan perasaan.

Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedua energi ini, tinggal bagaimana individu menyelaraskannya dalam berbagai kondisi. Misalnya ketika seorang laki-laki menjadi guru SD, maka sifat femininnya harus didominankan, karena mengajar anak-anak harus mengayomi dan memberikan kasih sayang.

Namun ada momen dimana sifat maskulin harus ditonjolkan, seperti saat ada anak yang berbuat salah, maka sebagai pengajar harus tegas untuk mendisiplinkan siswanya.

Sebaliknya saat seorang perempuan bekerja, ia harus bisa menonjolkan atau mendominankan sifat maskulinnya. Ia harus menjadi pekerja keras, dan tentu harus berpikir logis dan rasional.

Kedua energi ini ada dan mengalir bersama dalam diri manusia menciptakan keseimbangan karakter, dimana hal ini penting untuk menjaga kemurnian akal dan hati manusia. Kalau kedua hal ini tidak diselaraskan maka akan mencederai keberlangsungan hubungan antar manusia (habluminannas).

Bayangkan saja, jika semua orang terlalu menggunakan akal, berapa banyak orang yang akan tersakiti karena egosentris satu pihak. Dan jika semua orang terlalu menggunakan hati, berapa banyak masalah yang akan terjadi karena tidak mampu tegas dalam bersikap.

Jika sebelumnya telah dibahas untuk menjadi pemimpin manusia harus selesai dari dalam dirinya, maka menyelaraskan kedua energi ini merupakan salah satu persiapannya.

Kepemimpinan Perempuan
Menjadi pemimpin adalah hak semua manusia. Kemudian menjadi pemimpin kelompok masyarakat atau organisasi berprinsip pada aturan dan norma yang berlaku dalam masyarakat atau organisasi tersebut.

Tak ada yang berhak membatasi ataupun menghalangi siapapun yang hendak menjadi seorang pemimpin selagi seseorang memiliki i’tikad dan kelayakan menjadi seorang pemimpin, tidak memandang suku, ras, agama, warna kulit, apalagi jenis kelamin.

Sebab, sering kali keidealan ini dirusak oleh pihak-pihak yang merasa ia atau kelompoknya yang lebih hebat. Sama halnya dengan anggapan perempuan tidak layak menjadi pemimpin yang digaungkan oleh laki-laki patriarki, mereka merasa laki-laki lebih hebat dari perempuan sehingga merekalah yang lebih pantas menjadi leader ketimbang perempuan.

Jika menelusuri ke belakang, begitu banyak penindasan dan diskriminasi yang ditujukan kepada perempuan. Paham patriarki yang merupakan doktrin barat mengakar sejak lama menjadi sebuah budaya yang sulit dihilangkan, bahkan hingga sekarang.

Padahal pada masa Nabi Sulaiman AS ada sebuah wilayah bernama Saba’ yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Balqis. Akibat doktrin-doktrin filsuf patriarki yang naik daun sejak zaman Yunani Kuno seakan mengubur tinta sejarah peradaban yang besar di tangan perempuan.

Hal ini terus berlajut hingga Islam datang menumpas kejahiliyahan serta membawa perlindungan terhadap perempuan. Disinilah titik balik peradaban, yang mana dahulu perempuan direndahkan kemudian Islam memberikan kemuliaan pada perempuan, yang mana dahulu perempuan selalu dibungkam dalam rumah lalu Islam mengembalikan hak perempuan yang telah lama hilang.

Peradaban Islam melahirkan tokoh-tokoh perempuan seperti Sayyidatina Khadijah binti Khuwailid yang merupakan istri pertama Nabi Muhammad SAW yang membantu jihad Rasul dan ikut serta dalam perjalanan dakwah beliau, kemudian Sayyidatina ‘Aisyah binti Abu Bakar yang menjadi perawi ribuan hadits, dan ada Nusaibah binti Ka’ab yang terjun langsung dalam Perang Uhud melindungi Rasulullah.

Di Indonesia juga terdapat tokoh pemimpin perempuan yang sangat berjasa bagi bangsa seperti Laksamana Malahayati, perempuan pejuang Aceh yang ikut bertempur melawan Portugis di Selat Malaka. Kemudian dari dari Minangkabau ada Rahmah El Yunusiyyah yang merupakan pejuang pendidikan Islam di masa penjajahan.

Perempuan dan Ambisi Nurani
Peran adalah produk dari kebiasaan masyarakat, dikemas menjadi budaya yang perlahan melebur menjadi norma terikat. Apabila ada yang bersikap berbeda dari kebiasaan, maka akan dianggap tidak wajar.

Ditinjau dari kebiasaan, perempuan memiliki peranan yang sangat kompleks, baik itu sebagai anak, istri, ibu, maupun anggota masyarakat. Sejak kecil, kebiasaan menuntut perempuan untuk berpikir dewasa.

Contohnya seperti ia harus diajari menyapu, mencuci, memasak, apabila ada adik ia harus mampu mengurus adik, serta tanggung jawab lainnya. Sampai ketika perempuan dewasa, bila ia tidak bisa mengerjakan pekerjaan domestik maka ia dianggap bukan perempuan yang baik. Berbeda dengan anak laki-laki yang dibiarkan bermain menikmati masa kanak-kanaknya.

Perempuan lebih terbiasa mengemban amanah dan tanggung jawab daripada laki-laki. Perempuan juga memiliki kecerdasan emosional yang lebih matang dari laki-laki seperti dalam hal kepekaan, mengendalikan perasaan marah, takut, dan sedih.

Perempuan juga lebih tenang dalam berpikir dan bersikap ketika menghadapi kesulitan. Sekali lagi, hal ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil mengenai tanggung jawab. Inilah yang menjadikan perempuan lebih terampil dalam menyelaraskan energi maskulin dan feminin.

Kebiasaan itu juga yang membuat perempuan menjadi manusia yang kompleks. Namun kompleksitas peranan perempuan tersebut bukanlah untuk mengekang kebebasan perempuan dalam berekspresi, namun menjadi bukti untuk membungkam pernyataaan-pernyataan yang mendiskreditkan perempuan.

Saat ini kita melihat banyak perempuan memimpin di berbagai instansi, organisasi, maupun kelompok masyarakat. Pembawaan perempuan yang tegas membawa arah kebijakan yang lebih santun dan demokratis. Sifat hangat perempuan juga mampu menggerakkan hati orang-orang sekelilingnya, sehingga lebih produktif dalam menyelesaikan tugasnya.

Kelembutan perempuan juga bisa menciptakan keharmonisan dan kekeluargaan di dalam instansi atau organisasi. Perempuan juga lebih teliti dan perfeksionis dalam bekerja yang mana itu semua merupakan sifat feminin yang diselaraskan dengan sifat maskulin.

Menjadi pemimpin bukan hanya memberi perintah namun juga mengayomi anggotanya, bukan pula dipandang hanya dengan ketegasannya namun juga dengan ketenangannya dalam menyelesaikan masalah, serta bukan juga dinilai dari seberapa patuh anggota terhadapnya namun juga seberapa loyal dan hormat anggota kepadanya.

Oleh karena itu, banyak masyarakat yang menilai apabila perempuan memimpin, maka instansi ataupun organisasi akan lebih terarah dan kompak. Tentunya dalam suatu instansi ataupun organisasi terdapat banyak dinamika dan konflik yang terjadi.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa perempuan lebih tenang dalam berpikir dan bersikap, sekalipun ketika dalam kondisi menghadapi kesulitan. Setiap pemimpin baik laki-laki maupun perempuan harus lebih detail dalam menganalisis konflik sehingga dapat membuat keputusan yang bijak untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Namun semua ini kembali lagi ke masing-masing individu, karena setiap instansi atau organisasi memiliki standar kelayakan pemimpin yang berbeda-beda. Satu hal yang perlu digarisbawahi, setiap manusia adalah merdeka, setiap manusia adalah khalifah, setiap manusia memiliki kebebasan yang hanya bisa dibatasi oleh aturan ilahi.

Menjadi pimpinan adalah pilihan, namun jiwa pemimpin adalah mutlak karunia Allah yang bersandar pada diri manusia sejak sebelum dilahirkan hingga manusia menutup mata.

REFERENSI
Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003).
Bourdieu, Pierre. Dominasi Maskulin. Terjemahan Stephanus Aswar Herwinarko. Judul Asli: La Domination Masculine. Tahun 1998. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Dagun, Save M. Maskulin dan Feminin: Perbedaan Pria-Wanita dalam Fisiologis, Psikologis, Seksual, Karier dan Masa Depan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992).
Drydakis, Nick. etc. Masculine vs Feminine Personality Traits and Woman’s Employment Outcomes in Britain : A Field Experiment. IZA – Institute of Labor Economics. No. 11179. November 2017.
Fatimah, Siti. dkk. The Masculinity and Femininity Traits of Female Character In Roth’s Instrugent Novel. Jurnal Ilmu Budaya. Vol. 3. No. 4. Oktober 2019.
Fromm, Erich. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki: Kajian Komprehensif Tentang Gender. Yogyakarta: Jalasutra, 2007.
Muniruddin, Said. Bintang Arasy : Tafsir Filosofis – Gnostik Tujuan HMI, Cet. ke-2, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2017).
Hidayat, Rahmad. Maskulinisme dalam Konstruksi Ilmu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2020.
Padmi, Made Fitri Maya. Female Masculinity and Power Relation in Patriarchic System: Case Study Tomboyism of Bacha Posh in Afghanistan. Nation State: Journal of International Study. Vol. 1 No. 1. Juni 2018.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Jilid II, Cet. ke-4, (Tangerang: Lentera Hati, 2005).
Tarigan, Azhari Akmal. NDP HMI: Teks, Interpretasi, dan Kontekstualisasi, Cet. ke-2, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2021).

- Advertisement -

Berita Terkini