Kalkulasi Kesadaran dan Kesadaran Kalkulasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh : Zamzam Bukhori (Founder Utang Rasa)

“Bisa jadi, anak-anak belum bisa berpikir jernih sehingga sulit diingatkan. Tapi, bisa jadi pula, orang-orang dewasa merasa sudah bisa berpikir jernih, sehingga justru semakin sulit diingatkan.”

Kalkulasi. Itu yang ada dalam kedirian kita sebagai manusia. Selalu ada perhitungan dalam setiap tindakan dilakukan. Mulai dari kebaikan yang diupayakan, sampai dengan keburukan yang sengaja diciptakan. Keduanya sama-sama melalui perhitungan.

Tentu itu merupakan hal yang biasa dan tentu sah-sah saja, melihat kebebasan kendali yang sengaja Tuhan berikan. Kendali atas pikiran, perasaan, ucapan, juga perbuatan.

Pun juga tidak ada salahnya jika hal-hal demikian mesti kita (manusia) tinjau ulang kembali. Sebab, dalam beberapa momen dan potret, kebebasan kendali yang Tuhan sengaja berikan pada kita sebagai manusia justru membuat kita terlalu mengkalkulasi hal-hal yang seyogyanya berjalan mengalir sebagaimana mestinya. Pengkalkulasian tersebut akhirnya selalu berujung pada sebuah pengharapan.

Sebagai contoh, saat kita coba mengupayakan ‘kebaikan’, entah melalui perbuatan dan ucapan, dalam beberapa hal kita selalu berharap agar semua itu mendapat balasan.

Seolah-olah dalam segala hal, harus ada timbal balik. Seperti saat kita membantu seorang teman, nyaris di kemudian harinya, kita berharap dan percaya bahwa kelak kita pasti akan dibantu olehnya.

Semacam hutang jasa politisi A ke politisi B, namun pada level kita, hal seperti ini tampil dalam potret yang lebih halus dan lumrah. Pengkalkulasian yang terjadi seringkali berubah menjadi pengharapan dan apabila nantinya realita tidak sesuai dengan harapan, maka kegusaran pun bertahta.

Dalam hal ‘keburukan’ yang sengaja kita ciptakan pun, selalu ada kalkulasi yang berubah menjadi pengharapan, namun dalam potret yang berbeda.

Seperti saat kita melakukan ‘keburukan’ pada orang lain, dengan dalih bahwa itu tak seberapa maka harus dimaafkan dan berharap tak mendapat balasan. Melihat potret keduanya, ada ketidakadilan dalam pikiran dan itu merupakan kalkulasi kesadaran.

Hal ini akan menciptakan pusaran-pusaran yang dapat menenggelamkan kesadaran, sehingga akan mengakar, menular, serta menjalar dan berbuah pada kesepakatan kolektif bahwa, harus selalu ada kalkulasi kesadaran dan pengharapan dalam setiap tindakan kita pada orang lain.

Tentu ketidakadilan semacam ini perlu ditinjau kembali agar tak menjadi kejumudan yang maha. Kita mesti menaikkan grade kita sebagai manusia yang manusia.

Grade kita hari kemarin yang masih terkungkung pada anggapan bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan pada orang lain harus dibalas serta keburukan yang kita lakukan pada orang lain kita anggap tidak seberapa lantas tak harus dibalas, agaknya sudah seharusnya ditinggalkan.

Karena hal itu membuat kita lupa dan tidak melihat perbuatan baik yang kita lakukan, itu justru sudah menjadi upah dan balasan untuk kita sendiri. Sebab jika kita masih terjebak dan terkungkung dalam grade yang lama dimana selalu harus ada upah dan balasan, itu bagaikan mata menuntut imbalan karena sudah melihat, atau kaki meminta imbalan karena sudah melangkah.

Padahal, itu memang rancangan mereka (mata dan kaki). Kita seperti meminta upah atas fungsi kita sendiri. Begitu juga kita sebagai manusia yang diciptakan untuk membantu sesama. Alam menuntut kita untuk saling membantu dan bekerja sama. Dan ketika kita membantu sesama, kita melakukan apa yang sudah dirancang untuk kita. Kita melakukan fungsi kita.

- Advertisement -

Berita Terkini