Adil yang Sebenarnya

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Nurfatma Aulia

Adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar dan tidak sewenang-wenang.

Sebelumnya, kehidupan yang adil itu yang bagaimana?

Apakah bagi buruh harian tanpa kontrak, yang gajinya jelas-jelas jauh jauh di bawah UMR (upah minimum regional), hidup ini adil?
Apa menurut pekerja kantor yang setiap berangkat kejar-kejaran dengan waktu karena takut telat dan dimarahi bos, lalu saat pulang kusut masai–dasi di leher melonggar, lengan kemeja digulung hingga siku, rambut berantakan muka tak keruan, menurut mereka adilkah hidup?

Untuk pedagang asongan di lampu merah, di pom bensin, di mana pun, lebih sering terpanggang panas matahari atau rela hujan-hujanan, menawarkan dagangan dari satu mobil ke mobil lain, hidup sepemahaman mereka memangnya adil?
Lalu taipan-taipan tua yang ongkang-angking kaki tapi bergaji tinggi, coba tanyakan hidupnya dirasa adil atau tidak?

Pebisnis yang bolak-balik luar dalam negeri, telpon sana-sini, presentasi, promosi, negosiasi berhari-hari. Sedikit sekali waktu bersama keluarga. Hidupnya sudah adil atau belum?

Lantas, adil itu adanya bagi siapa, Bung?

Bagaimana dengan investor yang tiap bulannya punya penghasilan cukup besar-sebenarnya. Tapi ia berucap kurang, di luar naik turun pasar saham.

Sedangkan, di bumi yang sama, terhalang pagar tinggi, dinding kokoh, berjarak sekitar tujuh rumah saja, seorang perempuan berumur paruh baya tersenyum.

Ia baru saja mendapat gajih setelah sebulan ke belakang menjadi pembantu rumah tangga di salah satu keluarga terkaya dekat sana, malam nanti ia dan anaknya bisa makan daging, sudah lama sekali mereka mengusir lapar dengan teman tempe atau tahu.

Bagi satu keluarga lengkap, satu atap, tiap malam malah saling berteriak. Sang ibu untuk kesekian kalinya melihat si ayah sedang dengan perempuan lain. Hei, siapa yang salah? Si anak sudah beranjak dewasa, kebiasaan orang tuanya tak ubah jua.

Untuk ibu yang seorang diri membesarkan buah hati, menutup sebisa mungkin kekurangan dengan jadi kepala-kaki, kaki-kepala. Mana peduli orang lain dengan luka batin atau rasa lelahnya.

Seberapa adilkah keadaan masing-masing?

Adil itu apa bentuknya?

Mungkin tulisan di atas kertas, buku, dokumen, atau apalah yang ‘super penting’ sebuah Negara?
Bisa jadi, adil itu pernah ada. Eh, masih ada. Tapi terbawa angin, suara lalu-lalang kendaraan.

Lenyap di antara bising mesin yang merobohkan satu, dua, empat; makin hari bertambah banyak puing-puing rumah. Pemiliknya mengeluh harga ganti tak sebanding.

Atau jangan-jangan, tertelan omongan sendiri. Bilang adil itu harusnya sama rata, padahal tiap sesuatu beda-beda porsi.

Duh, satu kata ini merumitkan sekali, bukan?
Kita jadi banyak tanya pada diri sendiri. Apa kita mendapat ‘yang adil itu?’ siapa yang bisa memberikannya?

Sayang sekali, banyak kepala lupa. Adil bukan hanya tentang ‘menyamaratakan’ tapi juga ‘memberi atau mendapat yang sesuai.’ menyesuaikan yang seharusnya, menimang seberapa besar baik buruk yang akan didapat.

Sebenarnya, adil sesederhana itu. Adil ada pada diri kita sendiri, pada rasa cukup, pada menerima dengan lapang, dan bersyukur atas yang dipunya.

Tapi, kadang adil juga banyak celanya. Tak bisa dipaksa harus bagaimana. Kembali pada paham baik satu sama lain, bahwa demikian kehidupan. Semoga adil itu panjang umurnya.

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

Berita Terkini