Sejarah Sebagai Sumber Pengetahuan

Sejarah Sebagai Sumber Pengetahuan
Ilustrasi

Oleh: Ibnu Arsib Ritonga

MudaNews.com – Pengetahuan salah satu unsur (selain iman dan amal saleh) adalah sesuatu yang harus diperoleh atau dicari oleh setiap manusia. Manusia diciptakan lengkap dengan akal, sehingga ini salah satu yang membedakan dia (baca: manusia) dengan makhluk ciptaan lainnya. Maka dari itu, dengan akal yang diberikan kepada manusia, dia mampu mengakses pengetahuan yang telah ada, baik “ada” yang telah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Dengan daya intelektual yang dimilikinya, maka manusia mampu menangkap suatu pengetahuan.

Dalam tulisan sederhana ini, penulis tidaklah membahas tentang apa itu pengetahuan? Pengetahuan yang seperti apa yang dimaksud? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mari kita sama-sama membaca buku yang membahas tentang yang demikian.

Penulis pada kesempatan kali ini, membahas salah satu sumber untuk mendapatkan pengetahuan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia. Sering kita menganggap bahwa sumber pengetahuan itu cukup dengan pikiran (rasionalitas), pengalaman indrawi, hati, jiwa dan lain sebagainya. Masing-masing pengikut aliran tersebut pun saling mengklaim mereka yang benar.

Sumber pengetahuan, kalau kita baca diberbagai buku filsafat ilmu atau yang membahas tentang epistemologi, tentu banyak ragamnya. Pembangian itu pun tidak lepas dari pendapat seorang filsuf yang diikuti oleh banyak tokoh-tokoh lainnya. Tanpa terkecuali, banyak ahli berpendapat bahwa sejarah adalah salah satu sumber pengetahuan. Nah, inilah (sejarah) yang menjadi fokus pembicaraan kita dalam tulisan yang sederhana ini.

Mengapa demikian, sepenting apakah sejarah itu? Untuk apakah manusia diharuskan manusia mempelajari atau mengetahui sejarah? Kalau sejarah itu penting dalam kehidupan umat manusia, kenapa banyak sekali di antara kita tidak mempelajari sejarah? Mengapa jarang sekali membaca buku-buku sejarah, tulisan-tulisan atau meneliti sejarah? Bahkan telah banyak masyarakat terkhususnya pemuda-pemuda kita tidak mempelajari sejarah bangsa atau sejarah Indonesia, sehingga mengakibatkan hal-hal negatif pada diri pemuda-pemuda kita? Dan yang lebih ekstrim lagi, ada sekelompok yang ingin menghapuskan atau menyelewengkan sejarah tentang sesuatu hal atau peristiwa yang terjadi? Kenapa hal demikian terjadi?

Makna Sejarah Menurut Para Tokoh

Setiap analisis sejarah haruslah bertujuan mencari kebenaran berdasarkan fakta. Kebenaran, barulah mungkin dapat ditemukan bila didasarkan atas penelitian yang sungguh-sungguh dan jujur. Karena hal ini adalah etika ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap peneliti, tidak terkecuali para sejarawan. Kajian sejarah harus berani menerobos dinding-dinding kontroversial yang mengundang tafsiran ganda. Bila keberanian itu tidak dimiliki, maka sejarawan tersebut dapat dikatakan sebagai sejarawan yang mandul secara intelektual.(Ahmad Syafi’i Maarif, 1996: 5)

Lebih lanjut, Ahmad Syafi’i Maarif dalam Tesisnya, Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), mengutip pendapat sejarawan Muslim kenamaan tentang sejarah, Ibnu Khaldun, dalam karyanya berjudulu Muqaddimah. Bagi Ibnu Khaldun, sejarah lebih sekedar catatan atau peristiwa masa lampau yang direkam. Di samping melihat sisi luar dari sejarah, ia pun menukik dalam membaca sisi dalam dari kajian sejarah. Sejarawan Muslim ini menulis: “Bila ditilik pada sisi dalam, sejarah adalah suatu penalaran kritis (nazhar) dan kegiatan yang cermat untuk mencari kebenaran; suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu; suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi. Oleh sebab itu, sejarah berakar dari filsafat (hikmah), dan memang ia patut dipandang sebagai bagian dari filsafat. (ibid. hal: 5-6)

Sedangkan, menurut Benedetto Croce yang dikutip oleh Syafi’i Maarif juga, sejarawan sekaligus seorang filsuf kontemporer dari Italia, berpendapat bahwa sejarah adalah catatan dan kreasi-kreasi jiwa manusia pada semua bidang, teori maupun praktik. (ibid. hal: 6)

Dari pendapat-pendapat di atas, dapat dipahami bahwa sejarah bukan hanya sekedar pencatatan peristiwa yang pernah terjadi. Sejarah tentang peristiwa sesuatu dapat menjadi pelajaran untuk manusia masa kini dan masa yang akan datang. Dengan sejarah juga, suatu kebenaran dapat dicapai karena sejarah itu terungkap dengan sesuatu fakta sebenarnya. Tentunya kita pernah dengar atau membacanya, Bung Karno mengatakan: “Jas Merah”, yang kepanjangannya adalah: “Jangan Sekali-kalai Melupakan Sejarah”. Kemudian lebih lanjut dia mengatakan: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”. Terlihat bahwa begitu pentingnya sejarah itu sehingga Bung Karno pun harus mengingatkannya.

Akan tetapi, dalam kehidupan kita di dunia saat ini, banyak sekali “tangan-tangan kotor” yang menggelapkan dan menyimpangkan sejarah sehingga tidak sesuai dengan faktanya. Penggelapan sejarah menjadikan manusia tidak mengerti atau tidak paham akan jati dirinya serta karakternya, bangsanya dan negaranya. Penggelapan atau penghapusan sejarah pun dilakukan lewat sistem-sistem, pemusnahan tulisan-tulisan (baca: buku), penghancuran benda peninggalan, bahkan yang lebih ekstrim lagi penahanan bahkan juga pembunuhan terhadap para tokoh-tokoh sejarawan yang menyatakan kebenaran sejarah.

Sejarah Sebagai Sumber Pengetahuan

Muhammad Iqbal Lahore (1877-1938) dalam bukunya, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, menuliskan, bahwa pengalaman batin bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan manusia. Pendapat Iqbal berlandaskan pada Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa ada dua sumber pengetahuan lainnya, yaitu sumber pengetahuan dari Alam dan dari Sejarah. (Muhammad Iqbal, 2016: 156).

Sejarah atau meminjam bahasa Al-Qur’an, “hari-hari Tuhan”, adalah sumber ketiga pengetahuan manusia menurut Al-Qur’an. Kitab suci tersebut selalu menyebutkan peristiwa-peristiwa sejarah dan menekankan pentingnya merenungi pengalaman manusia di masa lampau dan masa kini. Terkait hal tersebut, kita dapat melihatnya dan memaknainya sebagaimana yang dikutip oleh Iqbal dari ayat-ayat Al-Qur’an seperti di dalam QS. Ibrahim: 5, QS. Al-A’raf: 34 dan 181-183, Qs. Ali-‘Imran: 140, Qs. Al-Hujarat: 60 dan ayat-ayat lainnya. (ibid. hal: 166-167)

Pendapat Iqbal di atas dipertegas kembali oleh seorang ulama-filosof dari Iran, Ayatullah Murthada Muthahhari, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Epistemologi Islam. Dia memuji Iqbal pantas untuk mendapatkan penghargaan karena telah membicarakan dalam tulisanya dengan baik bahwa sejarah merupakan sumber epistemologi. (Mutthada Muthahhari, 2001: 95)

Tidak berbeda, Muthahhari juga melandaskan pendapatnya tentang sejarah sebagai sumber pengetahuan dari Al-Qur’an. Dia menjelaskan bahwa sejarah sebagai sumber pengetahuan dengan mengutip ayat-ayat Allah dalam QS. Al-An’am: 11, QS. An-Naml: 69, Qs. Al-Ankabut: 20 dan Ar-Rum: 42.

Dapat ditegaskan kembali, sejarah dapat menjadi sumber pengetahuan karena menjelaskan terkait tentang peristiwa sesuatu hal yang ada di alam ini. Ketika membicarakan alam, tentunya membicarakan waktu. Ketika membicarakan waktu, tentunya berbicara perjalanan hidup. Sejarah menjelaskan perubahan-perubahan yang ada pada masyarakat. Nah, di sinilah letak pengaruh waktu.

Penutup

Membahas atau mengkaji tentang sejarah sangatlah penting bagi setiap manusia. Dengan mengkaji tentang sejarah sesuatu, kita akan mendapatkan pengetahuan, informasi dan nilai-nilai, kemudian dapat menyimpulkan berbagai pandangan dan peristiwa yang ada secara benar dan obyektif.

Oleh karena itu, marilah membaca sejarah, pikirkanlah berbagai perubahan yang terjadi pada masyarakat kita. Dengan sejarah ini kita mendapatkan informasi peristiwa yang terjadi sebenarnya dari awal hingga akhir. Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, maka sejarah sebagai sumber pengetahuan harus pula benar-benar sesuai dengan fakta kejadiannya. Sejarah jangan sampai digelapkan oleh “tangan-tangan kotor” yang mengambil kepentingan untuk dia dan golongannya.

Sejarah yang belum terungkap harus dibongkar dan diberitahukan kepada umat munusia sebagaimana adanya. Para sejarawan atau para peniliti sejarah, kalau meminjam bahasa Ahmad Syafi’i Maarif, jangan sampai “mandul secara intelektual”, tidak berani mengungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi terhadap sesuatu peristiwa.

Apabila semakin banyak sejarah yang digelapkan, maka semakin banyak pula manusia mengalami “ketidak-tahuan” dan susah menemukan karakter dirinya, bangsa dan negaranya. Bahkan manusia akan lebih gampang diprovokasi karena ketidak-tahuannya terhadap sesuatu. Tidak sedikit tokoh yang sependapat bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara karena kualitas pengetahuan yang ada pada rakyatnya. Untuk Indonesia, rakyatnya harus jauh dari ketidak-tahuan, harus peka terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, harus mempelajari dan memahami perjalanan sejarah negara sehingga dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan  dalam berbangsa dan bernegara, walau dia berbeda suku, ras, daerah dan agama. Keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran (masyarakat madani) yang diridhoi Tuhan yang ahad menjadi cita-cita bersama.

Penulis adalah Mahasiswa UISU