Investasi China di Batam Ancaman Baru Invasi Kekerabatan Melayu Asia Tenggara 

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Karpet merah berulang kali digelar rezim jokowi terkhusus di china Tiongkok untuk berinvestasi di Indonesia. Omnibuslaw yang memberi kemudahan pengusaha- pengusaha asing aseng menjadi santapan lezat calon investor. Bak orkestra membahana seluruh jajaran pemerintah dari tingkat bawah hingga elitis tegak lurus menegakkan aturan Omnibuslaw dengan segala peraturan pernik perniknya yang acapkali bertabrakan satu sama lain di lapangan. Karena Presiden Jokowi sudah hilir mudik di mancanegara dan menjajakan barang dagangan dan lalu berita MOU diblow up sedemikian rupa sehingga para investor tingkat dunia yang notabebe china dan dengan koleganya para taipan di Indonesia seperti yang terjadi pada kasus Rempang melenggang tak peduli apa yang akan terjadi di lapangan.

Rempang adalah salah satu desa atau wilayah di pulau Galang, Batam, Kepri, yang dihuni suku suku melayu pesisir yang sudah dari sananya menetap secara turun temurun, bahkan bisa jadi sebelum negara RI ini berdiri mereka sebagai orang desa tidak tahu daerah tempat tinggalnya masuk wilayah mana, nusantara atau malaka. Betapa tidak, tutur bahasa dan pernak pernik adatnya tidak beda jauh. Bisa dipahami sebagai saudara serumpun, bak pinang terbelah, masyarakat di sekitaran Riau/ Kepri, semenanjung Malaysia, hingga Brunei Darusalam, memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat, terlebih agama islam melekat erat dalam kehidupan sehari hari masyarakat di wilayah semenajung malaka yang saat ini menjadi tiga negara yakni Malaysia, Indonesia dan Brunei Darusalam. Bak kata pepatah, bagai api dengan asap : persaudaraan masyarakat serumpun melayu ibarat suami istri atau sahabat karib yang sehidup semati. Tidak heran Sultan Brunei memberi perhatian tersendiri pada saudara serumpunnya di Rempang Batam. “Ombak kecil jangan diabaikan: persoalan kecil jangan dianggap enteng”, begitu kira-kira ujar Sultan Brunei.

Kasus Rempang Batam hanyalah salah satu kasus yg terjadi karena Pemerintah Pusat RI selalu menganggap persoalan mikro dan lokalistik terkait sebuah proses ijin yg pada dasarnya Pemerintah secara khusus memberi kemudahan dalam proses perizinan. Disini sering abai penetapan suatu wilayah dalam penerbitan ijin mendasarkan skala peta besar, sekalipun diatas peta topografi 1 : 50.000 toh hunian atau perkampungan masyarakat tidak bakal tercover oleh peta tersebut. Bentang lahan hanya dianggap seragam sebagai berpenutupan hutan, semak belukar, sehingga detil obyek kampung tidak tercover dalam informasi peta. Belum lagi persoalan status pertanahan antara kepastian hak-hak adat ulayat sering menjadi sumber konflik pertanahan karena tidak jelas posisinya dalam status tanah milik negara. Inilah yang sering terjadi dalam sebuah kasus yang bermula dari peta tata ruang dan hak keagrariaan yang acapkali terjadi di Indonesia. Dalam permasalahan perpetaan Indonesia yang masih carut marut UU Omnibuslaw seakan menjadi senjata yang sangat sakti dan tidak ada kompromi. Padahal Omnibuslaw sendiripun masih terus dipermasalahkan rakyat dan diminta untuk dicabut / dibatalkan mengingat muatan pasal demi pasal yang sangat kontroversial dan dinilai tidak berkeadilan.

Akankah kasus-kasus serupa bermunculan di seantero Indonesia. Boleh jadi, suatu saat akan menjadi bom waktu, mengingat rezim Jokowi sangat gencar mendorong di berbagai daerah tumbuh denyut pembangunan dengan mengandalkan masuknya investor setelah dijanjikan kemudahan mendapatkan tanah. Bukan tidak mungkin, IKN pun suatu saat akan hadapi kasus serupa. Ekses buruk yang timbul di lapangan, terkesan pembangunan memanjakan investor pendatang, tapi meminggirkan warga pribumi.

Kawasan perairan asia tenggara merupakan wilayah yang sejak dahulu memiliki posisi geografis dan geostrategis terutama terkait jalur perdagangan internasional. Wilayah ini erat dengan sejarah masuknya islam di Asia Tenggara, dan sejak berabad-abad lampau berkembang kerajaan-kesultanan islam mulai dari Kesultanan Samudera Pasai, abad ke-13 di Nanggroe Aceh Darussalam, Kesultanan Malaka abad ke-15 di Malaysia, Kesultanan Islam Pattani abad ke-15 di Thailand, Kesultanan Brunei Darussalam abad ke-15 di Brunei Darussalam, Kesultanan Islam Sulu abad ke-15 di Filipina, Kesultanan Johor abad ke-16 di Johor Malaysia, Kesultanan Siak Sri Indrapura abad ke-18 berpusat di Siak Sri Indrapura yang wilayahnya luas meliputi Riau/ Kepri hingga Bengkalis.
Posisi Asia Tenggara sangat strategis, terletak antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dengan banyak pelabuhan besar berdiri dan menjadi tempat singgah para pedagang dari berbagai wilayah.

Letaknya yang strategis wilayah perairan ini memiliki peran penting dalam perdagangan global sejak dahulu kala. Perkembangan islam demikian pesat di wilayah ini melalui jalur perdagangan, perkawinan, dakwah, pembauran muslim arab, india, persia dengan masyarakat pribumi. Pemerintah Indonesia semestinya peka terhadap kondisi kultural masyarakat di kawasan semenanjung selat malaka ini. Peran kekerabatan islam dari tiga negara bersaudara sangat kuat. Negara tetangga Malaysia dan Brunei sangat sensitif terhadap pengaruh eskalatif regional kawasan yang bisa saja akan berdampak pada eksistensi kultural bangsa melayu khususnya umat islam.

Dalam sebuah acara ” The Future of Bumiputera and The Nation Conggres 2018 ” pidato Mahatir yang heroik untuk penyelamatan rumpun melayu menegaskan bahwa rakyat malaysia tidak siap untuk bersaing dengan warga china yang datang ke Malaysia karena warga pendatang china bukan rakyat biasa melainkan para pengusaha sukses yang mempunyai skill dan modal memadai”, begitu pemimpin negeri jiran ketika itu.

Ini sangat berbeda dengan Presiden Jokowi, dalam sebuah pidato 29 November 2016 pada siaran pers Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi, Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, didampingi Enggartiasto Lukito, Mendag, Airlangga Hartarto, Menperind, dan Thomas Lembong, Ketua BKPM : “Banyak dari Anda di ruangan ini yang sudah memiliki banyak dana, jadilah bagian dari proses pembangunan di Indonesia. Dan saya berharap lebih banyak lagi diantara Anda yang akan berbisnis di Indonesia dalam waktu dekat karena berbisnis di Indonesia merupakan suatu peluang,” ujar
Presiden Joko Widodo. Pidato dan seruan untuk datangnya investor dari china demikian gencar dijajakan Jokowi, dan puncaknya saat ini ketika bentar lagi akan mengakhiri periode jabatan, justru
Presiden seakan kejar tayang untuk mewujudkan obsesinya “membangun dari pinggiran”.

Presiden jokowi seakan tidak puas bahwa suntikan dana desa yg melonjak besar ke desa-desa seakan tidak cukup ampuh sebagai perwujudan membangun dari pinggiran (desa), sehingga jokowi getol gencarkan pembangunan area kawasan dikelola oleh satu perusahaan besar China dan dinilai akan jadi pintu pengungkit mensejahterakan rakyat. Jokowi seakan tutup mata, pembangunan eco city milik Tomy Winata semacam di Rempang, Pulau Galang, berbatasan dengan negeri jiran ini bakal mempercepat hiruk pikuknya warga china Tiongkok untuk menganeksasi kekuatan selat malaka sebagai sentra satelit bagi penetrasi segala pengaruh buruk yang akan berdampak pada kawasan Asia tenggara, khususnya bangsa melayu. Bak kata pepatah “Tak melayu hilang di bumi, mereka akan mempertahankan eksistensi melayu sampai mati”. (Sp.official).

Oleh : S Purwadi Mangunsastro (Wangsa Arya Penangsang, Demak – Sekjen PDKN)

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

Berita Terkini