Berfilsafat?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Di dalam masyarakat yang praktis, posisi filsafat terabaikan, bahkan filsafat menjadi barang yang “angker”. Mengapa? Filsafat memang selalu bergerak di alam pemikiran dan ‘meminta’ setiap orang yang berkutat di dalamnya untuk lebih sedikit “tekun”. Alam pemikiran dalam pandangan filsafat materialisme sendiri merupakan hal-hal yang immaterial. Dalam pandangan filsafat fenomenologi, alam pikiran masih dianggap sebagai gejala. Dua pandangan di ataslah yang menjadi causaprima. Lebih mudah lagi mengatakan bahwa dengan berfilsafat, nilai “fee” seseorang tidak bertambah. Kebahagian fisik tak dapat diperoleh langsung darinya.

Filsafat atau falsafah –dalam intonasi lain- merupakan term-term dari ‘philos’ dan ‘sophia’. Kedua term ini bersumber dari Bahasa Yunani. Philosophia mengajak orang menjadi bijaksana dan arif. Kalau dihubungkan dengan konteks-konteks kehidupan yang praxis, tampaknya tidaklah begitu sulit dipikirkan. Sebab filsafat memang bukan bagian terapan-terapan, tetapi merupakan dasar-dasar terapan itu sendiri dengan refleksinya. Dengan kata lain filsafat tidak ‘mencampuri’ kerja terapan, tetapi filosofis terapan itulah yang dibangunnya.

Ada beberapa hal yang menyebabkan orang susah menjelaskan filsafat, karena 1) melepaskan filsafat dari kehidupan, 2) memisahkan filsafat dari ilmu, 3) efisiensi dari filsafat. Pemisahan dan kalkulasi manfaat filsafat tampaknya lebih identik dengan alam berpikir modernisme yang salah satunya ‘mempercayai’ bentuk atau strukturlah yang solid dan valid. Berpikir seperti disebutkan terakhir dalam peradaban teknologi dan otomatisasi menjadi lebih penting sesuai dengan asumsi filsafat-filsafat sebagaimana pula yang mengiringinya. Filsafat berfungsi memeriksa asumsi di atas.

Seorang penulis Romawi, Cicero (106 – 43 SM) pernah menyatakan bahwa orang yang pertama kali memakai kata filsafat adalah Pytagoras. Pytagoras menggunakan kata lain untuk menyatakan reaksinya terhadap orang-orang yang berada dalam kelompok cendekiawan yang pada masa itu mengklaim bahwa mereka adalah ‘ahli pengetahuan’. Filosof pra-Socrates ini cenderung tidak begitu yakin dengan apa yang dilakukan oleh para ‘ahli pengetahuan’ itu terhadap pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang berkaitan dengan masyarakatnya. Dalam pandangan filsafatnya, dia meletakkan ilmu sebagai “sesuatu yang lengkap”. Dengan kata lain: ilmu tidak hanya untuk ilmu tapi ilmu untuk kepentingan umat manusia. Asumsinya orang-orang yang mengandalkan ilmu “di luar” dari konsep etis dan humanis.

Filsafat hadir dalam kehidupan selalu juga disalahpahami. Filsafat bukanlah gejala “pikiran tandingan” atau “menandingi” pikiran-pikiran yang diangap telah mapan. Dalam pikiran yang telah mapan sekali pun ada ‘bersemayam’ filsafat, jika dilacak secara esensial. Filsafat tidak memerlukan tempat yang khusus dalam ‘arena kehidupan’ atau ‘arena intelektual’: termasuk juga waktu dan ruang. Namun kalau dibutuhkan berada sebagai sintesa atau juga hipotesa. Ada filsafat kehidupan yang mencangkup : filsafat kebebasan, filsafat berdagang, filsafat bercinta, filsafat berkata dan filsafat berfikir. Juga ada filsafat ruang, filsafat waktu, filsafat manusia, filsafat ilmu dan lain-lain. Namun apakah sebuah subyek filsafat itu “mengoreksi atau menandingi” obyeknya kalau demikian, filsafat menjadi begitu “sederhana” maksudnya.

Dalam Fundamental Questions in Philosophy, yang disusun oleh Stephen Koerner terdapat klarifikasi filsafat yang bunyinya demikian : “Pemikiran filsafat tidak akan berhenti apabila pemikiran yang non-falsafi tidak mengalami hal yang sama juga.” Kalau dicermati pengertian di atas maka dapat dipahami beberapa hal, antara lain: 1) pemikiran filsafat ada, pemikiran non-filsafat ada. 2) pemikiran filsafat tidak ada apabila pemikiran non-filsafi juga ada. 3) berhenti filsafat apabila empirisme juga mengalami hal yang sama. Anologinya, berfilsafat adalah proses kerja yang membutuhkan subyek dan obyek. Bila kita sampai pada pengertian akhir ini, filsafat ternyata “diperlukan”?

Oleh: Zulkarnain Siregar

- Advertisement -

Berita Terkini