18 Tahun Kasus Pembunuhan Munir Kadaluarsa, Pakar Hukum: Segera Tetapkan Pelanggaran HAM Berat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Aktivis mahasiswa, penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan LSM merasa khawatir belum terungkapkannya aktor pembunuhan Munir Said Thalib yang meninggal 17 tahun silam. Berdasarkan KUHP, tuntutan perkara dengan ancaman hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup akan kadaluarsa setelah 18 tahun.

Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menjelaskan, ketentuan daluarsa dalam tuntutan pidana berdasarkan Pasal 76 Ayat (1) dan 78 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa demi kepastian hukum maka negara harus menghentikan penuntutan pada tindak pidana tanpa batas waktu.

“Adapun pengertian daluwarsa adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana,” jelas Suparji saat dimintai tanggapan mudanews.com, Selasa (7/9/2021).

Dipaparkannya, dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus Undang-Undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa.

Hingga kini, penegak hukum belum mengungkap dalang/aktor pembunuhan aktivis HAM Munir yang tewas pada 7 September 2004 silam.

“Dalam hal kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang tewas pada tanggal 7 September 2004, harapan saya bahwa Komnas HAM, Kepolisian dan pihak lain terkait harus lebih serius untuk mengungkapkan dalang/aktor pembunuhan tersebut dan menetapkan bahwa kasus tersebut bukan kasus pidana pembunuhan melainkan pelanggaran HAM berat,” tegas pria asal Klaten, Jawa Tengah ini.

Ia memaparkan karena kasus pidana pembunuhan yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, terdapat rentang waktu 18 tahun bagi kasus tersebut untuk dituntaskan sebelum kadaluarsa. Penuntasan kasus ini merupakan komitmen dalam penanganan dan penegakan HAM.

“Ketentuan kadaluarsa tidak berlaku untuk kasus HAM berat seperti yang tertuang dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berkaitan dengan masa daluarsa tindak pidana kasus pembunuhan Munir yang hanya menyisakan 1 tahun kepada Komnas HAM seandaikannya dituntut sebagai pidana pembunuhan, sehingga diharapkan agar segera menetapkan pembunuhan aktivis Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat,” lanjutnya.

Dengan demikian, Suparji mendesak adanya penetapan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat maka penyelidikan kasus tersebut dapat dipastikan keberlanjutannya dan tidak akan terjadi daluarasa.

Kasus Pembunuhan Munir
Munir

Sebelumnya, atas kasus pembunuhan Munir, tiga orang telah diadili, termasuk seorang eks pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto serta mantan pimpinan Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR.

Namun, sangat disayangkan, proses persidangan ini tidak menyentuh terduga aktor utama pembunuhan, seperti dibeberkan laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus ini, dan disuarakan oleh para pegiat HAM. Dokumen pencarian fakta pembunuhan Munir, dimana satu salinan diserahkan secara simbolik kepada SBY pada 2005 lalu. Namun, hingga kini belum diumumkan ke publik.

“TPF dulu itu kan salah satu unsurnya Komnas HAM, hasilnya membuka tabir pembunuhan Munir,” kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik saat dimintai konfirmasi mudanews.com.

Taufan menyatakan, hasil TPF yang bahkan bisa mengadili Polycarpus, Dirut Garuda, hanya Muchdi yang dibebaskan pengadilan.

Langkah Komnas HAM untuk mengungkap kasus Pembunuhan Munir ini selama 17 tahun. “Kami sudah minta Presiden untuk memberikan perintah kepada penegak hukum melanjutkan proses hukum yang belum dilakukan ke aktor intelektual yang lain,” tegas Taufan.

Di kasus pembunuhan Munir, Muchdi ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, tetapi Muchdi dinyatakan bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, akhir 2008 lalu. Sementara itu, Pollycarpus meninggal pada 17 Oktober 2020. Ia divonis bersalah dan dihukum penjara 14 tahun, kemudian dibebaskan secara bersyarat dan sudah bebas tiga tahun lalu.

“Kalau Muchdi sudah sulit karena sudah diproses hukum dengan hasil pengadilan yang membebaskan dia. Kan ada prinsip nebis in idem, orang yang sama tidak bisa diadili lagi dengan kasus yang sama,” jelasnya. (Arda)

- Advertisement -

Berita Terkini