Mengupas Ambisi Kekuasaan Jokowi yang Semakin Tak Tertahan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

Berapa kali sudah saya sampaikan bahwa pada awalnya (2011-2012), saya mengagumi sosok Jokowi. Mengapa? Menurut saya, Jokowi adalah antitesa dari banyak tokoh politik yang sudah kerap tampil di panggung politik nasional. Kurus, sama sekali tidak memiliki potongan politisi apalagi penguasa (meski waktu itu di kota Solo sebelum ke Jakarta). Kesan selanjutnya sederhana, tenang dan mau bergerak turun ke bawah.

Sejak mengenal Jokowi, saya sudah melihat sisi introvetnya (tidak terlalu terbuka bahkan benar cenderung tertutup). Namun saya berpikir positif bahwa introvetnya untuk hal yang baik. Namun ternyata, inilah rahasia yang tidak diketahui orang dan baru setahun di akhir jabatannya, semua terlihat. Kini baru saya sadari ketertutupan Jokowi tersebut sesungguhnya karena ia tidak bisa atau tidak mudah percaya kepada siapapun. Apakah itu buruk?

Saya hanya bicara efeknya. Ia menjadi orang yang hanya percaya pada dirinya sendiri. Jokowi bisa memberi tugas banyak kepada LBP, tapi jangan lalu dianggap Jokowi percaya sepenuhnya kepada LBP. Itu juga bisa menjadi semacam ujian keloyalan LBP kepada Jokowi. LBP boleh senang, tapi setiap keputusan, Jokowi lah yang mengambil. Efek dari itu, meski percaya dirinya tinggi, tapi kekhawatirannya jauh lebih tinggi.

Ia kadang sering ingin memastikan segala sesuatunya sendiri. Biasanya, jika orang dengan kepercayaan diri tinggi, orang tersebut cukup mengutus bawahannya untuk melakukan apa yang diinginkan. Tapi Jokowi tidak. Bukan semata soal Jokowi tidak suka ABS, tapi karena khawatir dirinya tidak aman. Untuk itu ia harus memastikan sendiri agar dirinya merasa aman atau diistilahkan mendapat keuntungan politik.

Jokowi selalu ingin dicitrakan sebagai orang yang mau turun ke bawah memperhatikan rakyatnya. Citra ini harus ia jaga betul meski harus membutuhkan waktu panjang, kurang lebih 20 tahun sejak menjadi walikota Solo (2004). Akibat citra ini, Jokowi berhasil membangun kelompok pendukungnya sendiri (fans club). Mungkin juga Jokowi menganggap sudah tidak membutuhkan PDIP lagi.

Ya, selama ini PDIP hanya dijadikan sebagai kendaraan politiknya yang sudah mengantarkan Jokowi 20 tahun berkuasa dari Solo, DKI Jakarta hingga nasional. Bahkan turut mengantarkan anaknya juga menantunya mengikuti jejaknya sebagai walikota. Namun, waktunya berkuasa tinggal setahun, mau kemana? Tidak ada lagi jabatan politik yang lebih tinggi sesudah presiden. Kembali sebagai rakyat?

Tidak. Seperti saya katakan di atas, Jokowi masih memiliki perasaan khawatir atas apa yang sudah ia kerjakan. Jangan sampai semuanya hancur. Karena jika hancur, reputasinya pun akan hancur. Meski saat ini, reputasi Jokowi juga tengah dipertaruhkan dalam proses pemilu yang dianggap tidak netral tidak demokratis. Ia tidak mau peduli atau memang sudah diperhitungkan adanya penolakan kecil.

Karena hanya dengan cara itu, ‘peninggalannya’ bisa diteruskan dan langgeng. Cukup hanya dengan ‘menitipkan’ puteranya, Gibran, sebagai wapresnya Prabowo? Tidak. Jokowi juga tidak percaya Prabowo sepenuhnya, bahkan kepada anaknya sendiri dia tidak percaya. Jokowi harus bisa mengontrol langsung jika kelak lengser dari kursi presiden. Isu awalnya, Jokowi bakal menjadi Ketum PDIP menggantikan Megawati.

Megawati memang sudah sejak lama memberi kode akan adanya transisi kekuasaan di PDIP mengingat usianya semakin bertambah. Faksi Jokowi di PDIP pun sudah terbentuk dan bersaing dengan faksi Puan/Prananda dan faksi Guruh SP (kedua terakhir meneruskan trah Bung Karno). Namun kondisi terakhir membuat Jokowi berada dalam posisi sulit akibat ulahnya sendiri. Semua gerakan bandul Ketum ada di tangan Megawati.

Jokowi bisa kembali dan menjadi Ketum PDIP jika mampu melunakkan hati Megawati. Jika tidak, maka jangan harap. Mengapa Jokowi mengincar PDIP? Karena PDIP partai besar dan pemenang pileg. Jokowi juga tidak ingin PDIP menjadi oposisi dalam pemerintahan Prabowo kelak. Sebenarnya, Jokowi juga sudah menyediakan sekoci jika gagal menguasai PDIP. Sekoci itu bernama PSI. Disayangkan, PSI diprediksi gagal melenggang ke Senayan.

Artinya, sulit bagi Jokowi jika menjadi Ketum PSI karena PSI bukanlah partai yang bisa bersaing dengan partai lain di Senayan. Tapi Jokowi tetap membutuhkan partai agar bisa melanjutkan ‘menahkodai’ negeri ini. Golkar disebut sebagai alternatif lain dan Jokowi dipandang pas masuk Golkar (setelah pakai dasi kuning). Itulah ambisi Jokowi yang introvet tapi ternyata ambisius. Kelemahannya ya itu tadi, punya kekhawatiran yang tinggi.

Seorang yang memiliki kekhawatiran tinggi, meski tidak terlalu ditunjukkan langsung, biasanya selalu berpikir atas apa yang sudah dicapainya. Apa yang dicapai harus dipertahankan jika perlu ditingkatkan. Sebagai Ketum partai atau berada di partai, ia leluasa mencetak eksekutif di daerah-daerah maupun caleg di parlemen. Hanya saja, biasanya pula orang seperti itu akan termakan ambisi dan kecemasannya sendiri, meski sehebat apapun dia bermain catur.

Jokowi memang bukan Hitler ataupun Idi Amin yang berkuasa dengan gaya fasis dan tiran. Bukan juga seperti presiden Korea Utara. Mereka orang yang terbuka akan ambisi kekuasaan. Jokowi sama sekali berbeda pembawaan, bahkan sama sekali tidak berkesan ambisius namun senyatanya demikian. Sulit menyamakan sosok Jokowi dengan tokoh lain di dunia. Ia pintar mengecoh orang. Ia rela menyakiti dirinya demi ambisinya dan orang tidak menyadari sama sekali.

- Advertisement -

Berita Terkini