Tolak Pemilu Curang Semakin Menggema, Indonesia Krisis Kepercayaan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

Publik sekarang banyak yang mengatakan, pemilu sudah selesai tinggal menunggu hasil. Yang menang ya selamat, yang kalah gak boleh kecewa. Ini ibarat, sudah berbuat kesalahan tapi dimaklumi, “Sudahlah sudah terjadi. Maafin dan lupain ngapa?” Maka kita tidak pernah belajar atas kesalahan, karena ‘dipaksa’ kompromi, atau bahkan, mungkin saja sudah tidak tahu lagi apakah itu salah atau benar?

Kita memang diajarkan untuk mau memaafkan, tentu kita bisa memaafkan. Tapi harus ada pembelajaran yang kita petik, sekaligus membuat “catatan” atas kesalahan tersebut. Karena jika tidak (hanya saling memaafkan saja), orang menjadi kebiasaan dan menganggap bukan kesalahan lagi. Itulah perlunya hukum dibuat agar memberi edukasi atau pembelajaran dari yang melakukan kesalahan.

Sekarang soalnya, orang akan berdebat tentang salah atau benar? Jika memang masing-masing menjadi subyektif, maka serahkan kepada pihak ketiga yang obyektif dan paham dalam mendefinisikan salah benar. Kalau dalam hukum ada pengadilan. Silahkan beradu argumen dan menyatakan sama-sama benar, karena pada akhirnya akan diputus hakim siapa yang benar dan salah.

Merasa diperlakukan tidak adil lalu melaporkan adalah hal yang wajar dan dijamin dalam konstitusi. Mengapa dimasalahkan? Mengapa pula harus menganggap semua baik-baik saja, tinggal menunggu hasil dan menerima hasil? Mungkin bagi yang berlaku tidak adil memang inginnya tidak ada yang mempermasalahkan. Makin dimasalahkan, khawatirnya kemenangan menjadi kurang afdol.

Istilah politiknya tidak legitimate. Masih ingat saat bermain di masa kecil? Hampir tidak ada di antara kita yang tidak bermain curang, sesuai kadarnya. Ada yang terang-terangan dan banyak curangnya, ada pula yang curang sedikit. Pastinya, setiap kita merasa tidak mau kalah waktu itu, makanya sering berbuat curang. Kadang pula curang hanya sebagai guyonan biar lucu. Bagaimana perasaan yang dicurangi?

Termasuk kita pasti pernah merasa dicurangi. Tergantung diri kita ya. Ada yang reaktif melawan kecurangan, bahkan jika perlu gelut. Ada yang sekadar sakit hati tapi tidak berani bicara. Ada pula yang menyimpan dendam karenanya. Intinya, tidak ada yang suka dicurangi, apalagi karenanya kita menjadi kalah. Anak laki-laki saya saja akan menangis jika kalah apalagi karena dicurangi kakaknya.

Beranjak dewasa, berapa kali kita menghadapi kondisi atau situasi di mana kita kerap merasa diperlakukan tidak adil? Antrian diserobot, mau mengurus di loket dipersulit (sementara kita merasa sudah ikut prosedur), anak kita dikalahkan oleh anak pejabat untuk masuk sekolah favorit, ikut lomba tapi panitia tidak fair hingga kalah, dan masih banyak lagi. Apa respon kita? Ya tidak suka.

Sebenarnya bukan soal kalahnya ya, melainkan karena kita merasa dilecehkan, tidak dihargai, diperlakukan tidak adil. Misal, gak jadi dapat kredit sih gak masalah, tapi kenapa yang diterima justru pengusaha kaya hingga kita dikalahkan? Cara-cara tidak fair semacam itu (mungkin kecil dan ringan) tapi jika tidak menjadi perhatian maka akan terulang terus dan dianggap sudah biasa.

Kompromi ini tidak hanya oleh pelaku tapi juga oleh korban. Pada akhirnya perilaku curang atau tidak fair menjadi budaya. “Kalau tidak curang gak bakal diterima tes,” atau, “Kalau gak curang tidak mungkin menang.” Akuilah, kalimat itu sering terucap dan sudah menjadi keyakinan agar berlaku curang supaya beres dan sukses. Sungguh berat memperbaiki budaya bangsa ini. Yang tidak pernah maju jika melegalkan kecurangan.

Contoh lain, sebuah perusahaan bagaimana mau maju jika yang dipromosikan jabatannya bukan orang yang ahli dan berpengalaman, melainkan kepada orang baru, karena dia keluarga dari bos. Kembali ke soal curang pemilu. Sudah jelas ini ada yang pro dan kontra. Yang diuntungkan tentu akan pro pada KPU dan proses pemilu, sebaliknya yang kontra menolak. Faktanya ada terjadi banyak kesalahan pemilu.

Mulai dari conflict of interest Ketua MK dalam memutus perkara yang menguntungkan keponakan sendiri. Lalu kelalaian KPU menerima pendaftaran paslon yang masalah sementara PKPU belum lagi diubah. Lalu ada pula keterlibatan presiden untuk anaknya yang maju cawapres dan pejabat negara sekelas menteri yang tidak netral menguntungkan satu pihak paslon, meski mereka tidak izin kampanye.

Menggunakan fasilitas negara seperti sembako untuk merayu rakyat pemilih. Mengumpulkan dan memobilisasi terselubung perangkat desa dan ASN (guru). Mengganti dan mengerahkan kepala daerah agar memenangkan salah satu paslon. Melibatkan aparat TNI-Polri meski tidak eksplisit. Menyalurkan money politik, meski tidak diakui tapi banyak bukti videonya. Melakukan intimidasi kepada relawan pendukung paslon lain.

Lalu saat pemungutan suara pun terjadi misal: pemilih siluman, merekayasa kertas suara, menutup TPS sebelum waktunya, menerima pemilih luar wilayah, pendamping pemilih yang mengarahkan dsb. Bagaimana penghitungan suara? Lebih kacau lagi. Penggunaan server Sirekap justru jelas-jelas menunjukkan kecurangan penggelembungan suara 02. Kotak suara yang tidak tersegel. Deklarasi kemenangan belum waktunya dll.

Kesemua itu, akankah diabaikan begitu saja dan dianggap biasa-biasa saja? Di mana integritas bangsa ini? Pemilu hanya formalitas bahkan untuk main-main? Pelaku kecurangan dibiarkan melenggang bebas? Untuk itu, ada jalur yang bisa ditempuh dengan melihat tingkat pelanggarannya. Bisa lapor ke Bawaslu. Jika masih tidak berkenan, bisa disengketakan ke MK. Jika pidana bisa ke polisi.

Atau melalui jalur politik melalui DPR mengajukan hak bertanya kepada pemerintah dan KPU atas pemilu yang kacau. Bisa pula ditingkatkan membuat Pansus Pemilu 2024. Jadi, jangan risih dengan penggugat pemilu karena dijamin konstitusi melalui jalur-jalurnya. DKPP pun sepertinya siap menyidang kembali komisioner KPU atas kinerjanya. Sepanjang, jalur-jalur itu tidak masuk angin karena tekanan kekuasaan.

- Advertisement -

Berita Terkini