Jokowi Lupa dengan Jati Dirinya Sendiri Sebagai Seorang Jawa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

275 juta penduduk Indonesia tidak ada yang bisa percaya Jokowi akan berubah. Mereka akan menyangkal dengan segala pembenarannya. Atau, setidaknya mereka bertanya kenapa? Mungkinkah sesuatu (apapun itu) mampu mengubah orang se-drastis itu? Memang apa yang berubah? Bukankah Indonesia sedang baik-baik saja? Mari kita bahas.

Masih ingat di sebuah wawancara di sebuah program talk show SCTV Jokowi pernah mengatakan bahwa dirinya berpegang teguh kepada pitutur (nasehat) ataupun falsafah dalam budaya Jawa?

Lamun sira sekti, ojo mateni. “Meskipun kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan,”
Lamun siro banter, ojo ndhisiki. “Meskipun kamu cepat, jangan selalu mendahului,”
Lamun sira pinter ojo minteri. “Meskipun kamu pintar, jangan membohongi,”

Apa makna dari Jokowi menyampaikan hal ini? Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang yang bijak dan sebagai seorang Jawa tidak kehilangan ‘Jawanya’. Semua orang memuji, terlebih pitutur seperti itu sudah jarang kita dengar dari mulut seorang pejabat negara se kelas presiden.

Kalimat nasehat tersebut biasanya hanya kita dengar dari sebuah episode cerita pewayangan saat ada hajatan, misalnya. Selain memiliki makna yang mendalam, orang yang mengatakan atau menyampaikan pitutur tersebut biasanya memang seorang ‘begawan’. Artinya, tidak hanya sekadar diucapkan tapi juga dilaksanakan dalam kehidupan.

Karena ini pula, banyak orang yang semakin mencintai sosok Jokowi sebagai orang yang tulus dan sederhana, istilahnya, sudah selesai dengan dirinya sendiri. Pitutur di atas juga sempat di-posting di akun X milik Jokowi pada 26 Mei 2019 (lepas dari konstelasi politik nasional yang tengah terjadi saat itu). Artinya, memang sengaja disebarluaskan.

Jokowi memang dikenal seorang sosok yang pintar menarik simpati publik. Ia tahu apa yang diinginkan publik dari pemimpinnya. Sama sekali tidak ada yang memberi pertentangan kecuali (seperti biasa) kaum oposisi dan para haters nya. Tidak hanya personal, secara kelembagaan pemerintahan pun dianggap strong dan harmonis.

Hal ini tidak lepas atas dukungan partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah, di bawah komando PDIP. Sembilan tahun kondisi tersebut berlangsung dan berjalan dengan baik, hingga menjelang setahun di akhir masa jabatan Jokowi sebagai presiden, semuanya berubah. Terutama sosok Jokowi yang paling mengalami perubahan drastis.

Beberapa hari menjelang penutupan pendaftaran bacapres dan bacawapres ke KPU, atau sebelum putusan sidang MK terkait batas minimum usia capres-cawapres, Andi Widjajanto dan beberapa orang yang dikenal dekat dengan presiden dipanggil ke istana. Ada apa? Kejadian ini sudah berlangsung lama, namun baru disampaikan Andi saat diwawancara Nana (CNN).

Bisa saja Andi menyampaikan sejak awal guna memanfaatkan efek elektoral untuk Ganjar, karena dianggap menguntungkan kubu Ganjar. Sementara bisa menjatuhkan kredibilitas Jokowi karena peristiwa tersebut bisa diasumsikan bad news bagi Jokowi. Intinya, Andi mendapat penyampaian langsung dari Jokowi soal kontestasi politik 2024.

Ada tiga hal yang dikatakan Jokowi: (1) Prabowo pasti akan menang; (2) PSI masuk ke Senayan, dan; (3) Suara PDIP hancur, “Pada intinya tiga hal tersebut yang disampaikan, dan pak Jokowi mengingatkan, ‘Kalian hebat jika bisa mengalahkan Saya,’ begitu kata pak Jokowi,” tutur Andi. Andi hanya merasa aneh karena Jokowi masih merupakan kader PDIP, namun ia hanya membathin.

Andi perlu merenung cukup lama kata-kata Jokowi hingga ia menyimpulkan bahwa Jokowi sudah berubah. Dan menurut Andi, Jokowi lah yang meninggalkan teman-teman setianya yang dulu justru sudah berdarah-darah mengangkat derajatnya sebagai orang nomer satu Indonesia. Jokowi pula dengan tega meninggalkan bahkan menikam PDIP dari belakang dengan mendukung Prabowo.

Lamun sira sekti, ojo mateni. Jokowi kini justru menjatuhkan hukum dan etika yang ada. Membiarkan adik iparnya (Ketua MK) ikut memutus perkara yang membuka peluang Gibran menjadi cawapres Prabowo (melalui operasi khusus). Anwar Usman, ipar Jokowi, akhirnya terbukti melakukan pelanggaran etik berat diduga membiarkan ada konflik kepentingan dalam keputusan MK.

KPU pun kemudian terbukti lakukan pelanggaran etik karena menerima pendaftaran paslon Pra-Gib, meski PKPU belum lagi diubah, karena Gibran belum cukup umur. Tidak cukup, Jokowi juga turun tangan kampanyekan Prabowo meski terselubung. Bahkan Jokowi memanfaatkan sembako untuk kepentingan elektoral Prabowo.

Lamun sira banter, ojo dhisiki. Seolah semuanya berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan Jokowi. Tanpa perlu prosedur hukum yang harus dipatuhi, proses pemilu berjalan tanpa kenetralan pemerintah. Pemenang pemilu seolah sudah diketahui sebelum hari coblosan. Jokowi coba berlari sekencang mungkin jika perlu cukup satu putaran.

Lamun sira pinter, ojo mintheri. Jokowi semakin lupa diri hingga menyombongkan dirinya sebagai yang paling berkuasa. Dalam istilah Jawa disebut ‘njangkar’. Ditujukan kepada orang yang tidak tahu diri, tidak berterima kasih. Selain menghianati PDIP, Jokowi juga ingin suara PDIP anjlok. Begitupun kepada kaum cendekia, kelompok yang dulunya begitu ‘ngemong’ Jokowi.

PDIP, kampus dan rakyat yang dulu sebagai pendukung setianya, kini ditinggalkan bahkan ‘keminther’. Apa yang ia lakukan seolah tidak melanggar konstitusi apapun, namun jelas banyak cela etik yang dilanggar di sana. Kekuatan civil society bersama PDIP kini berbalik menentangnya. Hingga nanti pada satu titik, Jokowi akan menelan ludahnya sendiri, mengakui koalisi rakyat bersatu jauh lebih hebat.

- Advertisement -

Berita Terkini