Go-Jek VS Parbetor, Sutrisno: Pemerintah Kota Medan Ternyata Tidak Memiliki Grand Design

Breaking News

- Advertisement -
Laporan: Dhabit Barkah Siregar
MUDANews.com, Medan (Sumut) – Tragedi penganiayaan pengemudi angkutan berbasis online milik PT Go-Jek Indonesia (Grab Car) oleh pengemudi Becak Bermotor (Betor), tidak habis-habis dibahas oleh masyarakat. Penganiayaan Frans (22), warga Komplek Golden Place, Jalan Bhayangkara, Medan oleh para pengemudi betor ini berawal saat ia hendak menjemput pelanggannya di Plaza Medan Fair, Jalan Gatot Subroto, Medan, Rabu (22/2) lalu.
Sehubungan itu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRD-Sumut) Komisi C, Fraksi PDIP, Sutrisno Pangaribuan sangat menyayangkan kejadian tersebut.
Saat dikonfirmasi melalui pesan singkat (SMS), Sutrisno mengatakan, pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa itu, ternyata tidak mampu menstabilkan penggunaan jasa transportasi umum yang beroperasi di Medan. Itu, dilihat dari awal kehadiran moda transportasi umum berbasis online milik PT Go-Jek Indonesia di Medan yang mendapat penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat, khususnya dari para pengemudi becak, taxi dan angkutan umum.
“Pemerintah Kota Medan ternyata tidak memiliki grand design sistem transportasi Kota Medan. Hal ini dapat dibuktikan ketika transportasi berbasis onlie hadir, Pemerintah Kota Medan tidak memiliki perangkat regulasi yang dapat digunakan untuk mengaturnya. Sehingga kehadiranya mendapat penolakan dari pihak pengelola transportasi publik lainnya,” sebut Sutrisno dalam pesan singkatnya, Jum’at (24/2).
Tidak hanya itu, Sutrisno juga menilai, pemerintah sama sekali tidak paham akan laju peredaran kendaraan di Medan, sementara penambahan jalan-jalan baru, atau penambahan kapasitas (badan) jalan belum dilakukan. Hal ini akan berdampak pada rentannya kemacetan. Juga, dirinya menilai, konflik yang muncul antara pengemudi Go-Jek maupun Grab Car dengan pengemudi angkutan umum yang sebelumnya telah eksis beroperasi di Medan, merupakan bentuk persaingan yang tidak sehat.
“Laju penambahan jumlah kendaraan bermotor tidak sebanding dengan laju penambahan ruas jalan. Sehingga pengguna jalan raya menghadapi frustrasi berkepanjangan. Kondisi ini akan memicu berbagai persoalan di antara sesama pengguna jalan raya. Perkelahian antara pengemudi becak motor dengan pengemudi transportasi berbasis online menjadi bukti bahwa ada sistem kompetisi yang dianggap tidak fair dan tidak adil di jalan raya,” terangnya.
Namun, tingginya angka pengangguran dan minimnya lapangan pekerjaan di Sumut, khususnya Medan, membuat masyarakat seperti tak memiliki pilihan dalam mencari pekerjaan guna menafkahi. Kebutuhan ekonomi yang kian meningkat, membuat masyarakat kota besar lebih memilih pekerjaan yang tidak selalu profesional dan berkompeten. Karenanya, tidak sedikit yang memilih untuk menjadi pengemudi transportasi umum.
“Tingginya angka pengangguran dan sempitnya lapangan kerja mengakibatkan banyak warga yang memilih jalan pintas menjadi pengemudi angkutan kota, becak motor, taksi hingga angkutan umum berbasis online,” tandasnya. [pu]
- Advertisement -

Berita Terkini