Dewan Pakar MW KAHMI Sumut : Konflik Agraria di Sumut Seperti Benang Sudah Kusut

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Dewan Pakar Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Sumatera Utara (MW KAHMI Sumut) DR. Edy Ikhsan, SH. MA sebagai Pembicara pada Diskusi Webinar Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut dengan thema “Tanah Untuk Rakyat: Penyelesaian Tanah Di Sumatera Utara” pada Rabu (6/10/2021).

Dr. Edy mengawali pembicaraan dengan pengantar dan gambaran fragmentasi tanah di masa kolonial, selanjutnya struktur dasar Penguasaan dan pemakain tanah sejumlah konflik agraria di atas tanah eks konsesi perkebunan, contoh tanah-tanah eks PTPN II yang telah dialihkan, dari hutan reba ke HGU PTPN II: dengan contoh deulayatisasi tanah adat di Sumatera Utara, kebutuhan tanah rakyat dengan model penanganan Orla, Orba dan Reformasi, anomali hukum: berisi pembiaran, ketidakpastian, keberpihakan dan kerugian, tiga serangkai: premanisme, aparat hukum/pemerintah dan pemodal, simpulan analisis sejarah  konflik tanah perkebunan, dan diakhiri dengan catatan dan penutup.

Dr. Edy Ikhsan, S.H, MA yang juga merupakan Wakil Rektor I Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan “Tanah-tanah yang subur dan pernah mengharumkan nama Sumatera Utara (khususnya Deli) ke mata dunia, sekarang dalam keadaan sekarat. Tanah dimana Jacob Nienhuys mendapatkan kontrak sewa jangka panjang pertama kalinya dari Kesultanan Deli di tahun 1863, saat ini mendekati hari-hari kematiannya”.

“Di atas problematika tersebut dipenuhi dengan berbagai bentuk klaim dan potensi konflik yang lebih besar dari apa yang dipersaksikan hari-hari kemarin. Negara dengan hukum-hukum yang tumpang tindih dan lemah dalam penegakannya membuka luka lebih dalam derita rakyat lokal di wilayah ini,” lanjut Edy.

Menurut Edy, Konflik Agraria di Sumatera Utara sudah seperti benang yang super kusut. Penegakan hukum yang lemah, ambivalen dan tidak pasti adalah pendulum utama.

“Keadaan kekinian diperparah dengan paradigma ahistoris yang dijalankan oleh pemangku kebijakan/aparat hukum. Sentralisme kekuasaan dan watak erzat capitalism yang disandangnya mendorong konflik vertikal dan horizontal semakin menemukan bentuk aslinya. Rakyat kecil sudah pasti menjadi makanan empuk dari situasi dan kenaifan kita memiliki negara yang namanya Indonesia,” tutup Edy. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini