Menulis dan Desakan Untuk Terus Mengispirasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Abdi Mulia Lubis

Aku menulis maka aku membaca

Aku membaca maka aku wajib menulis

Jika tak ada yang kutulis

Maka siapa yang akan membaca

Belakangan ini Saya merasa ada kegelisahan yang tak diundang datang tiba-tiba memaksa diri saya untuk menulis lebih baik dari hari kemarin. Saya tidak bermaksud mengatakan tulisan saya sebelumnya bagus, tapi hasrat saya ingin kedepannya lebih baik lagi dalam hal penulisan, paham berbagai alur dan mengerti apa yang diinginkan pembaca. Saya gak tahu kenapa saya belakangan hari seperti ini. Dihantui Writers Blok, tumpul ide-ide tanpa ada satu katapun tertulis, Terus-terusan berpikir tentang yang lain hal, yang inilah yang itulah sehingga sangat sulit untuk fokus menetralkan jiwa saya menjadi lebih nyaman. Saya berpikiran seperti ini, Dengan jiwa yang nyaman, Sehingga menulis bisa jadi lebih nyaman.

Saya tak sadar dan melihat sudah seminggu kurang lebih tak ada satupun tulisan. Mungkin karena kebanyakan berpikir jadi lupa untuk bertindak. Saya tak ingin menyalahkan filsafat, karena ia membuat perspektif saya semakin kaya dengan beragam pandangan. Walau agak tertatih-tatih beban mental itu awalnya, tapi perlahan kebahagiaan itu akan hadir dengan mengetahui penyebab sesuatu. Saya terus mencari-cari memandang kaca menatap wajah yang kusut ini, melihat kedalam diri, tentu ada yang lain di dalam diri saya, seperti merasa ada kepribadian ganda. Dua jiwa dalam satu tubuh, tiga jiwa dalam satu tubuh, empat jiwa dalam satu tubuh, dan banyak lainnya, saya tidak bisa memastikan ada berapa jiwa di dalam tubuh yang mengancam kepala saya dengan pertanyaan-pertanyaan diluar nalar saat ini.

Mungkin saya butuh seorang psikopat, psikiater, psikolog, dokter, paranormal, dukun dan lainnya, saya tidak bisa pasti menjamin untuk bisa menjadi puas dengan konsultasi ke pakar tersebut. Saya tak bermaksud mengucilkan peran mereka, karena saya tak ingin menyusahkan, biarlah saya susah sendiri, saya jalani ribuan kecemasan dan kegelisahan ini dengan sekuat mungkin.

Pertimbangannya mungkin Daripada menghamburkan uang untuk konsultasi ke para pakar, lebih baik uang nya dihabiskan untuk beli buku filsafat. Berkutat dengan beragam perspektif para filsuf dan lihat hal-hal yang belum dilihat orang lain. Bukan bermaksud untuk sombong atau enggan berbagi cerita kepada sesama, karena akan tiba masanya untuk tidak saling merepotkan.

Mengenal diri dengan banyak membaca. Karena Untuk menjadi seorang analisis itu butuh ketenangan dan kesendirian, terbiasa dengan beragam kerumitan. Maka membaca-baca buku adalah langkahnya.

Saya teringat dengan apa yang pernah dikatakan Elizabeth Gilbert pada acara TEDx, “tiap kata yang kutulis perlahan membunuhku.

 

Menulis adalah pekerjaan yang paling sulit di dunia ini buat saya, tanpa bermaksud beranggapan lebay, menulis memang tidak seperti kerja keras fisik lainnya, menulis melainkan kerjanya para jiwa-jiwa di dalam tubuh. Penulis menerawang dan meramal tentang apa yang diinginkan pembaca dalam sebuah tulisan. Resah, Gelisah, galau, butuh pertimbangan yang dalam akan berbagai hal lainnya. Pandangan terhadap jiwa ini harus selaras, sehingga tidak menimbulkan salah paham. Karena membuat pembaca berpikir itu penting daripada bermimpi. Tergantung melihat situasi dan kondisi.

Pertanyaannya mungkin bagaimana menulis minimal 500 s/d 800 kata perhari. Apa saja bahan yang harus dicari, atau fiksi seperti apa yang harus ditulis. Sebagai penulis ada berbagai pertimbangan, karena ada penulis merasa tidak baik untuk menipu pembaca dengan menghadirkan fiksi-fiksi surealisme dari mimpi dan imajinasi ke dalam bentuk tulisan. karena ada kebenaran yang harus ditegakkan. Namun ada juga penulis yang beranggapan surealisme sebagai pendongkrak terciptanya kebenaran.

Terkadang kamu tidak membutuhkan sosok sang pencerahan agar bisa menjadi lebih baik, melainkan butuh tambah kerusakan di dalam diri.

Disini penulis berharap kata-kata diatas tidak sembarang sekali baca/gagal tafsir, namun coba dilihat dari sisi yang lain, coba diartikan dari sudut pandang yang berbeda, sehingga tidak ada kesalahpahaman saling tunjuk bahwa yang nulis itu sesat. Agar kita tahu betapa pentingnya meniptakan perbedaan sebagai identitas kebebasan.

Saya pernah merasa bersalah besar yaitu ketika tak bisa menulis dalam jangka waktu sebulan. Sebulan penuh Saya hanya baca-baca buku saja waktu itu tanpa ada tulisan satu katapun. Rasa bersalah itu mungkin, kalau saya banyak membaca kapan saya bisa menulis ? Kapan gagasan saya bisa dibaca orang lain. Tentu tak selamanya membaca dan harus dibagi-bagi inspirasi dari sebuah bacaan. Tentu ini pergulatannya mengenai waktu dalam membaca dan waktu dalam penulisan.

Terkadang menulis 5 menit itu lebih sulit daripada membaca buku sejam hingga dua jam.

Saya pernah merasakan hal diatas berulang-ulang tanpa henti, berjalan kesana-kemari bertanya-tanya pada diri kenapa sulit sekali saat ini. Perlahan Intropeksi diri saya mulai memahami kurang fokus akibat sosial media.

Mulai Januari 2017 saya sudah tidak memakai Instagram, dalam arti tujuan saya ingin fokus pada kata-kata bukan pada gambar. Tentu ada momentum yang harus disimpan atau difoto, tapi alangkah baiknya fokus kepada kata-kata. Pertama memang terasa amat sulit hidup tanpa Instagram, tidak bisa eksis tetapi ada pencerahan dibalik semua ini. Justru harus dilihat dari berbagai hal.

 

Pertama kesempatan waktu untuk membaca-baca buku jadi lebih banyak, bisa sejam hingga dua jam perhari, lumayan untuk mempertajam intuisi, nalar, intelektual serta imajinasi. Saya bebas membaca buku dan tidak terpatok pada edit foto dan gaya warna. [pu]

Abdi Mulia Lubis adalah Pegiat Literasi Kota Medan

- Advertisement -

Berita Terkini