Bukan Sarjana Kardus

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Setelah aku tamat SMA empat tahun yang lalu, kebanggaan pertama orangtuaku adalah aku berhasil masuk di salah satu kampus terbaik yang ada di Medan. Kebanggaan orangtuaku selanjutnya adalah setelah menyelasaikan kuliah tepat waktu, kurang lebih sedikitlah. Sekarang aku telah mempunyai gelar sarjana.

“Hera…” Ibu memanggilku sambil mengetuk pintu kamarku.
Dengan sejenak aku berhenti bermesraan dengan laptopku, “Iya. Ada apa Mama?”
“Turun ke bawah sayang. Papamu mau ngomong.”
“Iya, Ma…”

Kulihat sudut kanan bagian bawah layar laptopku, “Oh, sudah saatnya makan malam.” Pikirku. Papaku sangat sibuk dengan pekerjaannya. Papa pergi pagi-pagi dan pulang menjelang Maghrib. Sudah begitu sejak aku kecil hingga kini. Hanya sedikit waktu yang tersisa untuk aku dan dua Abangku yang sekarang sudah menikah.

Kuletakkan laptop kesayanganku, laptop yang selalu setia menemaniku dan selalu bersedia menampung isi pikiran serta curhatan hati. Kuraih Hp androidku dari meja belajar. Perlahan-lahan kubuka pesan-pesan yang masuk di WA. Semuanya biasa saja, hanya chattingan dari teman-teman.

Tiba-tiba saja. Ah, sebenarnya tidak ada yang tiba-tiba. Jikalau begitu, kebetulan saja. Ah, kebetulan itu juga sebenarnya tidak ada. Semuanya terjadi karena ada sebab-musababnya. Sudah menjadi hukum alam, akibat beribu dari sebab.

Hpku berbunyi. Bukan bunyi ketika ada chatt WA yang masuk. Di layar atas, langsung muncul pemberitahuan bahwa ada balasan email. Perlahan dengan pasti, aku membuka pemberitahuan itu. Aplikasi Gmail di Hpku langsung terbuka. Pelan dengan penuh perhatian, aku pun mulai membacanya.

“Tok…tok…tok. Kreekkk…” Suara pintu kamarku dibuka.
“Hera…, tunggu apalagi sayang. Papamu mau ngomong sebentar. Papamu tak bisa lama menunggu. Sebentar lagi Papamu mau pergi lagi.” Suara Mama mengalihkan perhatianku dari isi emai itu. Hanya baru beberapa kata saja yang sempat menggetarkan bibirku.
“Iya, Ma…”
“Kamu lagi ngapain sih?” Mama mendekatiku dan dengan lembut memegang tanganku.
“Bentar ya, Ma…” Aku minta waktu.

Permintaanku tidak dipenuhi. Dengan lemah lembut sambil menarik tanganku, Mama membawaku keluar dari kamar. Aku tidak punya daya untuk menolaknya. Hp hanya kubiarkan dalam genggaman telapak tangan sebelah kanan, sedangkan tanganku sebelah lagi sedang erat dalam genggaman Mama.

Aku dan Mama menuruni anak tangga sambil tersenyum manis. Kulihat Papa sudah berpakaian rapi sadang menungguku, dan sebentar lagi akan keluar rumah karena ada urusan pekerjaan yang mendadak. Aku tidak tahu semuanya apa pekerjaan Papa. Tapi aku tahu bahwa Papa bertemu orang-orang besar dan pejabat-pejabat. Hal itu aku ketahui bukan karena pernah ikut bersama Papa, tapi dari foto-foto yang terpajang rapi di dalam rumah.

“Ada apa, Pa…?” Tanyaku sambil duduk di samping Papa.
“Langsung Papa katakan saja ya, tanpa mukaddimah lagi.”

Aku hanya menaik-turunkan kepala sambil menyunggingkan bibirku dengan manis dan mata manja sebagaimana seorang anak manja pada orangtuanya. Di sini perlu kutegaskan bahwa aku bukanlah anak manja. Tapi, aku anak Mama dan Papa. Heheheee…
“Hera, sayang. Kamu kan sudah punya gelar sarjana. Jadi, Papa ingin kamu bekerja dilembaga instansi pemerintahan, menjadi PNS. Papa sudah urus semuanya untuk memuluskan jalanmu. Dengan cepat nanti kamu jadi atasan. Papa udah hubungi teman-teman Papa di pejabat pemerintahan….”

Aku tidak langsung memotong pembicaraan Papa. Kubiarkan saja Papa memuntahkan semuanya. Walau sebenarnya aku sudah tahu kemana ujung pembicaraan Papa. Karena, sewaktu masih kuliah, Papa pernah mengungkap hal demikian. Dulu, harapan itu pernah disampaikan pada kedua Abangku, tapi demi mendampingi Papa dalam pekerjaannya, Papa membutuhkan tenaga Abang yang ditempatkan di Jakarta dan di daerah Indonesia Timur.

“Bagaimana munurutmu, sayang?” Tanya Papa.
Aku berpikir, malam itu lah waktu yang tepat untuk kusampaikan apa yang menjadi cita-cita atau sesuatu yang ingin kugapai dalam hidupku. Cita-cita atau sesuatu itu dapat kukerjakan tanpa merasa ada beban dan sesuai hobiku. Bagaimana nanti keberhasilannya, itu tidaklah menjadi permasalahan. Setidaknya aku sudah berjuang untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita yang datang dari dalam diriku sendiri.

Papaku begitu berang mendengar apa yang aku sampaikan. Secara halus aku menolak apa yang diinginkan Papa, sebagaimana yang ia katakan. Menanggapi jawabanku ia terkadang mengeluarkan suara keras yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Wajahnya tentu berubah jadi merah. Mama hanya diam saja tidak dapat membelaku. Dengan diamnya Mama, itu berarti Mama ikut mendukung apa yang diinginkan Papa.

“Untuk apa kamu jadi penulis? Dapat apa dari menulis? Sampai sekarang satu buku pun belum bisa kamu ciptakan. Tulisan-tulisanmu di koran itu hanya cerpen-cerpen. Apa manfaatnya cerpen itu. Apa kata teman-teman Papa nanti, sedangkan anak mereka jadi PNS?” Papa diam sejenak. “Untuk apa pula kau membuka toko buku, buat usaha café? Apa kamu kekurangan uang?…”

Aku pun menutup telinga walau tanpa kedua tanganku. Cita-cita Papa bukanlah cita-citaku. Keinginan Papa supaya jadi itu dan jadi ini, supaya terkenal atau mendapatkan perkejaan yang teratas walau dengan jalan pintas seperti menyuap, aku tetap menolaknya.
Karena tidak ada titik temu, akhirnya Papa pun meninggalkanku dalam posisi duduk tertunduk. Mama mengikuti Papa menuju pintu. Mataku sedikit berkaca-kaca walau sebentar. Aku tahu mencapai sesuatu cita-cita pasti melewati ujian atau pun rintangan. Aku yakin sekali dengan suatu perkataan; “Siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya.”

Dalam hati aku menguatkan, “Aku bukan sarjana kardus. Yang belajarnya hanya di kelas, tujuan selembar kertas, gelar untuk popularitas atau status, mencari kerja yang teratas, jika tak dapat maka buat jalan pintas.”

Hp yang sedari tadi dalam genggamanku berbunyi. Ada pesan masuk dari WA. Aku tarik layar Hp kebawah melihat chatt dari siapa. Ternyata dari seseorang yang sering memberikanku motivasi.

Membaca pesan chatt-nya, aku pun teringat pada pesan yang masuk di email yang sempat tertunda kubaca. Dengan cepat, “klik”, perlahan aku membacanya dalam keadaan…, ya kamu pasti tahu sendiri.

Dalam kesendirian saat membaca pesan yang masuk di email itu, aku tersenyum. Aku berterima kasih pada Sang Maha Penentu. Naskah novelku, yang kukirim tiga bulan yang lalu ke salah satu penerbit besar di Indonesia ini, akhirnya diterima. Dalam pemberitahuan itu, pihak penerbit akan mengirimkan surat kontrak atau surat perjanjian penerbitan buku.
Cita-cita pertamaku menjadi penulis telah mendapat titik terang. Tinggal aku membuka toko buku dan café. Rencananya toko buku dan café-ku ditempat yang sama, dan juga aku akan menyediakan bacaan gratis sambil menikmati minuman. Yang hendak membeli buku silahkan membeli buku, yang hanya membaca buku saja, tetap diperbolehkan. Tidak ada masalah. Yang menjadi permasalahan adalah jika kita sebagai pemuda atau anak bangsa tidak mau membaca.

Cerpen di atas telah dimuat di Harian Koran Medan Pos, Minggu, (8/9/2019).

Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI dan Penggiat Literasi di Sumut)

- Advertisement -

Berita Terkini