Dampak Buruk Era Disrupsi Teknologi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kita sedang berada di tengah-tengah era disrupsi teknologi. Era ini ditandai dengan terjadinya revolusi industri keempat atau yang saat ini lebih dikenal dengan revolusi industri 4.0. Revolusi zaman ini ditandai dengang fenomena munculnya rentetan teknologi canggih yang menghadirkan inovasi-inovasi yang berkembang pesat beberapa tahun terakhir ini, tanpa terkecuali di Indonesia. Segala layanan berbasis online, seperti tranportasi online, toko online, perpustakaan online, konsultasi secara online, hingga bimbingan belajar atau sistem sekolah secara online telah menjadi ciri khas era saat ini.

Era disrupsi teknologi yang terjadi saat ini jika kita dekatkan pada Teori Gelombang Peradaban yang dicetuskan Alvin Toffler, maka era ini adalah gelombang ketiga sejarah peradaban umat manusia. Sebelumnya, umat manusia melewati gelombang pertama, yaitu zaman pertanian yang tumbuh selama lima ribu tahun yang lalu yang dirintis oleh bangsa Sumeria. Kemudian gelombang kedua adalah zaman industri yang tumbuh pada abad ke-18 di Inggris. Dan kini, peradaban umat manusia berada di dalam gelombang ketiga, yaitu zaman informatika. Zaman ketiga ini, baik penyebutannya zaman informatika, atau zaman disrupsi teknologi, dipicu oleh penemuan silikon dan microchip sebagai komponen kecerdasan buatan (artificial intelligence) seperti lahirnya komputer, internet, ponsel dan yang terbaru adalah segala macam aplikasi media sosial online atau pun layanan sosial secara online.

Fenomena era disprupsi teknologi, menurut Francis Fukuyama–orang kedua yang paling terkenal dalam diskursus disrupsi setelah pencetusnya, Clayton Christensen–menarik dan perlu untuk dikaji secara lebih mendalam. Sebab, sebagaimana pendapat Alvin Toffler terkait perubahan atau gelombang zaman, akan selalu melahirkan dampak globalisasinya. Dapat berdampak buruk bagi perubahan sosial, dapat pula berdampak buruk. Dalam hal ini (disrupsi), Fukuyama melihat bahwa dampak buruknya lebih banyak daripada dampak baiknya.

Ilmuwan Politik dan Penulis Amerika Serikat kelahiran 27 Oktober 1952 itu memandang bahwa era disrupsi teknologi adalah sebuah guncangan besar yang mengubah tatanan sosial dalam masyarakat. Dalam karya tulisnya yang berjudul; The Great Disruption–yang terbit dua tahun (1999) setelah Christensen mengemukakan tentang Disruption tahun 1997 dalam sebuah buku yang berjudul; The Innovator Dilemma–Fukuyama memaparkan data-data dan faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan tatanan sosial di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, yang telah beralih dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi (information society). Tidak menutup kemingkinan, telah terjadi juga di Indonesia.

Dampak Buruk Era Disrupsi Teknologi

Era Disrupsi yang ditandai dengan kecanggihan teknologi dan informasi komunikasi saat ini menurut Francis Fukuyama adalah gangguan atau dapat dikatakan sebuah bencana bagi tatanan sosial dalam masyarakat nyata. Gangguan yang diakibatkan teknologi canggih tersebut dapat merusak tatanan sosial kepada individu dan juga kelompok dalam suatu negara. Ia melihat perkembangan teknologi yang kian canggih menciptakan disrupsi (ganguan/guncangan/kekacauan) yang membuat tatanan sosial yang selama ini baik, menjadi rusak.

Dalam bukunya yang terkenal itu, ia menegaskan bahwa disrupsi teknologi mengakibatkan merosotnya nilai dan norma dalam masyarakat yang ditandai dengan fenomena hilangnya kepercayaan (trust), meningkatnya angka kriminalitas, relasi atau ikatan keluarga yang semakin rapuh yang berimbas pada meningkatnya angka perceraian dan banyaknya bayi lahir tanpa ayah. Teknologi yang semakin canggih akan membentuk masyarakat informasi dan menjadi ketergantungan sehingga memperburuk tatanan sosial. Singkatnya, kecanggihan berbasis internet saat ini akan terus mengikis modal sosial (capital social) secara perlahan maupun cepat.

Dampak buruk yang terjadi di era disrupsi teknologi ini harus dapat dipahami dan dihindari. Tingkat kejahatan atau kriminalitas sangat meningkat disebabkan oleh teknologi. Walaupun ada kebaikan yang didapatkan dari era ini, tapi bagi Fukuyama, kejahatan atau kriminalitas juah lebih meningkatkan. Kejahatan di era saat ini memiliki bentuk tersendiri sesuai dengan perkembangan industri masing-masing. Semakin canggih teknologi yang diciptakan, bentuk kejahatan yang terjadi justru mengikuti dan memanfaatkan perkembangan tersebut.

Dampak kekacauan yang ditimbulkan teknologi canggih sungguh sangat dirasakan di negara kita. William Roja (2020), dalam refleksi filosifisnya terkait era disrupsi teknologi, dengan pendekatan pada teori Francis Fukuyama, Indonesia mengalami kekacauan modal sosial atau tatanan sosial yang diakibatkan oleh kecanggihan teknologi. Beberapa tahun terakhir ini, Indonesia mengalami kewalahan menghadapi konflik-konflik yang penyebabnya adalah ketidakbijakan individu dalam memanfaatkan teknologi digital yang semakin berkembang pesat.

Tentu kita masih ingat bagaimana kasus yang menimba Ahok pada tahun 2017 bermula dari sebuah video yang diedit kemudian disebarkan diberbagai media sosial online dan diunggah di Youtube. Selanjutnya, berita bohong (hoaks) juga hampir sering menjadi sumber-sumber konflik di tengah-tengah masyarakat. Kemudian, saat ini banyaknya penipuan atau penggelapan uang seseorang yang berinvestasi dalam sebuah sarana pinjaman online (Pinjol). Hal ini cukup meresahkan dan mengikis modal sosial, kepercayaan yang menipis disebabkan ketergantungan pada alat-lat teknologi yang sebenarnya lebih banyak merugikan.

Membandingkan ulasan Fukuyama di dalam bukunya tentang tingginya angka perceraian yang terjadi di era disrupsi teknologi, di Indonesia sendiri, berdasarkan data Badan Pusat Statistik melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), angka perceraian di Indonesia meningkat dari tahun 2016-2018. Pada tahun 2018 ada 419,2 ribu keluarga yang secara resmi bercerai. Selain itu, angka pernikahan di bawah umur juga naik 14,18% pada tahun 2018. Artinya, ini adalah persoalan serius yang harus disikapi.

Terkait kriminalitas atau kejahatan yang memanfaatkan teknologi digital (cyber crime) di Indonesia mengalami pertumbuhan. Kasus peretasan mulai tumbuh, dan pembajakan media sosial sangat dominan. Penyebaran berita bohong (hoaks) terus meningkatkan sehingga memberi efek destruktif pada masyarakat, seperti terprovokasinya masyarakat sehingga terlibat dalam demonstrasi yang dimanfaatkan segelintir orang.

Williams lebih lanjut menjelaskan bahwa, masyarakat informasi telah terpapar teknologi digital yang membuat mereka merasa tahu akan segalanya. Di era informasi ini hampir tidak ada argumen yang tidak dapat terselesaikan. Saat ini setiap orang membawa lebih banyak informasi di ponselnya dibandingkan dengan total semua informasi di perpustakaan nasional. Dengan kata lain, teknologi seolah-olah membuat individu mejadi perpustakaan berjalan hanya dengan modal tablet atau ponsel pintar yang terhubung dengan jaringan internet. Orang tidak butuh ahli atau pakar lagi. Semuanya tinggal membuka ponsel pintarnya. Padahal itu belum tentu benar-benar baik untuknya. Yang dijelaskan Williams ini, senada dengan yang dijelaskan oleh Tom Nichols dalam bukunya; Matinya Kepakaran (terj), penyebabnya karena era kecanggihan teknologi informasi.

Penutup

Dari semua perkembangan pesat era disrupsi teknologis saat ini, kita perlu mengantisipasi hal-hal buruk yang diakibatkannya. Setiap perubahan zaman tentu akan mencari dan memakan korban. Di akhir pembahasannya, Fukuyama menjawab segala permasalahan yang terjadi dengan pentingnya kita kembali kepada kesadaran akan kodrat manusia dan kapasitas manusiawinya, merekonstruksi tatanan sosial, kemudian melibatkan peran negara dan agama untuk menjaga perilaku manusia agar tetap dalam perbuatan yang baik. Dampak baik dan buruk harus kita pahami dalam sebuah gelombang peradaban umat manusia.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Penggiat Literasi)

- Advertisement -

Berita Terkini