Paradoks Modernitas

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Ilham Ramadhan (Dosen STAI Al Ittihad Cianjur)

Modernitas sebagai sebuah arus besar kebudayaan dan pola pikir yang bersandar pada ide pencerahan (aufklarung), seperti diketahui, telah memberi sumbangan sangat penting pada tata peradaban dunia.

Perkembangan sains dan teknologi, revolusi seni, sekularisasi politik, rasionalisasi birokrasi dan munculnya kapitalisme sebagai tanda kebangkitan zaman modern tidak bisa dilepaskan dari arus besar tersebut

Habermas, filsuf yang punya minat luar biasa pada berbagai disiplin ilmu (filsafat, psikologi, ilmu politik, sosiologi), ialah seorang tokoh yang punya pengaruh luar biasa. Figur intelektual dominan pasca perang dunia II hingga sekarang. Pengaruhnya terentang jauh. Melintasi disiplin ilmu, terutama ilmu sosial humaniora. Kontribusi besar Habermas sebenarnya bukan terletak pada luas pengaruhnya, tapi pada kesatuan perspektif yang diberikan, yakni visi tentang manusia dan sejarah.

Dan prospeknya yang berakar kuat dalam tradisi filsafat Jerman, dari Kant hingga Karl Marx. Soal inilah yang membuat Habermas terkenal sebagai figur utama dalam bidang filsafat dan teori sosial.’? Ketokohan dan ide-idenya (dengan minat, pengaruh dan kontribusinya yang begitu luas) telah melahirkan sekian obrolan maupun tulisan. Namun, karyakarya Habermas ihwal modernitas biasanya dibaca dalam dua cara.

Pertama, dibaca dalam perspektif teori perkembangan rasionalisasi masyarakat, lebih dekat sosiologi dan filsafat sosial. Kedua, dipahami dalam perspektif rasionalitas sebagai subyek filsafat modern, sebagai diskursus filsafat: epistemologimetafisika filsafat modern. Pada yang pertama, modernitas dimaknai sebagai proses rasionalisasi, proses berkembang dan menyebarnya rasio ke segenap bidang kehidupan, seluruh praktik keseharian manusia.

Rasionalisasi terdapat dalam sistem birokrasi, administrasi, politik, ekonomi dan kebudayaan masyarakat modern. Di satu sisi rasionalisasi bernilai positif: membuat manusia lebih rasional menata hidupnya. Perkembangan teknologi, sistem birokrasi yang efisien, pengaturan sistem politik yang rasional, memudahkan dalam mengatur masyarakat. Tapi di sisi lain, mesti disadari bahwa, rasionalisasi telah menciptakan patologi-patologi irrasionalisme, selubung ideologi teknologi, sangkar besi birokrasi (Weber), alienasi dan penindasan (Marx).

Barangkali tidak bisa dibantah keyakinan akan keampuhan rasio, tentang gemerlapnya sains dan teknologi, mengiringi kemunculan zaman modern, abad rasio (age of reason), atau abad pencerahan (aufklarung).

Seorang Immanuel Kant mengartikan pencerahan sebagai “jalan keluar” manusia dari situasi ketidakdewasaan, dari masa yang suram. Dimana manusia menggantungkan pemahaman dirinya pada bimbingan (guidence) diluar dirinya, menuju kedewasaan berpikir (mundigkeit) untuk mencapai situasi kemajuan.

Zaman modern, zaman pencerahan tidak lahir dari ruang kosong, dari ruang hampa, melainkan muncul dari tahap-tahap yang saling mengandaikan. Zaman pencerahan adalah tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang dimulai sejak Renaissance dan Reformasi Gereja. Keyakinan yang luar biasa akan supremasi rasio itu ditunjang perkembangan ilmu pengetahuan.

Dengan kata lain, dapatlah ditempatkan awal zaman modern di permulaan abad ke 17, abad yang cukup aneh, penuh dengan energi kejeniusan tapi juga kontradiksi. Karena abad itulah yang menciptakan ilmu pengetahuan modern dan teknologi yang menyertainya.

Jelas bahwa pusat ketakutan kita sekarang, bukan lagi para iblis atau kiamat yang tercatat dalam kitab-kitab suci, adalah teknologi dan ilmu pengetahuan, Kita telah mengembangkan peralatan teknik untuk meledakkan bumi jadi berkeping-keping, dan kita takut pada suatu masa yang liar yang bisa menjebloskan dunia dalam kobaran api serta kebencian. Dari terang dan kegelapan ketakutan itulah, teknologi dan ilmu pengetahuan tampil sebagai fakta yang unik dalam zaman modern.

Proyek modernitas dengan cita-cita besar: mengangkat manusia menuju masyarakat rasional, otonom dan dewasa justru mengantarkan manusia pada irasionalitas, totalitarianisme itu.

Cacat-cacat modernitas tampak sempurna dalam bentuk totalitarianisme, hilangnya makna, anomi, penyakit jiwa, alienasi,  dan lain-lain. Kondisi-kondisi itulah, seperti diungkapkan Susan Neiman, yang menciptakan gelombang pesimisme baru, dalam sebuah bukunya Evil in Modern Thought: An Alternative History of Philosophy (2002). Di buku Neiman, kita akan menemukan kesimpulan itu: pencerahan sebagai zaman bernuansa pesimis.

Perspektif kedua, modernitas diposisikan sebagai bangunan epistemologis-metafisik peradaban Barat. Habermas sebagai pembela asumsi-asumsi filsafat modern mendapat serangan-serangan dahsyat dari kalangan post-modern.

Proyek modernitas menuju masyarakat rasional di mata kalangan postmodern dianggap sebagai perwujudan kuasa dalam bentuk sistem ekonomi dan administrasi birokrat.

Kecenderungan mencari dasar pengetahuan, kenyataan yang bersifat universal, yang jadi hasrat filsafat modern: menciptakan totalitarianisme. Kecenderungan ini tampil dalam cita-cita yang digelorakan oleh tradisi pencerahan seperti emansipasi rasional, kemajuan dan humanisme.

Akibatnya masyarakat semakin mengarahkan tindakannya pada pertimbangan ekonomis dan penyesuaian pragmatis terhadap peraturan birokrasi negara. Inilah yang dimaksud “dunia kehidupan dijajah oleh sistem”. Logika dunia kehidupan masyarakat telah dikeruhkan logika rasio kalkulatif, rasio ekonomi pragmatis, rasio instrumentalis negara.”

Melalui optik filsafat kesadaran inilah, optik yang dipakai dalam menggali konsepsi modernity: an incomplete project Jürgen Habermas, modernitas sebagai pandangan metafisikepistemilogis peradaban Barat akan ditelanjangi, dide dahkan.

Yang saya gunakan demi menjernihkan kritik yang dilontarkan para postmodern yang diarahkan pada asumsi modernitas. Yang saya pinjam buat meneropong bagaimana Habermas melampaui, melanjutkan proyek modernitas yang bertumpu pada filsafat kesadaran.

- Advertisement -

Berita Terkini