Mengembalikan Marwah Masjid Istiqlal

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Masjid Istiqlal masjid merupakan masjid kebanggaan bangsa di pusat ibukota yang dibangun sebagai simbol toleransi. Akan tetapi masjid ini pernah dijadikan titik temu gerakan intoleransi. Persinggahan kaum kadrun sebelum demo berjilid – jilid melawan istana.

Renovasi masjid terbesar di Asia Tenggara yang baru selesai kini diharapkan juga bersih bersih kelompok intoleran yang mengotori marwah masjid. Mengembalikan marwah masjid negara ini.

Kini Istiqlal tampil dengan wajah baru berkilau dan indah. Berubah total dengan biaya Rp. 511 miliar, melibatkan seribu orang selama 14 bulan. Melar dari anggaran awalnya 475 miliar. Megah, bersih, bercahaya. Berbeda dengan sebelumnya, masjid Istiqlal kotor, kumuh, banyak gelandangan, pengemis dan menjadi pusat titik kumpul pendemo berkedok agama menuju istana negara (212).

Masjid Istiqlal direnovasi besar – besaran untuk pertama kalinya sejak 42 tahun lalu. Dimulai pada Mei 2019 dan telah selesai diresmikan presiden Jokowi, Kamis (7/1) kemarin.

Dilaporkan lingkup pekerjaan renovasi masjid Istiqlal meliputi penataan kawasan, pekerjaan struktur, arsitektur, mechanical electrical plumbing (MEP), interior dan signage.

Untuk penataan kawasan meliputi pengembalian akses Monas dan perapihan zonasi kawasan, perbaikan gerbang, penambahan plaza-plaza sebagai ruang publik, perbaikan tepi/tanggul sungai, penambahan gedung parkir lapis 2 (basement), perbaikan kantin dan penambahan area PKL, dan lain – lain.

Renovasi ini dikerjakan Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya melalui BPPW Provinsi DKI Jakarta dengan kontraktor PT Waskita Karya selaku kontraktor pelaksana dan PT Virama Karya selaku konsultan manajemen konstruksi.

Sebagai masjid bersejarah, semoga masjid ini harus terus dijaga kebersihannya, dikelola dengan modern, memisahkan manajemen masjid dan manajemen peribadatan. Mental pegawainya dijaga dan diawasi, jangan lagi ada yang menjadi koordinator pengemis dan perdagangan kaki lima.

Jangan kalah dengan stasiun KAI, Commuter Line dan MRT yang terjaga kebersihan dan kerapihannya setiap saat.

Semoga manajemen dan petugas yang ada di sana tidak ngobyek dari uang penitipan sepatu, halaman parkir dan pedagang kaki lima. Gunakan ousourching seperti perusahaan “cleaning service”.

Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta sudah bertetangga selama lebih dari 40 tahun sebagai simbol kerukunan antar umat beragama, dua rumah ibadah di pusat Kota Jakarta, khususnya Islam dan Katolik.

Kerukunan dua umat beragama diperkuat dengan bakal dibangunnya terowongan silaturahmi yang menghubungkan kedua tempat ibadah agar makna toleransi itu semakin tegas. Rp.40 miliar dialokasikan

“Ini menjadi sebuah terowongan silaturahmi. Jadi tidak kelihatan berseberangan, tapi silaturahmi,” kata Presiden Jokowi saat meninjau renovasi Masjid Istiqlal, Jumat (7/2/2020) lalu.

Masjid Istiqlal dibangun selama 17 tahun, jelang suhu politik dalam negeri yang kian memanas pada tahun 1960-an dan baru rampung pada 1978.

Pendirian masjid besar Istiqlal digagas sejak sekitar tahun 1944, ketika beberapa ulama dan tokoh-tokoh Islam berkumpul di kediaman Sukarno di Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi) untuk meminta izin mendirikan Masjid Agung di Jakarta. Usulan itu disambut baik oleh Soekarno tapi masih sangat sulit dilaksanakan mengingat Jepang masih berkuasa di Indonesia.

Pada awal 1950-an, keinginan itu timbul kembali. Atas prakarsa Menteri Agama KH Wahid Hasyim dan Anwar Tjokroaminoto dari Sarekat Islam, lebih dari 200 orang tokoh-tokoh Islam berkumpul di Gedung Pertemuan Umum Deca Park, Medan Merdeka Utara.

KH Wahid Hasyim, ayah dari Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), selaku Menteri Agama, mengakomodasi suara-suara kelompok Islam tersebut, sehingga akhirnya Soekarno pun menyetujui.

Pada 1954, terbentuk susunan pengurus Yayasan Masjid Istiqlal dengan Anwar Tjokroaminoto sebagai ketua pertama.

Presiden Soekarno menyambut gembira langkah pertama itu. Ia bahkan mengusulkan agar diadakan sayembara Rencana Gambar Masjid Istiqlal yang dimenangkan arsitek Friedrich Silaban, yang notebene seorang Kristiani, putra seorang pendeta.

Peran dan kehadiran Friederick Silaban yang juga mengarsiteki Gedung Bank Indonesia (BI), Monas, Stadion Utama Senayan, TMP Kalibata, monumen pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, juga menegaskan simbol toleransi dua umat beragama.

Istiqlal dibangun di atas bekas benteng kolonial Citadel yang terletak di Wilhelmina Park (sekarang Jl. Taman Wijaya Kusuma) dan berseberangan dengan Gereja Katedral, sebagai simbol kebebasan. Arti dari kata “Istiqlal” adalah “Merdeka”

Ir. Sukarno sempat berselisih pendapat dengan Mohammad Hatta yang menyarankan agar Istiqlal dibangun di atas lahan kosong yang kini menjadi Hotel Indonesia di Jalan Thamrin. Sukarno menampik usulan Hatta.

Selanjutnya, seluruh tenaga ahli yang terlibat di dalam pengerjaan masjid megah itu adalah pilihan Presiden. Pemancangan tiang pertamanya pada 24 Agustus 1961, namun pembangunan Masjid Istiqlal mangkrak di tengah jalan terkait kondisi politik Indonesia yang kian tidak menentu usai peristiwa 30 September 1965.

Orde pemerintahan Soekarno melemah, begitu pula dengan proyek nasionalnya.

Pada 1969, Presiden Soeharto mengambil alih Panitia Pembangunan Istiqlal. Ia menyatakan Masjid Istiqlal tetap akan dibangun sebagai bagian proyek nasional dan predikatnya sebagai monumen kemerdekaan tidak akan berubah. Memasuki periode tahun 1970-an, Istiqlal yang awalnya masih berupa tiang-tiang raksasa tak beratap mulai kelihatan bentuknya.

Istiqlal sebagai Masjid Monumen Kemerdekaan rampung pada 22 Februari 1978.

Sejak Orde Baru tumbang, dan Soeharto lengser, kawasan masjid ini kerap menjadi persinggahan kelompok-kelompok Islam fundamentalis yang suka demonstrasi.

Pada 7 April 2000, setelah setelah konflik berdarah di Ambon meletus, kelompok Laskar Jihad berkumpul di sekitar kawasan Merdeka. Jafar Umar Talib memimpin laskarnya dan ingin bertemu Gus Dur yang kala itu menjabat Presiden. Menjelang hari pertemuan dengan Gus Dur itu, ada di antara mereka yang berseliweran di pusat ibukota dengan membawa senjata tajam.

Pada November 2016, masjid Istiqlal kembali jadi tempat berkumpul massa demonstran yang digalang Moh Rizieq Shihab untuk memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait dugaan penistaan agama: Surat Al-Maidah 51.

Dua gelombang demonstrasi ini pada 4 November 2016 (411) dan 2 Desember 2016 (212) dipadati ratusan ribu orang—bahkan ada yang menyebut jutaan—dan Istiqlal menjadi persinggahan penting para pendemo. Mereka tergabung dalam kelompok bernama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI.

Menjelang demo 411, massa pendemo sudah memadati Istiqlal sejak Kamis, tanggal 3 November. Banyak yang datang dari luar Jakarta. Bis-bis yang membawa para pendemo bahkan tak tertampung di lahan parkir areal masjid. Akhirnya, banyak yang parkir di pinggir jalan.

Para demonstran itu menginap juga di area Masjid Istiqlal. Pengurus Masjid Istiqlal ikut menyiapkan konsumsi bagi jemaah demonstran yang akan berdemo ke depan Istana Merdeka setelah shalat Jumat 4 November 2016 di Istiqlal.

Kepala Bagian Protokol Masjid Istiqlal Abu Hurairah Abdulsalam menyebut konsumsi itu dipersiapkan setelah pihaknya mendapatkan sumbangan atas nama pribadi dari warga.

Pemberian fasilitas pengelola Istiqlal kepada pendemo anti istana tak bisa dipisahkan kedekatan pengurus MUI pusat dengan keluarga Cendana.

Bahkan rencana pembangunan terowongan ke arah Katedral juga mendapat penolakan dari kyai pengurus MUI pro kadrun itu.

Setelah shalat Jumat mereka bergerak ke Jl. Merdeka Barat. Berharap pimpinan demo akan bertemu Presiden Jokowi. Harapan mereka tak dipenuhi Presiden yang tidak berada di Istana. Demo pun berakhir rusuh.

Dalam Demo 212, sejak Kamis Istiqlal juga sudah dipenuhi demonstran. Lahan parkir dan jalanan sekitar Istiqlal dipenuhi mobil-mobil dan bis, yang juga datang dari luar Jakarta. Pada hari Jumat dinihari, jumlah massa pun bertambah lagi. Mereka akhirnya shalat Subuh berjamaah.

Aksi demo 212 sebetulnya berlangsung lebih damai ketimbang 411. Presiden dan Wakil Presiden bahkan ikut salat Jumat bersama mereka. Mereka shalat dalam keadaan hujan. Setelahnya, massa bubar dari lapangan Monas, tempat mereka berkumpul.

Halaman masjid Istiqlal menjadi saksi intimidasi terhadap jurnalis. Shinta Novita dan Aftian Siswoyo, keduanya juru kamera dan reporter Metro TV, terkepung segelintir massa demonstran pada pukul 15.00 ketika hendak menyiarkan berita bubarnya para demonstran. Keduanya diganggu. Keduanya lalu diamankan aparat.

Selain menjadi tempat berkumpul untuk berdemonstrasi, masjid ini setidaknya pernah dua kali jadi sasaran bom.

Pada 14 April 1978 terjadi ledakan bom di Masjid Istiqlal Jakarta. Sampai sekarang, ledakan bom dengan bahan peledak TNT ini tetap jadi misteri. Tak ada korban jiwa dalam ledakan itu.

Pada 19 April 1999, menurut catatan jurnalis Indiwan Seto Wahjuwibowo, Istiqlal kembali dibom. Ledakan itu meretakkan tembok dan memecahkan kaca beberapa kantor organisasi Islam yang berkantor di Masjid Istiqlal, termasuk kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Edy Ranto yang menjadi pimpinan dari Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN) pun jadi tersangka. Empat hari sebelumnya, kelompok ini dituduh, meledakan Plaza Hayam Wuruk.

Menurut DS Narendra, dalam “Teror Bom Jamaah Islamiyah” (2015), terdapat Edi Taufik, Edi Rohadi, Suhendi, Ikhwan bergabung dalam kelompok Edy Ranto ini.

Motif pemboman Istiqlal itu tidaklah jelas. Banyak menyangka pemboman, termasuk terhadap sebuah masjid, dipastikan memiliki niatan politis. Memancing kemarahan umat Islam. Namun, kekuatiran ihwal kemarahan umat Islam ternyata tak terjadi.

Masjid Istiqlal memiliki luas area kawasan 91.629 meter persegi (tidak termasuk area sungai) dan luas bangunan masjid 80.948 meter persegi yang dapat menampung 200 ribu orang.

Masjid Istiqlal bukan hanya masjid terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara, melainkan juga masjid negara.

Oleh : Supriyanto Martosuwito

- Advertisement -

Berita Terkini