Intisari Pemikiran Gusdur dan Keislaman

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Gusdur sebagaimana yang anda tahu semua adalah tokoh yang sangat masyhur dan terkenal. Semua orang tahu, beliau bekas atau mantan presiden Indonesia pasca reformasi. Namun dalam artikel ini penulis akan membahas Gusdur bukan sebagai tokoh politik tetapi sebagai tokoh pemikir yaitu sebagai intelektual muslim. Menurut penulis, jasa Gusdur sebagai pemikir muslim sangat banyak dan pemikiran Gusdur sebenarnya meneruskan semangat pemikiran yang pernah kita pahami dari pemikir-pemikir besar muslim yang lain seperti Muhammad Abduh, Qossim Amin, Ali Abdur Raziq, Amin Alkhuliy, Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun dan yang lain-lain. Jika kita membaca buku-buku tebal mengenai pemikiran Gusdur dan keislaman maka inti dari pemikiran Gusdur dalam buku-buku itu adalah tentang Pribumisasi Islam dan Dialog Antar Agama. Semangat pemikiran Gusdur sama seperti pemikir besar Muslim diatas yaitu tentang pentingnya memahami Islam secara kontekstual yaitu:

1. Pribumisasi Islam
Dalam hal memahami Islam secara kontekstual, Gusdur memakai istilah “Pribumisasi Islam”. Maksudnya adalah bahwa Islam itu seperti benih yang bisa dibawa kemana-mana. Supaya benih itu bisa tumbuh di sebuah tempat, ia harus menyesuaikan dengan tanah di tempat itu. Kalau Islam datang di kawasan Melayu ia harus bisa membuat ‘akulturasi’ dengan situasi di Melayu itu. Kalau Islam datang di kawasan Eropa, ia juga harus bisa melakukan ‘akulturasi’ dengan konteks Eropa. Kalau Islam datang di kawasan India, Islam juga harus bisa melakukan ‘akulturasi’ dengan konteks India. Begitu seterusnya di kawasan lain. Inilah yang dimaksud Gusdur dengan Pribumisasi Islam.

Gagasan Gusdur tentang Pribumisasi Islam ini penting karena untuk ‘melawan’ atau menandingi gagasan lain. menurut penulis juga ada di sebagian kalangan Islam memandang bahwa Islam itu adalah ajaran yang historis. Menurut mereka, ajaran Islam itu ya tidak boleh disesuaikan dengan zaman. Islam harus satu, dari zaman Nabi sampai zaman sekarang tidak boleh mengutik-utik. Pemikiran ini bisa benar bisa juga salah. Benar dalam pengertian Islam memang satu, tetapi praktek Islam atau bagaimana Islam itu diterjemahkan secara sosial, budaya dan lain sebagainya itu berbeda-beda. Faktanya memang dari dulu Islam itu berbeda-beda mulai dari perbedaan mazhab sampai pemahaman teologi. Dan manifestasi kulturalnya dalam berbagai lingkungan masyarakat juga berbeda-beda.

Nah dalam hal ini Gusdur ingin menekankan bahwa Islam perlu di pribumisasi. Islam hadir di Indonesia harus bisa menyesuaikan dan melakukan akulturasi dengan konteks Indonesia. Oleh karena itu bagi Gusdur, keislaman dan keindonesiaan atau antara Islam dan ketanahairan (wathoniyah) itu satu dan saling melengkapi atau -dalam istilah Gusdur- komplementer. Jadi jangan mempertentangkan antara Islam dan Indonesia. Jangan mempertentangkan antara Islam dengan Pancasila dikarenakan kedua-duanya saling melengkapi dan tidak boleh dipertentangkan. Dari gagasan Pribumisasi Islam inilah muncul teori Islam Nusantara yang terkenal sekarang ini.

2. Dialog Antar Agama
Adapun gagasan kedua Gusdur yang sangat penting penulis tekankan disini adalah dialog antar agama. Gusdur sejak tahun 80-an awal memang aktif sekali dalam merintis dan mempromosikan serta mempraktekkan dialog antar umat beragama. Dan Gusdur adalah sosok dibalik lahirnya sejumlah lembaga dialog antar umat beragama seperti Inter free Day di Jogja, ICRP dan lembaga-lembaga lain. Bagi Gusdur, inti agama-agama pada dasarnya adalah sama yaitu ingin mencapai kehidupan yang adil dan damai. Keadilan dan kedamaian adalah konsen dari agama-agama di muka bumi ini, karena itulah kerjasama antar agama menjadi penting.

Gagasan Gusdur tentang dialog antar agama ini menurut penulis sangat relevan, di tengah-tengah kecenderungan sebagian umat Islam yang memandang Islam lebih ekslusif misalnya mencemooh pandangan yang berbeda, orang-orang Kristen dianggap sebagai atau dipandang dengan merendahkan diri dan seterusnya, bahkan terkadang terjadi diskriminasi terhadap mereka.

Selain Itu, menyangkut dialog antar agama, perlu dituliskan disini bahwa juga ada ide penting lain yang serupa tapi disumbangkan oleh Cak Nur yaitu dialog antar golongan dalam agama dan itu juga penting. Jadi bukan hanya dialog antar agama tapi juga dialog inter-agama. Karena didalam agama yang sama biasanya ada perbedaan mazhab, pandangan, sekte dan ideologi politik misalnya. Jadi kalau tidak ada dialog yang sehat antara mereka maka yang terjadi adalah kecenderungan saling menyalahkan satu dengan yang lain dan itu bisa mengganggu harmoni sosial.

Walhasil, kita mengharapkan Indonesia ke depan bisa seperti dibayangkan oleh Gusdur yaitu Indonesia yang tanpa diskriminasi, Indonesia yang menghormati hak-hak minoritas. Komitmen Gusdur kepada hak-hak kaum minoritas yang tertindas sangat jelas dan tegas sekali sampai beliau meninggal. Maka sangat layak jika ketika beliau meninggal dianugerahi oleh Pemerintah sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Semoga kita sebagai generasi muda Indonesia mampu mempertahankan, menjaga serta mempraktekkan semangat pemikiran Gusdur ini. Semoga Bermanfaat. Opini Medan, Aulia Rahman

Penulis adalah mahasiswa asal Langkat jurusan Pendidikan Bahasa Arab Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur dan aktif pada komunitas Gusdurian Malang.

- Advertisement -

Berita Terkini