Kritik Atas Isi Novel Gadis Pembangkang

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Di akun instagram @buku_mLawan, kita bisa menemukan kesan bahwa buku ini berisi kisah Gadis Pembangkang yang suka demo-demoan. Tentu bukan sebuah pendapat yang keliru, dan konon beberapa ulasan memuji isi buku tersebut. Tapi, untuk apa dipuji-puji jika bukunya tak dibeli? Hehe.

Novel Gadis Pembangkang tak memberikan kalimat cinta buah-buahan seperti yang dilakukan Dilan, yang membuat Milea melayang. Tak menawarkan sebuah kisah cinta pelik antara laki-laki pribumi dan perempuan berdarah campuran Belanda yang cantik. Gadis Pembangkang mengisahkan seorang Roro Lanjar, gadis dari desa yang beruntung bisa kuliah di Jakarta karena mendapat beasiswa. Seorang gadis yang tak percaya takhayul dan suka mengumpat laki-laki mesum. Pokoknya benar-benar sebuah potret gadis yang tak umum.

Pada setiap bab, saya disuguhkan dengan cerita-cerita sejarah tragis. Ibarat permen karet, entah sudah berapa banyak buku sejarah yang sudah dia kunyah. Dikunyah ya, bukan ditelan mentah-mentah!. Tak cukup sampai di situ, beberapa permasalahan yang diceritakan dalam novel ini memang sedang jadi isu sentral, atau lebih tepatnya, permasalahan yang selalu dihadapi sebagian besar perempuan. Seperti pelecehan seksual dan diskriminasi pada perempuan.

Jadi sebetulnya, beberapa kalimat frontal yang Roro ucapkan itu manifestasi dari penolakan dan perlawanan. Saya merupakan salah satu orang yang lebih dulu fokus pada kalimat apa yang diucapkan, bukan pada apa yang melatarbelakangi kenapa kalimat itu dilontarkan. Semoga sang penulis memberikan maaf untuk Ika yang khilaf.

Roro memang gadis pembangkang yang blak-blakan, kata-kata vulgar sering dia lontarkan dan salah satu musuh dekan. Banyak hal yang tidak baik dari sikap dan perkataan Roro, tapi tetap tak cukup jadi alasan untuk memperkecil kekaguman pada pikiran dan keberaniannya yang menakjubkan. Roro bukan wanita berhijab. Dia juga selalu menolak ajakan kawannya Jahroh saat diajak salat.

Novel ini mengisahkan cerita-cerita yang punya manfaat sekaligus mudharat, sisanya dikembalikan kepada pembaca lagi ingin mengambil yang mana. Kita punya akal, agar penggunaannya lebih maksimal ya mesti sering-sering dipakai berpikir agar tajam nalar. Dipakai menyaring bacaan dan jadi manusia yang tak mudah mengharam-haramkan kawan.

Sebagai manusia yang beragama, Roro ingin mengekspresikan cintanya pada Tuhan dengan cara membantu sebanyak mungkin manusia yang membutuhkan pertolongan. Sungguh sebuah pemikiran yang manis dari seorang gadis pembangkang yang humanis.

Seperti perempuan pada umumnya, Roro juga pernah jatuh hati pada teman SMA. Pada saat LKK jatuh hati pada masternya dan mengirim surat cinta tanpa nama. Dalam semua kemenangannya menghadapi pelbagai persoalan hidup, menurutku Roro kalah pada kisah cinta-cintaan. Dia berani berdebat dengan dekan tapi tak berani mengungkapkan perasannya duluan karena takut pada sebuah penolakan.

Kalau ada hal yang sangat aku sayangkan, daripada kalimat frontal, aku lebih pilih mempermasalahkan perihal yang-yangan. Kenapa mesti takut jika mengungkapkan perasaan juga bisa dijadikan latihan mengasah keberanian, ditolak pun tak apa. Seorang kawan pernah berkata “Sejarah boleh tergenggam di tangan kirimu dan Sains di tangan kananmu, tapi yang uwu-uwu, jangan sampai lepas dari hatimu”.

Masih pada ranah sayang-menyayangkan, saya juga kecewa pada kebiasaan Roro yang pinjam buku teman tapi sengaja tak kunjung dikembalikan. Di HMI juga begitu, katanya barang yang rentan hilang itu buku. Hal-hal seperti itu dimaklumi dan dibiarkan seolah-olah jadi budaya yang baik. Jangan ditiru ya, teman-teman! Lagi pula aku heran, buku yang mestinya dijadikan sumber ilmu yang bermanfaat kok malah didapat dengan cara-cara tak bermartabat.

Sebagai seorang mahasiswa, Roro juga sering ikut aksi-aksi demonstrasi. Sama seperti saya, Roro juga menyukai kopi, hanya saja dia suka kopi yang berwarna hitam sedang saya yang agak kecoklatan. Ketika demo-demoan, Roro menjadi seorang demonstran yang lantang menyampaikan gagasan sedangkan saya hanya masuk dalam barisan, tidak masalah karena yang penting adalah kita semua mau ambil peran.

Jadi kedepannya, semoga sikap Roro yang satu ini bisa dijadikan teladan agar kelak pada saat demo-demoan, lebih banyak lagi perempuan yang turun ke jalan. Mulai dari yang wajahnya polosan, bedak baby-an, foundation-an hingga alisan. Mulai dari ambil peran sebagai orator atau masuk dalam barisan dan pegang meme sindiran untuk pejabat kotor. Perempuan kan sudah terlalu banyak dipolarisasi, dibeda-bedakan sana-sini.

Jadi kalau bisa dari novel ini, ya kita ambillah hal baik yang bisa sama-sama diteladani terlebih sebagai seorang anggota KOHATI. Sama seperti Roro Lanjar, tokoh utama dalam novel ini yang juga HMI Wati.

Penulis: Nur Ika Aprilianingsih, Sekretaris Umum KOHATI HMI Cabang Palu

- Advertisement -

Berita Terkini