Cerpen Politik: Maju Tanpa Perahu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Darmawan memandang kosong ke luar, hanya suara hisapan rokok kretek terdengar dimakan api. Hasan muncul dengan tiba-tiba dari pintu. Kehadiran Hasan yang tiba-tiba itu memecahkan keheningan antara Darmawan dan Zul. Sebagai tuan rumah, Darmawan menawarkan minuman juga pada Hasan seperti Zul sebelumnya.

Dengan sekejap Darmawan langsung menuju dapur. Zul menjelaskan apa yang sedang mereka perbincangkan tadi dengan Darmawan. Dengan cepat Hasan mengerti apa yang dijelaskan Zul. “Aku juga siap membantu Bang Darmawan kalau dia maju nanti.” Kata Hasan. “Aku juga akan ikut kau untuk meyakinkannya, Zul.” Lanjutnya dengan penuh sungguh. Ia rogoh kantongnya. Ah, ternyata rokoknya ketinggalan. “Aku pake dulu rokokmu ya, Zul. Hehe…” Tampaklah dua cerobong asap di ruangan itu.

Tidak begitu lama, Darmawan sudah kembali bergabung dengan dua orang pemilik cerobong asap itu dengan secangkir kopi di tangannya.

“Aku dapat cerita dari Zul tadi, Abang ada kebingungan terkait Abang apakah jadi maju atau tidak di pemilihan Walikota Medan 2020. Apa lagi yang Abang bingungkan?” Tanya Hasan setelah menyeruput kopi. “Tim yang kita bangun selama ini dengan tali persaudaraan masih Abang ragukan? Saat ini masyarakat kota Medan membutuhkan sosok seperti Abang ini menjadi pemimpinnya.” Lanjut Hasan dengan semangat.

“Tidak sedikit pun aku meragukan tim yang kita bangun selama ini.” Jawab Darmawan dengan tegas.

“Terus yang Abang bingungkan apa?” Hasan mengulangi pertanyaannya.

“Kalau maju tanpa perahu, ini suatu hal yang sangat berat perjuangannya. Membutuhkan tenaga dan usaha yang ekstra.” Jawab Darmawan dengan tegas dan serius.

“Bukan berarti tidak mungkin, kan Bang.” Kata Zul.

“Perahu itu maksud Abang adalah partai politik?” Tanya Hasan.

“Iya.”

“Abang pasti sudah tau, bahwa tidak selamanya yang diusung parpol dalam pilkada itu menang. Dan itu bukan satu atau dua daerah, Bang. Bahkan ketika ada calon tunggal yang dihadapkan dengan kotak kosong seperti di Sulawesi, kosong yang menang, Bang. Mohon maaf, Bang. Aku bukan maksud menggurui Abang.” Kata Zul.

“Masyarakat kita sudah muak dengan calon yang diusung parpol yang sering berakhir dijeriji besi. Kasus korupsinya tinggi, Bang. Masyarakat kita muak dengan itu semua.” Hasan menambahi.

Darmawan diam memikirkan kata-kata dua sahabatnya itu. Ruangan itu sunyi sebentar. Hp Darmawan bergetar di atas meja yang memecahkan kesunyian. Ia biarkan saja Hp itu terus begetar. Hasan dan Zul memperhatikan Darmawan. Mereka tidak berani menyuruh supaya mengangkat telfon. Mereka tahu, pembicaraan ini masuk dalam ranah serius.

“Kalau kita tidak memakai perahu, syarat mengumpulkan ribuan fotokopi katepe masyarakat kota Medan harus dilakukan.” Kata Darmawan.

“Itu gampang, Bang. Aku yakin dengan tim kita selama ini, masyarakat akan mau memberikan fotokopi katepe-nya. Apalagi Abang bukan lagi sosok yang asing bagi mereka. Parpol itu kekuatannya administratif secara peraturan aja, Bang. Kekuatan nyata itu ada pada masyarakat. Nah, masyarakat kita sekarang sudah muak dengan calon dari parpol, karena mereka merasa selama ini calon bukan membawa kepentingan masyarakat tapi kepentingan parpol.” Kata Hasan dengan selalu semangat.

“Hari ini masyarakat kita membutuhkan sosok pemimpin yang masih muda, benar-benar tokoh yang bisa masuk kesemua kalangan masyarakat. Bukan pura-pura jadi tokoh karena pengaruh media.” Zul menyeruput lagi kopinya. “Dengan kita maju tanpa parpol, Abang kalau menang maka tidak akan ada tekanan dari parpol, tidak bisa diintervensi parpol untuk memuluskan kepentingan mereka. Jadi, kepentingan masyarakat Medan lebih terpenuhi.”

“Jangan terlalu Abang pikirkan terkait fotokopi katepe. Itu akan kita dapatkan. Tanpa diberi uang, dengan tulus masyarakat akan memberikannya. Masyarakat kita pun ingin membuat sejarah baru, setelah berhasil mencetak sejarah golput terbanyak sepanjang pemilu di negeri ini.” Hasan dengan penuh semangat lagi.

“Masyarakat sudah cerdas memilih sehingga mereka memilih untuk tidak memilih pada pemilihan kemarin. Enam puluh persen lebih tidak memilih karena tidak percaya pada calon-calon yang diusung parpol.” Zul menyeruput kopinya.

“Benar itu.” Hasan sepakat dengan apa yang dikatakan Zul. “Abang sangat dekat dengan berbagai kalangan masyarakat Medan. Sering bersama masyarakat, tanpa susah payah, Abang dapat mengambil hati mereka. Sudah saatnya calon independen bersama masyarakat Medan yang cerdas mengukir sejarahnya.” Lanjutnya dengan penuh optimisme.

“Jadi wakilku siapa?” Tanya Darmawan. “Kita kemarinkan belum ada membahasnya.”

“Nah, ini baru seru.” Hasan tersenyum. “Berarti orang yang dihormati masyarakat Medan ini sudah mau maju, Zul.” Hasan menatap ke arah Zul.

“Wakil Abang tentunya tidak asing lagi bagi masyarakat Medan ini. Ia berasal dari masyarakat biasa, tapi namanya sangat harum seperti Abang.” Kata Zul sambil menatap yakin pada Darmawan.

“Siapa?”

“Bu Sridayanti.” Jawab Zul.

“Ya, aku kenal dia. Seorang perempuan yang peduli pada perempuan dan anak-anak di Medan ini. tapi, apakah dia mau?” Tanya Darmawan lagi.

“Ia juga peduli pada pendidikan dan lingkungan hidup.” Kata Zul menambahi. “Sangat cocok menjadi wakil Abang yang juga peduli rakyat susah.” Lanjutnya.

“Ingat, ya. Aku mengerjakan itu secara ikhlas. Tidak ada maksud lain.” Darmawan mengatakan dengan tegas. Ia tidak mau dihubung-hubungkan dengan apa yang telah diperbuatnya. Membantu masyarakat susah, baginya sudah menjadi kewajiban.

“Maksudku bukan menghubungkan dengan keikhlasan Abang.” Zul takut Darmawan salah paham. “Tapi itu realitas Abang perbuat. Jiwa seperti itulah yang diinginkan masyarakat, Bang.”

“Pasti Bu Sridayanti mau.” Kata Hasan dengan cepat supaya tidak ada perdebatan antara Darmawan dan Zul. “Aku yakin itu, Bang.” Ia menyeruput kopinya.

“Jika suaminya tidak mengijinkan, bagaimana?” Darmawan bertanya ragu.

“Bang. Suaminya itu abang sepupuku. Aku yang coba membujuk dan meyakinkannya.” Kata Zul dengan yakin.

“Jangan-jangan Abang juga khawatir ini kalau Kakak, istri Abang tidak setuju kalau Abang maju. Itu juga yang Abang bingungkan, kan?” Hasan cepat tanggap dengan salah satu apa yang dipertimbangkan Darmawan.

“Sebagai suami yang mencintai istrinya, tak salahkan meminta pertimbangan dari istri?” Jawab Darmawan dengan nada tanya.

“Adek setuju kalau Abang ada niatan tulus demi masyarakat Medan.” Tiba-tiba suara lembut istrinya Darmawan bergabung dengan pembicaraan serius mereka.

“Tuh, Kakak aja setuju, Bang.” Kata Hasan dengan penuh senyuman.

“Sebagai seorang istri, sejak kita dulu bersama hingga sekarang dan sampai kapan pun, aku terus ikut dengan pelihanmu, Bang. Kan Abang yang mengajarkanku bahwa betapa pentingnya membela dan memperjuangkan masyarakat yang hak-haknya dikangkangi oleh sekelompok orang yang menjadikan kekuasan sebagai alat penindasan.” Kata istrinya. “Karena Abang jugalah yang membuatku bergabung dengan lembaga yang peduli pada masyarakat susah.” Lanjut istrinya dengan suara lembut.

Darmawan tidak dapat menutup senyuman bangga pada Sang istri yang saat bicara memegang bahunya dari belakang. Darmawan pun balas memegang tangan istrinya yang menambah niatnya akan maju. Zul dan Hasan pun sedikit kikuk melihat pemandangan romantis itu.

*

Tahun 2020, terkait hasil Pilpres 2019 tidak lagi bahan yang hangat untuk dibicarakan seperti biasanya. Siapa yang terpilih sudah dilantik oleh MPR. Politisi, aktivis dan segenap tokoh masyarakat, telah kembali fokus pada daerahnya. Apalagi mereka yang akan melaksanakan agenda politik tahun 2020, pemilihan kepala daerah.

Seluruh persiapan dan visi-misi untuk mendapatkan suara masyarakat kota Medan telah dipersiapkan dan dikampanyekan oleh Darmawan-Sridayanti serta seluruh tim pemenangan. Syarat mengumpulkan ribuan KTP dengan mudah diselesaikan. Sridayanti pun mendapat ijin dari suaminya demi kepentingan masyarakat kota Medan.

Perjuangan memang tidak begitu mulus dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mengingat lawan mereka diusung oleh parpol, tapi mereka yakin pada Sang Maha penentu dan juga masyarakat Medan yang selama ini mencari sosok yang benar-benar peduli pada masyarakat.

Sebelum pemilihan, ratus ribuan masyarakat kota Medan mendampingi Darmawan-Sridayanti ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencalonkan sebagai Calon Walikota-Wakil Walikota. Setelah itu, saat verifikasi berkas, Darmawan-Sridayanti lolos bersama dua pasangan calon lainnya yang diusung parpol.

Ini fenomena baru, seluruh media independen tidak pernah berhenti memberitakan Darmawan-Sridayanti yang mendapat nomor urut tiga. Ratus ribuan masyarakat kota Medan menunggu. Musim kampanye dan debat dimulai. Pendukung dan relawan pasangan nomor tiga terus bertambah. Media-media sosial online maupun cetak, dan juga media sosial online pribadi terus meyoroti Darmawan-Sridayanti.

Masyarakat menengah ke bawah dan kaum golput pun turun memberikan dukungan dan perlindungan jika ada usaha-usaha dari pihak lain yang ingin menjatuhkan elektabilitas nomor tiga. Visi-misi Darmawan-Sridayanti sangat menyentuh kepentingan masyarakat menengah ke bawah yang selama ini kurang diperhatikan.

Massa pendukung dan relawan terus membludak sampai pemilihan. Ini pertama kali terjadi di Medan. Masyarakat yang berjumlah ratus ribuan turun menyuarakan nomor tiga. Bahkan, masyarakat yang menjadi relawan nomor tiga membuat kotak pengumpulan dana perjuangan. Kali ini, masyarakat yang merogoh kantongnya dengan ikhlas untuk memenangkan yang mereka usung.

Pemberian dari calon lain atau money politic ditolak mentah-mentah oleh mayoritas masyarakat kota Medan. Pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, dan segenap kelompok lain menjadi pendukung setia nomor tiga. Teriakan optimisme kemenangan terus menggelegar di seluruh kota Medan.

Lembaga-lembaga survei pun terkejut melihat hasil survei mereka. Pemilihan sebelumnya ada enam puluh persen lebih tidak memilih calon, dan itu seluruhnya memberikan kepercayaan pada Darmawan-Sridayanti pada pemilihan kali ini. Bahkn berdasarkan survei, kemenangan nomor tiga mencapai lima puluh persen lebih, mendekati enam puluh persen.

Ini fenomena yang nyata di depan mata lembaga survei. Saat hari pemilihan, jumlah pemilih pun mencapai sembilan puluh sembilan persen dari jumlah pemilih tetap. Ini prestasi bagi KPU Kota Medan, dan pengawas pemilu pun begitu nyaman menjalankan tugasnya karena pemilihan berjalan damai dan lancar. Darmawan-Sridamayanti pun mendapat amanah dari masyarakat Medan untuk menjadi Walikota-Wakil Walikota Medan.

“Terimaksih kepada seluruh relawan dan pendukung kami. Tanpa kalian semua hasil ini tidak akan tercapai. Dan kemenangan ini bukan untuk saya, Bu Sridayanti dan juga keluarga kami. Tapi ini untuk masyarakat Medan.” Demikian sedikit dari pidato Darmawan saat deklarasi kemenangan.

Masyarakat berteriak bangga, dan ada yang meneteskan air mata bahagia. “Akhirnya pemimpin kita menang.” Kata seorang ibu yang menonton dari tivi.

“Ada yang ditambahi dari pidato saya, Bu Sri?” Tanya Darmawan pada Wakilnya.

“Tidak ada, Pak. Pidato Bapak sudah sempurna.” Puji Bu Sridayanti.

Darmawan, Sridayanti dan bersama tim pemenangan mengangkat tangan, melambaikannya pada seluruh yang hadir. Para pendukung dan relawan membalasnya sambil meneriakkan kemenangan.

*

Sesampai di rumah Darmawan…

“Dek. Dengan kemenangan ini dan setelah dilantik nanti, Abang tidak lagi hanya milikmu. Tapi, sebagian dariku sudah milik masyarakat kota Medan.” Kata Darmawan ramah pada istrinya.

“Adek tau itu, Bang. Abang memang ditakdirkan untuk masyarakatmu. Panggillah aku jika kamu butuhkan. Penuhilah kebutuhan masyarakatmu terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhanku. Kamu bertanggungjawab apa yang kamu perbuat pada masyarakatmu. Sedangkan aku bertanggungjawab padamu, suamiku. Kamu adalah pelayan masyarakatmu, bukan pelayanku. Aku lah yang menjadi pelayanmu, Bang. Cintailah masyarakatmu sama seperti cintamu padaku.” Sang istri berkata dengan lembut.

Darmawan pun terharu dengan kata-kata istrinya itu. Ia mendekati istrinya kemudian memeluknya. Darmawan mencium kening istrinya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Sang istri merebahkan kepalanya di bahu Darmawan. Saat berpelukan, Darmawan meneteskan air mata haru dan bangga pada istrinya. Begitu juga dengan istrinya yang sangat lembut.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI dan Penggiat Literasi di Sumut).

- Advertisement -

Berita Terkini