Hukum Bekerja di Bank Menurut Syaikh ‘Ali Jum’ah

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Syaikh ‘Ali Jum’ah, ulama kondang Al-Azhar yang pernah menjadi Mufti di Lembaga Fatwa Mesir, sudah lama punya pendapat yang menegaskan bahwa kegiatan transaksi menabung dan mendapatkan bunga dari bank, bukan dikategorikan sebagai akad qardh (hutang). Yaitu, orang yang menabung digambarkan sebagai orang yang menghutangi bank, lalu bank memberikan untung berupa bunga, yang oleh sebagian kalangan dianggap riba.

Menurut beliau, hubungan penabung dan bank bukan berdasar pada akad qardh, tapi akad tamwil yang berarti pembiayaan. Pembiayaan berupa uang yang disimpan, kemudian oleh bank diinvestasikan dengan perhitungan tertentu, kemudian bisa memberikan rabat atau bunga kepada penabung. Menurut beliau, hal demikian itu diperbolehkan.

Syaikh ‘Ali Jum’ah dalam tema hukum bekerja di bank, beliau menjelaskan kalau kedudukan bank itu menjadi pihak perantara antara kegiatan penyimpanan (al-iddikhoor) dengan kegiatan perputaran bisnis untuk mendapatkan keuntungan (al-istitsmaar). Apa yang disimpan tersebut kemudian ditandai dengan dikeluarkannya apa yang kita kenal sebagai uang kertas, supaya masyarakat tidak jual beli dengan menggunakan barang (atau yang dikenal sebagai barter). Uang kertas ini dikeluarkan oleh bank sentral dan ditandatangani oleh mereka, dan dirilis dengan perhitungan agar tidak terjadi uang tidak memiliki nilai sama sekali.

Beliau menceritakan bahwa itu yang pertama kali terjadi di bank yang kemudian menjadi bank sentral di Mesir bernama al-Bank al-Ahli, didirikan oleh Thal’at Basya Harb. Di awal pendirian bank itu, setelah berdiskusi dengan Syaikh Mahdi al-‘Abbasi (Mufti Mesir akhir abad ke-19) kemudian Syaikh Muhammad Abduh bahwa kegiatan di bank adalah menjadi perantara antara penyimpan uang dan orang yang membutuhkan modal, maka keduanya menyatakan status aktivitas di bank itu boleh.

Lalu, kata beliau, muncul penafsiran-penafsiran baru, kritik, atau momentum yang mempertanyakan status hukum Islam terhadap aktivitas di bank. Di sisi lain, aktivitas di bank yang dinamis dan semakin bermacam-macam, menyebabkan terjadinya kesalahpahaman tersendiri dalam memahami apa itu bank, apa saja kegiatan di dalamnya, sampai kegiatan di bank itu sendiri.

Untuk menghindari persoalannya semakin panjang, di Mesir para ulama sudah pernah berdiskusi panjang lebar dengan otoritas keuangan, dan membahas secara rinci persoalan-persoalan hukum Islam yang muncul di perbankan. Ulama berdebat panjang di sana. Diskusi dan debat tersebut baru berakhir di tahun 2004 dengan diterbitkannya undang-undang terpadu (al-Qanun al-Muwahhad) terkait persoalan perbankan.

Undang-undang tersebut memperbaiki beberapa aspek yang masih belum sempurna terkait persoalan hukum Islam dalam perbankan. Undang-undang ini juga yang menyimpulkan bahwa kegiatan perbankan adalah perantara antara kegiatan penyimpanan (al-iddikhaari) dan aktivitas mencari modal untuk berbisnis agar  mendapatkan keuntungan (al-istitsmaar). Dan ini tidak dinamai sebagai qardh (hutang-piutang), tapi tamwiil (pembiayaan). Dari sini, pandangan syariah terhadap bank sudah jelas, dan semua lembaga keuangan – dalam kasus Mesir – mengikuti regulasi undang-undang tersebut. Masalah baru terjadi, jikalau lembaga keuangan melanggar regulasi tersebut, tapi hukum syariahnya, kegiatan perbankan pada dasarnya hukumnya boleh.

Dari situ, Syaikh ‘Ali Jum’ah menandaskan bahwa, menabung atau menaruh uang di lembaga keuangan, mengambil keuntungan yang diberikan, ikut serta dalam kegiatan pembiayaan (funding) untuk pembiayaan bisnis untuk kesejahteraan masyarakat (contohnya: pertanian, industri, fasilitas umum dan sebagainya), termasuk bekerja dalam institusi keuangan, maka hukumnya boleh. Wallahu A’lam. bincang syariah

- Advertisement -

Berita Terkini