“Jika Tidak Suka Ya Jangan Pilih”, Itu Menyederhanakan Masalah dan Tidak Substansi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Kalimat judul di atas secara normatif adalah benar, namun tidak substantif. Kalimat tersebut sama juga dengan, “Pokoknya terpilih suara terbanyak, meski curang!” Berlanjut lagi, “Kalau ada kecurangan laporan saja jangan banyak omong.” Tapi ketika dilaporkan ada lagi suara, “Lebay banget lopar lapor mulu!” Coba perhatikan perdebatan seperti ini termasuk menyentuh substansi persoalan atau sekadar bikin ramai saja? Jika kita bilang tidak bermutu, pasti keluar tuduhan “baper”.

Saya berpikir, bagaimana bangsa ini bisa maju jika yang dibahas bukan substantif? Saya punya cerita. Ada seorang warga pendatang berhasrat menjadi peserta pemilihan ketua RT. Beberapa orang didaftar sesuai dengan persyaratannya. Warga pendatang terbentur aturan, bahwa calon ketua RT harus warga asli (bukan pendatang). Tata tertib pemilihan produk Pengurus RT ditandatangani Ketua RT. Petahana tidak mau membahas perubahan tatib.

Alhasil tatib dilaporkan ke ketua RW yang kebetulan keponakan dari warga tadi. Warga minta tolong kepada ponakannya agar mau mengubah syarat “penduduk asli”. Ponakan mengubah aturan dengan menambahkan, “kecuali telah bermukim sekurangnya 2 tahun”. Tatib dikoreksi tulis tangan, juga diketik ulang dengan tanda cap ketua RW. Atas dasar tersebut, panitia menerima pendaftaran warga itu sebagai calon ketua RT. Warga heboh dan protes kepada ketua RW karena dianggap punya konflik kepentingan.

Pak RW bilang, “Demi Allah saya tidak punya kepentingan apapun. Ini sudah terlanjur diganti tatibnya. Yang memilih dia jadi atau tidak kan bukan saya? Yang memilih itu warga RT. Kalau tidak suka ya jangan pilih,” ujarnya. Warga semakin sewot dan berani membantah, “Masalahnya bukan memilih atau tidak. Tapi ini soal etika, pak RW tidak berhak memutuskan diubah karena semata warga itu pamannya sampeyan,” ucap warga yang marah. “Harusnya kembalikan ada Pengurus RT karena mereka yang membuat,” tutur yang lainnya.

Apa pesan moral yang bisa kita tangkap dari cerita tadi? Bahwa segala sesuatu itu ada aturannya. Coba kita ingat-ingat, mengapa kita tidak tinggal di tengah hutan? Karena sepi, tidak punya teman dan terbelakang. Kalau mau ramai, ada komunitas dan fasilitas teknologi, ya harus mengikuti yang namanya “aturan”. Semakin kita berkumpul dengan banyak orang, berinteraksi dengan beragam kebutuhan, beragam latar belakang manusianya, maka semakin kita diatur agar tidak semau kita saja. Bayangkan setiap orang punya kehendak.

Jika menolak diatur, silahkan hidup di alam bebas yang menggunakan hukum rimba. Itu filosofinya hukum dan aturan serta norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat di mana kita bermukim. Atau pun jika ingin mengubah aturan, ikuti aturan mainnya. Jangan terlibat dalam posisi konflik kepentingan. Jangan melakukan yang bukan kewenangannya. Untuk menjadi calon pemimpin, maka perlu dilihat dan diuji integritasnya dalam proses.

Jika tidak, maka hal seperti itu bisa menjadi preseden buruk dalam rekrutmen pemimpin ke depan. Tidak masalah akal-akalan yang penting menjadi calon pemimpin. Atau, tidak masalah pakai aji mumpung yang penting ikut seleksi. Untuk menjadi seorang calon pemimpin itu tidak mudah, cara-cara buruk (tidak prosedural dan atau menggunakan previlasi) akan menghambat calon lain yang kalah dalam proses pendaftaran.

Padahal kualitas yang gagal tadi mungkin jauh lebih baik dari calon pemimpin yang hanya mengandalkan previlasi. Hal ini tidak cukup dengan mengatakan, kalau tidak suka ya jangan dipilih. Itu sudah pasti, tapi substansinya itu ada pada proses pendaftaran menjadi calon. Banyak yang ingin mendaftar menjadi calon tapi slot kursi hanya satu. Betapa sakit jika kalah seleksi oleh orang yang mendapat keistimewaan. Ketua RW sudah dicopot dari posisinya oleh kepala Dukuh karena dianggap “akal-akalan” dan tidak bijak.

Dalam setiap pemilihan atau rekrutmen apapun, proses itu penting. Apakah ia menyuap untuk menjadi peserta pendidikan angkatan, misalnya? Berhasil atau tidak dalam pemilihan bahkan menjadi nomer dua, yang pertama penting dilihat itu bagaimana proses seleksi pendaftarannya? masalahnya dalam konteks pilpres, tidak semua masyarakat pemilih paham apa yang terjadi dalam proses pendaftaran. Atau, bahkan merasa tidak terlalu penting karena lemah kesadaran.

Mungkin juga karena merasa tidak ada pelanggaran hukum di sana (meski ada pelanggaran etik). Ini jika calon pemimpin hanya bersandar pada legalitas dan bukan legitimasi. Atau pula, ada perasaan takluk dan takut karena yang melakukan adalah “king maker”? Ia kini bahkan sudah dianggap sebagai Waliallah oleh sebagian pendukungnya. Sehingga apapun yang dilakukannya pastilah benar, tidak mungkin salah. Mereka mengikuti saja kehendaknya tanpa banyak bicara.

Banyak bicara berarti dianggap membencinya dan dijadikan sebagai musuh (pihak yang salah). Rasa takut pun mulai dibangun agar tidak berani macam-macam. “Saya punya data intelijen semua parpol. Saya tahu apa agendanya dan kemana tujuannya?” Ucap Pak Lurah. Ditambah lagi dikatakan Projo, Budi Arie, “Semua partai akan berhitung. Jika kalah (calonnya), maka semua partai dipenjara. Ini fakta politik,” tegasnya. Emang boleh ya sampai mengancam begitu?

Banyak sudah akal-akalan atau drama yang terjadi dan dilakukan kubu yang paling ingin berkuasa. Mulai dari teror dan intimidasi (pencopotan tanda gambar dan “patroli” ke markas partai), hingga mobilisasi pengerahan aparat desa (kepala desa dan BPD) untuk mendukung kubu anaknya. “Tidak ada ajakan memilih,” ya tentu saja tapi lihat undangannya, backdropnya dan ada nomer peserta pilpres di baju. Jangan membodohi dengan alasan macam-macam lagi. Akui saja semua, jika memang pada akhirnya “tidak usah dipilih jika tidak suka”.

- Advertisement -

Berita Terkini