Anak Kita

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Keberadaan anak dalam masyarakat kita belum menjadi bagian utama dalam proyeksi berpikir. Dalam kosa kata pembangunan, anak nyaris terabaikan sebagai suatu kepentingan utama. bahkan anak selalu menjadi ‘masyarakat marginal’ “dari stratifikasi sosial yang ada.

Anak selalu terhegemoni oleh kepentingan – kepentingan besar para orang tua. Padahal hakikatnya, anak dalam masyarakat kecil, seperti keluarga; maupun masyarakat besar, seperti bangsa adalah “cermin” berhasil atau tidaknya suatu masyarakat.

Membicarakan anak dengan berbagai persoalan yang mengelilinginya dibutuhkan sikap yang terbuka dan jujur. Sebab tanpa sikap demikian tampaknya sulit untuk dipahami fenomena apa yang sebenarnya ada di balik setiap persoalan yang timbul di dalam komunitas mereka. Advokasi anak dari segala kepentingan besar di luar dirinya tampaknya perlu dilakukan sedini mungkin. Paling tidak, masyarakat dapat memahami betapa pentingnya anak mendapat prioritas dalam berbagai bentuk perilaku dan kosa kata masyarakat ketika kita sedang membangun.

Mengangkat anak dalam komitmen kebangsaan sebagai generasi muda belumlah cukup baik, jika melibatkan mereka hanya pada sektor-sektor kepentingan sesaat, seperti : kepentingan ekonomi, kepentingan politik dan kepentingan sosial semata-mata. Ironisnya kepentingan -kepentingan yang disebut tadi cenderung bermuara kepada kepentingan orang-orang tua dan orang – orang besar saja. Kalaupun dicari-cari hubungan kausalitas dari kepentingan itu kepada anak, sungguh masih jauh dari konteks zaman, situasi dan kondisi, baik secara sosiologis maupun psikologis. Asumsi terhadap anak yang berkembang dalam masyarakat kita selalu jatuh pada tendensi negatif. Anak selalu diklaim dalam premis-premis negatif, seperti: kurang berwawasan, kurang bertanggung jawab, tidak memiliki sopan santun, dalam berbagai ukuran dan lain-lain. Asumsi seperti ini juga , bagian dari betapa besarnya kepentingan- kepentingan orang tua “masuk” ke dalam diri anak. Sehingga tampaknya hanya orang-orang tua saja yang berhak menilai sesuatu terhadap anak. Padahal anak pada hakikatnya adalah memiliki masa depan meminjam istilah Kahlil Gibran bukan milik para orang tua atau masyarakatnya.

Dalam konteks budaya lokal, anak diletakan sebagai doromua “kebudayaan besar” para orang tua dan adat istiadat. Anak di ‘turun’kan sebagai pewaris marga- marga atau bagian dari klan dalam komunitas masyarakatnya. Jika garis keturunan berdasarkan patrilineal, maka anak mengikuti garis ayah, Namun, jika garis keturunannya matrilineal, maka anak menggunakan klan ibu sebagai identitas. Sebagai pewaris “nilai-nilai” budaya yang disebutkan di atas, anak hanya sebagai “penyambung lidah” kebudayaan besar para orang tua, jarang berperan sebagai “interpreter” kebutuhan akan kebudayaan yang diserapnya. Paling tidak, memahami secara obyektif sebuah kebudayaan tanpa harus bersikap permisif. Dengan kata lain “pewarisan” nilai budaya bagi anak masih berbanding asimetris, adialogis dan sebatas membesarkan “marwah” kebudayaan besar orang tua dan komunitasnya. Persisnya, substansi dari akar kebudayaan lokal tidak dapat terungkap secara apik. Sehingga hal ini dapat menjadi penyebab salah satu ke kurang pedulian anak pada budaya-budaya lokal, apalagi yang orientasinya hanya bermuatan primordial.

Dalam konteks beragama, anak juga cenderung memahami anutannya berdasarkan apa dan bagaimana agama yang dipahami para orang tua sebagai suatu kapasitas. Anak sebatas meniru apa yang disampaikan orang tua. Dengan kata lain, dalam diri anak yang hanya ada adalah pengalaman orang tua dalam beragama, tetapi bukan pengalaman yang mendalam tentang agama. Ironisnya, cara agama yang diwariskan orang tuanya itu pula yang dianggapnya paling mengena. Padahal pengalaman beragama setiap orang pastilah berbeda. Bahkan sebaliknya, ada semacam “pemaksaan” bahwa cara-cara dan pengalaman beragama orang tualah yang benar dan patut untuk dilaksanakan. Tahap terakhir inilah yang memungkinkan “ideologi” orang tua lebih utama diserap anak dari pada pesan-pesan agama itu sendiri. Bagi anak yang patuh secara penuh maka kemunginan lain dalam beragama tampaknya tidak memiliki alternatif. Sedangkan bagi anak yang kreatif dalam memahami agama, ia cenderung “menggugat” apa dan bagaimana pengalaman beragama yang dikontribusikan orang tuanya. Anak demikian tampaknya tidak begitu berminatnya mempelajari agama yang sekedar “warisan” tetapi bagaimana “membangun” pemahaman keagamaan yang lebih komprehensif. Dengan demikian anak zaman kini dimanakah sebenarnya posisi keberagamaannya? Ortodoksi atau pluralisme dalam memandang agama? atau ada “agama” lain yang lebih identik dengan identitas mereka kini.

Oleh : Zulkarnain Siregar

- Advertisement -

Berita Terkini