Pemilu 2024, Lahan Basah Untuk Meningkatkan Kesadaran Pemilih Muda Dalam Berdemokrasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Pemilihan Umum (PEMILU) sebagai ajang “pesta demokrasi” akan diselenggarakan pada Rabu, 14 Februari 2024 mendatang. Hal ini sesuai dengan yang dituangkan dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2022. Hasil dari pesta demokrasi ini adalah terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden sebagai lembaga Eksekutif serta anggota DPR, DPD, dan DPRD (Provinsi dan Kabupaten / Kota) sebagai lembaga Legislatif.

Berbicara Demokrasi. Secara etimologis, kata demokrasi bersal dari bahasa Yunani dari perpaduan kata demos (rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan). Perpaduan kata demos dan cratein atau kata cratos membentuk kata demokrasi yang memiliki pengertian umum sebagai sebuah bentuk pemerintahan rakyat (Goverment of the people) dimana kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan secara langsung oleh rakyat atau melalui para wakilnya melalui mekanisme pemilihan yang berlangsung secara bebas.

Dalam sejarah, pemilu nasional pertama kali dilakukan pada tahun 1955 menggunakan sistem proporsional tertutup. Artinya, kursi yang tersedia dibagikan kepada partai politik sesuai dengan imbangan perolehan suara yang didapat oleh partai politik tersebut. Kemudian Pemilu selanjutnya dilakukan pada tahun 1971, 1977, 1987, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Semenjak pemilu tahun 2004 hingga 2019, rakyat memilih langsung pilihannya (Presiden dan Wakil Presiden serta DPR, DPD dan DPRD Tingkat 1 dan 2).

Indonesia sebagai negara demokrasi memberikan kebebasan kepada masyarakatnya yang telah memiliki hak memilih untuk memilih pemimpinnya melalui pemilu. Hak memilih itu diberikan kepada masyarakat yang sudah berumur 17 Tahun pada hari memilih atau yang sudah pernah kawin. Hal ini dijelaskan didalam Undang-Undang No 23 Tahun 2003 Tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden pasal 7 yang berbunyi “Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (Tujuh Belas) tahun atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”.

Kemudian, hal senada juga dijelaskan dalam Undang-Undang No 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan umum anggoda DPR, DPD dan DPRD pasal 19 ayat (1) yang berbunyi “Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (Tujuh Belas) tahun atau lebih atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”.

Melalui 2 dasar hukum tersebut warga negara Indonesia memiliki kesempatan emas untuk berkontribusi dalam ajang pesta demokrasi. Terlebih kepada pemilih pemula dan generasi muda pada umumnya. Berdasarkan data dari KPU RI pada tahun 2019 pemilih muda dengan rentang usia 17-37 tahun mencapai 70-80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Artinya pemilih muda pada 2019 mencapai 35-40%, dan diprediksi meningkat pada pemilu 2024. Artinya potensi besar bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan kualitas Demokrasinya melalui partisipasi pemilih muda pada pemilu 2024.

Namun, angka yang fantastis tersebut akan menjadi sia-sia jika tidak diarahkan mulai dari hari ini. Bebagai pihak mempunya andil yang besar untuk menumbuhkan dan memupuk kesadaran pemilih muda untuk menggunakan hak pilihnya. Mulai dari penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan turunannya), lembaga pendidikan (Sekolah, Kampus dan sebagainya), termasuk juga lembaga masyarakat. Mengingat target yang akan dituju adalah pemilih muda yang notabene Generasi Milenial dan generasi Z, tentu cara yang digunakan harus menggunakan cara yang Relate dengan perkembangan zaman hari ini.

Stackholder dalam pemilu harus mampu melakukan pendekatan yang baik dan menarik kepada calon pemilih muda. Seperti menggunkan platform media sosial (Facebook, Instagram, Twitter, Tik Tok, YouTube dan sebagainya) sebagai ajang sosialisasi. Dengan membuat konten berupa video, slide serta foto yang menarik. Mengingat generasi hari ini adalah generasi yang memiliki kecenderungan dan ketergantungan kepada Gawai.

Selain menggunakan media sosial, penyelenggara pemilu juga bisa mengajak generasi muda untuk menjadi “Duta Pemilih” di daerahnya masing-masing. Seperti membuat “Agent Pengawas Partisipatif” yang bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Serta memberikan edukasi yang kreatif kepada pelajar yang ada di sekolah-sekolah. Dengan memberikan peran tersendiri terhadap pemuda, maka secara tidak langsung memberikan kepercayaan diri dan penguatan tekad untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilu mendatang.

Kemudian, generasi muda harus diberikan pemahaman bahwa hak yang dimilikinya untuk memilih adalah hak yang luar biasa. Sehingga mereka harus memanfaatkannya dengan baik. Jangan sampai generasi muda terjebak dalam paradigma generasi tua yakni “Ikut atau tidaknya dalam memilih, nasib kita akan seperti itu saja”. Pemikiran seperti ini adalah pemikiran primitif yang harus ditinggalkan. Sebaliknya generasi muda harus punya pemikiran “Ini adalah ajang terbaik untuk menuju perubahan”.

Kita tentu berharap, demokrasi kita semakin baik dari hari ke hari. Salah satunya melalui pemilih muda yang menggunakan hak istimewanya untuk memilih. Disamping itu memberdayakan generasi muda untuk menjadi agen of change (agen perubahan) yang akan merubah paradigma masyarakat terhadap pemilu juga tidak kalah penting. Melalui pemilu nanti kita juga berharap dapat menghasilkan pemimpin dan para wakil rakyat yang mensejahterakat rakyatnya. Kebijakan yang diambil adalah demi kepentingan rakyat, bukan untuk sekelompok orang. Serta pemimpin yang terpilih hendaknya paham dengan apa yang disampaikan Rasulullah SAW dalam hadits nya yang artinya “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpimnya”.

Oleh : Zulfadli Akbar (Mahasiswa Universitas PGRI Sumatera Barat & Pemuda Perti Sijunjung)

- Advertisement -

Berita Terkini