Merawat Keberagaman untuk Mewujudkan Kepemimpinan PC IMM Kota Medan yang Progresif dan Kolaboratif

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Kemajemukan dalam masyarakat sejatinya tersusun dari macam-macam elemen yang berbeda. Perbedaan dalam masyarakat ini mencakup budaya, suku, agama, tradisi, ras, etnis sampai dengan yang paling mengakar yakni pemikiran. Hal demikian terjadi dikarenakan setiap individu memiliki potensi untuk berbeda. Perbedaan potensi itu akan membentuk suatu pola kehidupan yang baik bila bergabung dalam satu wadah, dan hari ini kita kenal sebagai keberagaman.

Di Sumatera Utara terdapat salah satu kota yang memiliki pola kehidupan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam suku, ras, agama maupun etnis dalam lingkup multikultural. Kota tersebut adalah Medan, yakni jantung Sumatera Utara. Multikultural merupakan gagasan yang lahir dari fakta tentang perbedaan antar warga masyarakat bersumber etnisitas bersama kelahiran sejarah (Mulkhan, 2005:7), hal ini menjadikan Medan sebagai salah satu kota di provinsi Sumatera Utara yang menyimpan potensi besar dan jarang kita perhatikan.

Potensi yang sebenarnya dimiliki Medan ialah potensi untuk bersatu dalam konteks mencapai kemajuan yang gemilang. Kemajuan ini dapat dicapai bila kita mampu bekerjasama dalam menyatukan perbedaan. Ketika perbedaan itu mulai menyatu akan menciptakan pemikiran yang satu, dengan pemikiran yang satu akan membawa banyak orang kepada tujuan yang satu pula, yakni dalam mengatasi permasalahan Medan pada konteks krisis toleransi.

Di kota Medan ada satu wadah anak muda yang terdidik yang sudah pasti mampu menjadi lokomotif perjuangan dalam hal merawat keberagaman tersebut. Wadah ini kita kenal sebagai Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang dalam hal ini terstruktur pada pimpinan setingkat daerah kabupaten/kota yang disebuat sebagai Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Medan (PC IMM Kota Medan).

Keberagaman yang perlu di rawat oleh kader-kader hebat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dilatarbelakangi sebuah fakta bahwa dewasa ini Indonesia termasuk di provinsi Sumatera Utara dan Medan mengalami krisis toleransi. Krisis ini hampir menjadikannya sebagai provinsi yang rawan permusuhan akibat tindakan yang kurang cerdas.

Mengatasi hal ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang kader-kadernya terdidik tentu perlu berperan aktif untuk kembali mencerdaskan pemikiran kader sampai pada pemikiran seluruh masyarakat. Mulai dari mengkampanyekan kedamaian, memberi penyuluhan dan pendidikan dini. Sebab, bila kita merujuk pada tujuan pendidikan ialah membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas (Lickona, 2013: 7).

Dengan demikian, persatuan yang kita bicarakan diatas terealisasi dan menjadikan kita semua bersatu untuk membangun Sumatera Utara dan Medan menjadi provinsi dan kota yang maju di era revolusi industri 4.0 sekarang ini.

Jika pendidikan berhasil mencerdaskan masyarakat dalam hal multikultural maka diharapkan seluruh masyarakat memiliki sikap toleransi sebagai wujud dari karakter cerdas. Ketika seluruh masyarakat memiliki karakter yang cerdas yakni kemampuan untuk melihat banyak hal dari berbagai sudut pandang dalam mengambil sebuah keputusan guna mencapai tujuan. Hal ini akan membentuk sumber daya manusia yang unggul dan mau bekerja secara kooperatif sehingga sikap rasis dan apatis tidak lagi menjadi penghalang kemajuan masyarakat.

Hari ini kita berada di revolusi industri 4.0 dan terdiri dari tiga kata yakni kata revolusi, industri, dan 4.0, bahkan menuju 5.0. Revolusi adalah perubahan yang terjadi secara cepat dalam tatanan sosial yang mempengaruhi banyak aspek diantaranya budaya yang di dalamnya termasuk pola pikir, gaya hidup, dan pendidikan.

Sedangkan industri adalah sesuatu yang berkaitan dengan proses pengolahan benda atau produk di bidang ekonomi. 4.0 merupakan sebutan untuk menerangkan masa bahwasanya revolusi industri telah terjadi sebanyak empat kali dalam sejarah peradaban dunia.

Revolusi industri 4.0 adalah suatu revolusi industri yang berbeda dari tiga revolusi sebelumnya. Revolusi industri pertama yang terjadi pada abad 17 sampai abad 18 adalah revolusi industri dimana tenaga manusia dan hewan-hewan tergantikan oleh mesin-mesin yang menjadikan proses produksi jauh lebih cepat. Revolusi industri yang kedua di abad 18 sampai awal abad 19, terjadi suatu loncatan ketika ditemukannya alat-alat elektronik berkenaan dengan pemanfaatan listrik, dan sebagainya yang mengakibatkan produksi jauh lebih besar.

Pada revolusi industri ketiga di pertengahan abad ke 19 kembali muncul loncatan yang lebih maju sebab dalam proses produksi memiliki sistem otomatis yang dipengaruhi kerja komputer. Sedangkan di era baru telah lahir revolusi industri keempat yang disebut revolusi industri 4.0. Revolusi ini menggagas pemanfaatan sistem, digital dan teknologi sehingga pemasaran dan konsumsi hasil produksi jauh lebih mudah guna menunjang kehidupan individu manusia dan masyarakat.

Revolusi tetap menjadi bagian dari perubahan sosial sebab perubahan ini membawa dampak yang nyata di masyarakat. Dampak tersebut bisa bersifat negatif ataupun positif. Dampak positif dari revolusi industri 4.0 adalah menjanjikan kemudahan-kemudahan bagi sekelompok orang yang sadar bahwa sedang terjadi perubahan.

Artinya ia mampu mengikuti arus perubahan tersebut, contoh dari hal itu bahwa hanya sebagian orang yang mahir dalam berbelanja online, bertranportasi online memesan makanan secara online dan masih banyak lagi. Sedangkan, dampak negatifnya adalah akan banyak sistem-sistem manual yang tergantikan dan menyulitkan sekelompok masyarakat untuk mengikutinya. Selain itu sifat konsumtif akan melekat pada sebagian masyarakat sehingga untuk memikirkan suatu inovasi baru sangat sulit dilakukan. Tersingkirnya sebagian toko-toko manual dan para pekerja sebagai bukti terjadinya disrupsi di segala bidang.

Senada dengan hal tersebut dikutip dari buku Higher Education in The Era of The Industrial Revolution dikemukakan “The Mckinsey Global Institute released a 2017 report, Harnessing Automation for a Future that Works, which measured the likelihood of automation in 54 countries which covered 78% of the global labor market. What they found reveals the scale of impact of 4IR (Fourth Industrial Revolution). Organized by sector, the data collected show that 50% of current jobs in agriculture, forestry, fishing, and hunting, representing 328.9 million employees, are potentially automatable. For manufacturing, 64% of current jobs are automatable, representing 237.4 million current employees. For retail trade, 54% of current jobs, representing some 187.4 million current employees are automatable.5 When considered by nation rather than industry, we see massive shifts for the world’s biggest economies. McKinsey anticipates that for China 395.3 million employees are in potentially automatable jobs, making up 51% of the labor force.6 In India, 235.1 million employees are working in automatable jobs. And in the United States 60.6 million, or 46% of the workforce, are currently in automatable jobs” (Gleason, 2018:4). Artinya ” Mckinsey Global Institute merilis laporan 2017, Harnessing Automation for a Future that Works, yang mengukur kemungkinan otomatisasi di 54 negara yang mencakup 78% pasar tenaga kerja global.

Apa yang mereka temukan mengungkapkan skala dampak Revolusi Industri Keempat. Diurutkan berdasarkan sektor, data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa 50% pekerjaan saat ini di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, dan perburuan, yang mewakili 328,9 juta karyawan, berpotensi dapat diotomatisasi. Untuk manufaktur, 64% pekerjaan saat ini dapat diotomatisasi, mewakili 237,4 juta karyawan saat ini.

Untuk perdagangan ritel, 54% dari pekerjaan saat ini, yang mewakili sekitar 187,4 juta karyawan saat ini dapat diotomatisasi.

5. Jika dipertimbangkan berdasarkan negara daripada industri, kami melihat perubahan besar-besaran untuk ekonomi terbesar di dunia. McKinsey mengantisipasi bahwa untuk Cina 395,3 juta karyawan berada dalam pekerjaan yang berpotensi dapat diotomatisasi, yang merupakan 51% dari angkatan kerja.

6. Di India, 235,1 juta karyawan bekerja dalam pekerjaan yang dapat diotomatisasi. Dan di Amerika Serikat 60,6 juta, atau 46% dari angkatan kerja, saat ini berada dalam pekerjaan yang dapat diotomatisasi” Berdasarkan kutipan tersebut diketahui disrupsi di berbagai bidang sudah tak terbantahkan di era revolusi industri 4.0. Tidak semua pekerjaan akan tergantikan di era ini tetapi semuanya akan berubah teknis pengerjaannya yang cenderung bersifat digital. Bila situasi tersebut terjadi maka kesejahteraan ekonomi yang berganda dan besar hanya dimiliki oleh beberapa orang saja yakni orang-orang yang mampu memposisikan dirinya di era revolusi industri 4.0.

Dampak sosial dari revolusi industri 4.0 tadi mengajak kita untuk berpikir bersama, agar kita mengetahui cara-cara untuk mampu masuk ke dalam era revolusi ini tanpa terkejut. Dengan cara berkarakter cerdas dalam menyikapi setiap perubahan-perubahan yang terjadi, kita akan mampu membawa diri kita dalam mengikuti arus di era revolusi industri 4.0.

Namun, faktanya diantara kita ada sebagian masyarakat yang belum memiliki karakter cerdas, apalagi di masa krisis toleransi seperti saat ini. Teknologi dan digital masih digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai sarana memecah belah persatuan, bukan untuk berinovasi. Dari masalah ini maka diperlukan suatu pendidikan yang memberi pengajaran tentang cara saling menghormati, mengerti dan toleransi, serta menghargai adanya perbedaan.

Pendidikan yang khas dengan perbedaan itu disebut pendidikan multikultural hal demikian senada dengan yang dikemukakan oleh R. Ibnu Ambaruddin dalam jurnalnya ia menyebutkan pendidikan multikultural adalah proses pendidikan yang diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan selalu mengutamakan unsur perbedaan sebagai hal yang biasa, sebagai implikasinya pendidikan multikultural membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak mempermasalahkan adanya perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang budaya, suku bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat yang ada (Ambaruddin, 2016:31-32).

Dilihat dari kondisi sekarang, di saat sebagian masyarakat sibuk berlomba-lomba ingin menciptakan inovasi terbaru tetapi sebagian lainnya justru sibuk pada kegiatan yang memecah belah, akhirnya sebagian dari masyarakat tersebut seolah-olah menjadi seseorang yang belum teredukasi dengan baik. Pendidikan multikultural sebagai kampanye IMM perlu di gaungkan di kota medan untuk merawat keberagaman, hal ini diharapkan berhasil membangun karakter cerdas anak-anak muda sebagai penerus bangsa.

Anak muda inilah yang berpotensi sebagai sumber daya manusia unggul untuk mampu melakukan kegiatan yang mempunyai kegiatan ekonomis, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan atau masyarakat (Sumarsono, 2003:4).

Bila dilihat dari sejarah, negara kita merdeka karena kita bersatu dalam lingkup toleransi. Namun hal tersebut tidak lagi diperhatikan sebagai motivasi kita untuk mencapai makna semboyan bangsa ini yakni “Bhineka Tunggal Ika”. Sejak dini anak muda dalam IMM dan lingkungannya perlu dibina kesiapan dirinya untuk bekerja sama hingga menimbulkan kesadaran bahwa berbeda itu indah.

Itu sebabnya sangat perlu mempersiapkan sumber daya manusia unggul dari kader-kader kita yang memiliki latar belakang berbeda-beda menjadi potensi untuk dikolaborasikan dalam kompetisi menciptakan inovasi baru di era revolusi industri 4.0 demi mengharumkan Medan, Sumatera Utara, membawa kejayaan Indonesia dan membangun peradaban dunia.

Narasi di atas merupakan pengantar dari sebuah misi besar yang perlu sama-sama kita kerjakan untuk kemajuan bangsa ini. Dari hal terkecil atau elemen terkecil perlu kita selaraskan dalam sebuah tindakan. Hal ini diperlukan agar berbagai tindakan kita mengalami kemajuan yang efektif dan strategis dalam realisasinya.

Hari ini kita yang tergabung dalam wadah anak bangsa, yang terus menjunjung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membawa misi penting sebagai agen dalam tatanan sosial. Memegang mandat khusus sebagai kader umat, kader bangsa, dan kader persyarikatan dalam tri dimensi kader kita.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Memiliki banyak peran dalam progresifitas pikiran, prilaku, tatanan, dan berbagai hal yang erat kaitannya dengan masyarakat. Sebagai Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah harapan yang memiliki sisi perjuangan dalam kemanusiaan atau sering kita sebut sebagai humanis.

Dari sinilah dapat kita tarik sebuah gerbong gerakan yang akan kita jalankan pada rel-rel yang tidak lagi melihat perbedaan itu sebagai sebuah halang rintang untuk kemaslahatan bangsa. Berbagai potensi dapat kita himpun, dan kita torehkan dalam green design dan blue print pergerakan yang akan kita sebut sebagai kolaborasi.

Sejak tadi teori-teori yang di kemukaan di atas merujuk pada sebuah keadaan dan problematika yang begitu nyata dan benar-benar sedang kita hadapi. Kadang kala krisis toleransi mengakibatkan kita tak bisa maju untuk mencapai keberhasilan bersama. Medan yang sejak dulu merupakan metropolitan dengan keberagamannya perlu kita rawat, sebagai wahana belajar dan wahana bermasyarakat yang kian melekat pada tiap kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang memang lahir daripada masyarakat itu sendiri.

Bila kita pupuk toleransi itu, jaminan kesejahteraan dalam ranah kolaborasi akan membawa kita pada kemajemukan yang maju. Sebagai refleksi, jelas nyatanya pada berbagai alasan yang di kemukaan sebelum fokus pikir ini tertulis, dengan kata lain ketika orang-orang di luaran sana sudah sibuk dengan pengembangan teknologi yang dahsyat dan menguasai pasar global, kita hanya sebagai konsumen yang kerap meributkan hal yang sepele dan mempertontonkan ketertinggalan kita. Alias tidak punyanya kita sebuah hal yang disebut progresifitas.

Satu hal penting yang perlu di kemukakan juga di sini adalah halang rintang yang merujuk pada tubuh IMM sendiri. Bila sejak tadi kita membahas hal yang general, sekarang mari kita lihat fakta lapangan dari hal terkecil juga perlu kita sorot sebagai permasalahan toleransi internal yang banyak menggembungkan masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya kubu-kubu yang di selubungi banyak kepentingan.

Harapannya kader-kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang terdidik dan yang anggun moralnya serta unggul intelektualnya tidak mengecap rasa yang pahit akibat dampak dari masalah empedu kita sendiri. Dengan bahasa yang lebih sederhana adalah, merawat keberagaman yang paling sederhana dapat kita lakukan dengan merawat keberagaman pikir internal kita terlebih dahulu.

Menyampingkan ego dan kepentingan-kepentingan pribadi. Serta jangan menjadikan masalah internal yang di bungkus kepentingan sebagai penghalang untuk kemajuan PC IMM Kota Medan. Bila hal ini terjalankan maka, akan terbentuk progresifitas tersebut, dan secara otomatis kolaborasi akan terwujud baik di internal maupun eksternal.

“Tidak berguna banyak paragraf yang penuh dialek di atas bila kita tidak membawanya pada kajian untuk berefleksi.” – AlfauzanRS.

Oleh : Alfauzan Ramadhanny Simangunsong

- Advertisement -

Berita Terkini