Darurat Adab

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Opini – Manusia modern yang mengandalkan budaya Iptek dan lalai memasukkan dimensi agama di dalam Iptek telah melahirkan nestapa. Ini telah diwacanakan oleh Syed Hossein Nasr beberapa dekade silam. Tetapi manusia terus berinovasi dalam ilmu dan teknik dan dengan hal itu mereka mengkategorikan ruang pencapaiannya dalam beberapa era.

Alvin Toffler dan Heidi Toffler dua dekade lalu ketika berkunjung ke kediaman Cak Nur di Tanah Kusir dan bercerita banyak tentang tahapan peradaban umat manusia ini yang mereka ungkap dalam buku _Future Shock_ (1970) dan _The Third Wave_ (1980) yang tecetak 15 juta eksemplar itu.

Di Indonesia berbeda, kata Cak Nur memulai percakapan bersama suami-istri futurolog ini. Di Indonesia peradaban tribalistik, agraris, mekanik dan informatif bercampur menjadi satu yang membuat peradaban Indonesia begitu eklektik dan unik. Untung saja, Islam menjadi agama massa ( _common values_ ), sehingga ketika ada yang menyinggung Indonesia, orang langsung berasosiasi pada _the biggest population of Muslim in the world,_ tanpa menengok ke dalam. Menurut Cak Nur, Islam di Indonesia tepat seperti sabda Nabi S.a.w, 14 abad silam, terasing ( _al-ghuraba_) bak buih di tengah lautan.

Memasuki era kacau ( _disruption era_), disorientasi hidup makin banyak sekali. Para politisi dan publik figur menjadi _unidentified person_ (pribadi yang tak dikenal) jatidirinya lagi karena keasliannya telah diganti dengan pencitraan media. Hidupnya dibentuk oleh media. Segala gerak-geriknya ditentukan oleh media dan dia kehilangan fitrahnya sebagai makhluk merdeka.

Agama di era sekarang ini bukan lagi sebuah _comprehensive commitment_ tapi sekedar sesuatu yang “diperlukan” ketika dibutuhkan ( _something to use but not to life_), misalnya ketika mau dilantik sebagai pejabat barulah mengangkat sumpah dengan Al-Qur’an atau ketika menjadi jenazah baru mayatnya menyentuh lantai masjid.

Sebagai makhluk bertuhan ( _hommo religicus_), manusia harus menyadari dirinya sebagai benda hidup yang digerakkan oleh kekuatan yang melampauinya ( _beyond belief_) kata Robert Bellah. Manusia harus percaya pada kekuatan lain yang rahasia ( _mysterium_), agung ( _tremendum_) dan ancaman yang membuatnya tunduk ( _fascinasum_) ala Rudolf Otto. Satu-satunya cara adalah manusia harus beradab. Karena dengan beradab, manusia mengenal dirinya, alam sekitarnya dan penguasa universal, Allah SWT.

Oleh karena itu, Nabi S.a.w, bersabda _”Addabani Rabbiy fa ahsana ta’dîbí”_ (Tuhanku mengajariku adab membuat aku beradab). Adab identik dengan _al-Dîn_ (agama) yang kemudian menjadi _Tamaddun_ (peradaban). Adab juga identik dengan _akhlaq_ (perilaku hidup) yang seakar kata dengan _khâliq_ (pencipta) dan _makhlûq_ (ciptaan), triplisitas yang membentuk kehidupan. Tanpa Tuhan, alam dan manusia, tidak terjadi kehidupan. Itu sebabnya Tuhan mendklair manusia sebagai pusat kosmik dengan sabda-Nya yang adiluhung, _kuntu khanzan makfiyyan fa-‘aradtu an u’rafa, fakhalaqtu khalqa_ (Aku adalah harta tersembunyi, Aku ingin dikenal maka Ku-ciptakan makhluk), artinya manusia adalah makluk berakhlak ( _hommo ethicus_), sehingga status keadaban manusia menentukan jalannya peradabannya. Jika etikanya baik, peradabannya pasti baik.

Sebaliknya jika etikanya buruk, peradabannya pasti buruk. Dengan kata lain, kultur masyarakat yang _disorder_ akan melahirkan struktur sosial yang disruptif pula. Kultur politik dengan mekanisme yang amburadul akan melahirkan suprastruktur negara yang amburadul pula.

Sekilas gambaran tentang masyarakat dan bangsa kita ini menjadi bahan renungan bagi kita bahwa kita sedang dalam keadaan darurat adab. _Ghalil Adâb,_ (minus etika) menjadi biang kerok semua kekacauan ini. _Wallahu a’lam!_

Ciputat, 120222

Oleh : Ochen Moksen Sirfefa (Ketua Bidang Agama dan Ideologi MN Kahmi 2017-2022)

- Advertisement -

Berita Terkini