Perang Dagang Amerika Serikat Versus China, Indonesia Untung atau Rugi?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Perang dagang antara Amerika Serikat dan China, menjadi isu ekonomi dunia yang tengah tren. Dampaknya banyak dirasakan oleh banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara posisinya memang strategis. Dari sisi letaknya saja, Indonesia sudah barang tentu menjadi rebutan sebagai negara pangsa pasar (negara market place) dari seteru (ring tinju) perang dagang kedua negara yang sama-sama ingin merebut klaim “negara super power–adidaya. ”Indonesia berposisi silang, diapit dua benua Asia dan Australia, dan dua samudera: Hindia dan Pasifik.

Lagi-lagi dengan posisi yang demikian, Indonesia bisa dianggap sebagai epicentrum global. Indonesia merupakan satu-satunya negara cincin api (dilalui garis khatulistiwa) sehingga memiliki kelengkapan sumberdaya alam – sumber energi berlimpah, termasuk di dalamnya kekayaan sosial budaya seperti keragaman etnis, bahasa, agama, budaya. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki inilah maka Indonesia bisa diistilahkan sebagai “raw material” khususnya bagi sektor industri-industri dunia.

Karena dominan negaranya adalah perairan, maka 40 persen jalur perdagangan melalui laut (pelayaran) melintasi bentangan laut Indonesia. Ini artinya Indonesia masuk dalam rute “Sealane of Communications (SLOCs).

Dengan menguasai Indonesia, maka negara-negara yang berkepentingan (penetrasi pasar – ekspansi ekonomi) dipastikan bisa mengendalikan geopolitic choke points ditingkat global. Siapa yang menguasai jalur – perlintasan di Indonesia, maka dia akan menguasai pasar.

Perang dagang antara Amerika dan China diawali ketika Amerika mengalami defisit, Defisit yang kian naik itu, akhirnya membuat Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani kebijakan penetapan bea masuk impor produk asal China. Kebijakan oleh Presiden Donald Trump ini memicu ketegangan antar kedua negara yang sampai sekarang masih tercatat sebagai negara yang menguasai pertumbuhan ekonomi dunia. Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald trump direspon oleh China dengan penerapan tarif yang lebih tinggi atas impor Amerika Serikat.

Selanjutnya china mendirikan AIIB untuk mengimbangi word bank, Asian Infrastructure Invesment Bank (AIIB) – Bank Investasi Infrastruktur Asia yang merupakan konglomerasi keuangan dunia dengan modal mencapai 100 milliar dollar Amerika di klaim guna mengimbangi World Bank dan International Monetary Fund (IMF), hal ini menunjukkan gelagat china untuk menjadi negara adidaya.

Perang Mata uang juga terlihat antara Amerika dan China, dimana China sendiri telah mengumumkan Peluncuran mata uang negaranya Yuan dalam bentuk Yuan digital. Lagi-lagi kemunculan yuan digital ini menjadi pertanda bahwa China tengah mencoba melepas ketergantungan pembayaran transaksi internasional dari dollar AS. Selain menghindari, China sepertinya ingin “melawan” sistem keuangan internasional yang tunduk pada hukum Amerika Serikat.
Lalu bagaimana dampak dari perang datang antara Amerika Serikat dan China?

Dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat dan China menyebabkan peningkatan harga barang di China dan Amerika Serikat, terjadinya trade diversion yang membuka keran ekspor bagi negara ketiga (satelit) untuk mengisi pasar. Dampak lainnya, mengurangi permintaan bahan baku impor di Tiongkok dan Amerika Serikat khususnya bahan baku untuk barang-barang ekspor.

Di Indonesia sendiri, dampak perang dagang kedua negara tersebut sebenarnya tidak signifikan. Sebab, produk yang dikenakan tarif perang dagang bukan fokus pada produk ekspor Indonesia untuk kedua negara. Pangsa pasar Indonesia untuk Amerika Serikat dan China relatif kecil, kemudian Indonesia bukan mitra dagang utama bagi Amerika Serikat, Indonesia berada di posisi 16 sebagai pemasok. Indonesia dominan hanya mengekspor produk-produk tradisional seperti sawit, barang dari karet dan karet.

Hanya saja, dari perang dagang tersebut, Indonesia sebenarnya memiliki potensi peluang pasar untuk mengisi kekosongan pasar dari kedua negara. Semisal pasar produk buah-buahan dan benda dari baja serta aluminium, yang sebelumnya merupakan pasar Amerika Serikat di China, demikian sebaliknya.

Dampak tidak langsung perang dagang Amerika Serikat dan China terhadap Indonesia adalah nilai tukar Indonesia yang mengakibatkan harga barang ekspor Indonesia terdepresiasi. Sudah barang tentu kondisi tersebut perekonomian Indonesia melambat.

Kondisi rentan perekonomian di Indonesia bukan berarti menyurutkan peluang untuk diperhitungkan sebagai kekuatan besar baru dalam rivalitas major powers dalam konstalasi perpolitikan maupun perekonomian global. Indonesia menjadi tumpuan dunia dalam proses pemulihan ekonomi dunia di masa mendatang. Bagaimana tidak, dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, Indonesia tetap menjadi rebutan banyak negara untuk berkontestasi sumber-sumber investasi baru.

Indonesia semestinya harus berupaya memaksimalkan perannya memperjuangkan kepentingannya, di saat negara-negara lain mengambil manfaat dari perang dagang Amerika Serikat dan China. Padahal Indonesia juga letaknya sangat strategis. Setidaknya 40 persen perdagangan internasional melalui jalur laut melewati perairan Indonesia. Sehingga posisinya harus menjadi kawasan strategis dengan melihat celah untuk memainkan perannya mendesain konsep kawasan baru.

Indonesia harus mampu menunjukkan kemampuannya dengan membangun kerjasama yang bernilai dan benar-benar menguntungkan Indonesia. Selain itu, sudah saatnya Indonesia memprioritaskan pengembangan produk-produk nasional.

Oleh : Rahmad Riadi (Peserta Advance Training Badko Riau – Kepri)

- Advertisement -

Berita Terkini