Tidak Bisa Dibiarkan, Ary Dwipayana Hina Guru Besar dan Bahlil Remehkan Mahasiswa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

Istana tampaknya semakin jauh berjarak dengan kampus. Sesuatu yang berbeda di tahun 2013 saat Jokowi ingin mencalonkan diri sebagai presiden (2014-2019). Waktu itu, relawan mencoba ‘mengetuk’ pintu-pintu kampus agar kaum akademisi turut menyuarakan suara demokrasi mendukung Jokowi. Pada waktu itu, cara ini dianggap aneh karena sebelumnya tidak ada melibatkan dosen ataupun kampus.

Kampus dilibatkan guna menarik suara kelas menengah atas yang memiliki pendidikan setingkat sarjana. Dukungan kampus juga menunjukkan memiliki kepercayaan yang tulus dan berintegritas. Karena kampus dikenal sebagai pengawal moral bangsa. Jadi siapapun yang didukung kampus berarti bisa dianggap memiliki kebersihan hati serta punya moral yang tinggi.

Masih ingat pula menjelang reformasi Mei 1998? Kampus juga banyak yang turun menyuarakan aspirasinya menolak kelanjutan pemerintahan Suharto, kala itu. Rakyat pun percaya dan bersama-sama turun ke jalan-jalan menuntut tuntutan yang sama. Peran kampus ataupun perguruan tinggi di setiap perubahan politik yang terjadi di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja.

Mereka selalu hadir meski kemudian tidak mendapatkan apa-apa. Kampus selalu menyuarakan aspirasi rakyat melalui gerakan moral, karena kampus bukanlah partisan. Saya teringat bagaimana dulu UGM menjelang lengsernya Suharto (20-21/5/1998). Di bawah kepemimpinan Rektor Ichlasul Amal, kampus aktif menggulirkan isu reformasi. Tidak hanya itu, bahkan mengantisipasi dengan dapur umum.

Kampus turut menjaga dan melindungi mahasiswa dari kejaran aparat yang memukuli dengan membabi-buta. Rektor turun langsung mengikuti aksi turun ke jalan dengan mengenakan bendera merah putih sebagai ikat kepala. Gelombang aksi memuncak di Yogyakarta saat seluruh elemen dan komponen kampus bergerak dari beberapa titik menuju alun-alun guna bertemu dengan Sri Sultan HB X.

Di beberapa daerah pun kampus-kampus melakukan hal yang sama. Mereka tergerak semata karena tuntutan moral. Mereka tidak berharap menduduki jabatan politik (kecuali individu kampus seperti Amien Rais dll). Kampus menjadi barometer rakyat. Kampus beserta civitas akademikanya dinilai rakyat sebagai lembaga yang masih dipercaya bicara kondisi bangsa.

Sejarah ini dilupakan atau ingin dikaburkan oleh beberapa orang di istana. Padahal mereka juga merupakan alumni perguruan tinggi dan pasti mengetahui bagaimana sepak terjang kampus selama ini. Ada beberapa memang oknum kampus, artinya satu-dua kampus swasta yang oleh rektornya diarahkan pada kekuatan politik tertentu, tapi tidak dengan PTN. Silahkan cek sejarahnya adalah PTN menjadi partisan?

Ary Dwipayana (staf KSP) mestinya menyesal sudah mengatakan ada kemungkinan para guru besar di kampus sudah menjadi partisan. Ucapan Ary ini sempat membuat Prof Koentjoro (UGM) menangis karena merasa dituduh sebagai partisan, “Apa yang kami harapkan untuk kami dapatkan? Tidak ada! Ini sangat menyinggung hati dan perasaan kami,” ucap Prof Koentjoro. Harusnya Ary bersyukur justru mendapat rezeki dipanggil ke istana.

Ya, Ary Dwipayana yang alumni Fisip UGM, adik angkatan saya, justru tidak banyak melakukan aktivitas gerakan moral kampus baik saat reformasi maupun di pilpres 2014. Ia hanya karena ‘dekat’ dan ‘nempel’ dengan Pratikno (yang waktu itu menjabat rektor UGM) sehingga kecipratan pulutnya. Kini dengan entengnya ia mengatakan demikian. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan civitas akademika terutama para guru besar yang dikacangi Ary seperti itu.

Tidak hanya Yogyakarta tapi kampus di beberapa daerah lain kini sudah membacakan petisinya masing-masing. Bagi saya, jika kampus sudah bersuara, ini sudah darurat bangsa (pinggir jurang). Beriringan dengan itu, mahasiswa mulai turun berunjuk rasa menolak pemilu curang. Gerakan ini ditanggapi miring oleh istana. Adalah menteri Bahlil yang tampak meremehkan aksi mahasiswa tersebut.

Bahlil yang merupakan alumnus PerguruanTinggi Ilmu Ekonomi Port Numbay di Jayapura, sebuah perguruan tinggi swasta lokal (mungkin angkatan sekitar 95-96) mengaku dan membanggakan dirinya sebagai aktivis 98 dan ikut dalam gerakan reformasi 1998. Saya melihat catatannya saat dulu dikatakan aktivis tapi sama sekali tidak ada, kecuali pernah bergabung di HMI. Namanya pun baru terdengar setelah menjadi pengusaha dan berada di KADIN.

Lalu ia merasa sudah paling aktivis dari aktivis manapun? Publik kini hanya mengenal bahwa Bahlil sebagai menteri yang paling culas dan banyak mencari muka kepada presiden Jokowi. Itulah mengapa ia bisa menjadi seperti sekarang ini. Ia juga mengaku yang mengusulkan tiga periode Jokowi, terutama kepada PDIP agar didukung di parlemen. Semua usulan itu termasuk menunda pemilu, ditolak keras PDIP.

Ada dagelan yang sedikit diubah menyesuaikan zamannya, disebutkan bahwa mahasiswa takut sama dosen, dosen takut sama aparat, aparat takut sama DPR (politisi), DPR takut sama presiden, dan presiden takut sama mahasiswa. Itulah siklus politik di Indonesia. Jadi sebenarnya, Bahlil dan Ary diliputi kecemasan akan kelanjutan nasib mereka di istana. Mereka butuh kalimat yang sedikit menghibur menganggap semua baik-baik saja.

- Advertisement -

Berita Terkini