Prabowo Kok Jadi ‘Ayam Sayur’, Tidak Segarang di Panggung Kampanye?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Memang sudah tertebak sejak awal, kalau Prabowo hanya mengubah gaya saat debat, tapi tidak ketika ‘manggung’. Ada satu momen di sesi tanya jawab antara Ganjar ke Prabowo.

Jelas sekali Ganjar menantang kejujuran serta keberanian Prabowo mengakui ucapannya ketika pidato di panggung kampanye. Ganjar ingin klarifikasi langsung ucapan Prabowo bahwa yang memilih internet gratis berarti otaknya lambat.

Ini bak serangan dadakan yang menghujam telak ke ulu hati. Sebuah pertanyaan yang tidak disangka akan ditanyakan. Dan tentu saja aulit untuk mengelak, karena seperti yang dikatakan Ganjar, rekam jejak tidak bisa dihapus.

Prabowo hanya menjawab soal perbandingan antara makan gratis dengan internet gratis, tapi sama sekali tidak mengakui soal ledekan yang menurut Ganjar sangat keji, yakni ‘berotak lambat’.

Publik bertanya, mana gaya asli Prabowo, yang dia sendiri bilang akan selalu bicara apa adanya. Artinya, garang bak singa lapar dan menyindir sana-sini? Prabowo di panggung debat menjadi ‘ayam sayur’ yang ingin bergaya cool, tapi kerap terjebak oleh kelakuannya sendiri di luar panggung debat. Dalam debat terakhir malam ini, setidaknya ada 4-5 kali Prabowo melakukan blunder jawaban.

Setelah yang pertama soal tudingannya pemilih internet gratis otaknya lambat, juga Prabowo salah fatal soal ide makan gratis untuk menangani stunting. Ini juga dibantai dengan mudah oleh Ganjar, bahwa dia tidak setuju ide itu. Karena menurut Ganjar, stunting itu dimulai dari ibu hamil, bahkan kepada remaja putri yang usia kawin. Kalau makan siang buat anak sekolah itu untuk menangani gizi buruk.

Dua hal yang berbeda itu ‘kembali ditabrak’ oleh Prabowo dengan mengatakan stunting itu karena gizi buruk. Wah, pasti diprotes banyak ahli gizi dan pengamat kesehatan ibu dan anak nih.

Ganjar setuju jika ibu hamil yang diperhatikan asupan gizinya, bukan ke anak sekolah. Akhirnya, Prabowo menyatakan sendiri memberi makanan terbaik untuk ibu hamil. Ini menunjukkan Prabowo tidak paham soal stunting.

Lalu, soal hak kaum perempuan yang ditanyakan Anies. Prabowo tidak konek dengan apa yang dimaksud dalam pertanyaan Anies. Prabowo justru menjawab normatif soal ibu hamil yang angka kematiannya tinggi hingga perlu diberi makan gratis.

Selanjutnya soal kekurangan dokter hingga Prabowo punya ide mengirim putera-puteri Indonesia untuk belajar ke LN terutama untuk kesehatan dan teknologi.

Anies menjawab, tergantung kebutuhannya apa? Guna meningkatkan kompetensi atau untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter? Mengapa tidak mengirim profesor mengajar di Indonesia? Apakah Prabowo paham mengapa Indonesia kekurangan dokter? Apa masalahnya? Pertama, ada pada pola atau sistem rekrutmen yang terlalu birokratis. Dan kedua, soal trend dokter ataupun calon dokter di Indonesia yang lebih memilih tidak menjadi PNS.

Pada debat ini, Anies lebih bermain aman, tidak biasanya yang kerap menyerang terutama ke Prabowo. Justru Ganjar kini yang lebih banyak menyerang Prabowo.

Over all, debat terakhir ini tidak seperti yang dibayangkan banyak pihak sebagai the final debate. Yang terjadi justru saling dukung ide gagasan. Mungkin juga temanya yang tidak terlalu berbahaya untuk diperdebatkan. Dari tiga kali debat capres, Prabowo tampak paling lemah.

Sementara Anies dan Ganjar bersaing menarik simpatik pemirsa debat. Di media sosial, kedua nama ini juga paling banyak mendapat sentimen positif dan sedikit untuk sentimen negatifnya.

Prabowo sendiri tidak dapat membantu banyak dengan penampilannya yang kerap gagap dan ragu-ragu dalam menjawab. Ya, Prabowo sedang tidak menjadi dirinya sendiri, itu soalnya. Tuntutan tim debatnya justru membuat Prabowo gagal meraih yang terbaik.

Secara elektoral, sedikit banyak tampilan ketiga kandidat tentu akan mempengaruhi. Selain panggung debat juga ada indikator lain yakni panggung kampanye.

Melihat beberapa kali penampilan panggung kampanye Prabowo-Gibran yang hanya sedikit dihadiri massa, ini akan menjadi kepanikan sendiri bagi kubu 02. Tidak heran jika Jokowi harus dengan terpaksa turun gunung. Tapi bagaimana supaya tidak vulgar?

Banyak cara bisa dilakukan presiden petahana yang mendukung Prabowo, mulai dari mengerahkan kekuatan aparat, memanfaatkan kebijakan yang populis (termasuk bansos), atau terpaksa melanggar beberapa ketentuan PKPU hingga aturan perundangan-undangan (pidana pemilu).

‘Warning alarm’ semakin berbunyi keras ketika kaum akademisi mulai turut memberi catatan kritis kepada presiden dan pemerintah agar adil dan netral.

Karena salah satu kekuatan Jokowi dulu adalah adanya dukungan dari kaum cendekiawan di kampus-kampus. Satu persatu perguruan tinggi kini memberikan statement keras atas semua yang dilakukan presiden dan pemerintah selama proses pemilu berlangsung.

Jokowi sendiri seperti bersikap menantang dengan menunjukkan ketidak-netralan itu di depan publik. Kita akan lihat hasilnya nanti pada 14 Februari 2024.

- Advertisement -

Berita Terkini