Mengintip Potensi Bahaya di Balik Pemilu Tidak Netral: Alarm Sudah Berbunyi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

Ketua MK divonis pelanggaran etik, Ketua KPU setali tiga uang. Kalau ada lembaga yang berhak menilai presiden, mungkin ya pelanggaran etik juga.

Semua berawal dari kehendak melanggengkan kekuasaan Jokowi melalui Prabowo yang dianggapnya bisa disetir, bersama anaknya yang menjadi cawapres. Drama terlihat publik demikian vulgar dan kasar.

Semestinya yang menilai presiden adalah rakyat (DPR yang mewakili tidak bersuara). Kemarin kaum akademisi telah mewakili rakyat dengan membacakan deklarasi presiden mundur dari cawe-cawe (alarm bahaya).

Jika itu semua disangkal, mau bagaimana dan kemana lagi tata kelola bangsa ini dibawa? Otoriter? Kekuasaan berpusat pada satu tangan? Kembali ke era orba?

Tidak ada satu kekuatan atau lembaga negara pun yang bisa menilai dan mengingatkan presiden. Apakah menunggu rakyat turun ke jalanan? Ingat, Maret 1998, posisi Suharto dianggap masih kuat.

Tidak ada tokoh dan lembaga yang berani menentang kuasanya. Tapi hanya dalam waktu dua bulan. Pada Mei 1998 kekuasaan yang solid itu runtuh oleh kekuatan rakyat.

Meski penguasa berusaha melawan dengan cara menunggangi aksi massa hingga timbul chaos. Kondisi darurat memungkinkan TNI ambil alih komando keamanan.

Namun pemberontakan yang sejatinya bertujuan membentuk sistem pemerintahan darurat (junta militer) akhirnya gagal karena perpecahan di tubuh TNI sendiri.

Kondisi kekinian menunjukkan gejala yang sama. Namun jika pun ada transisi kekuasaan, tetap waspada kepada anasir yang menunggangi atau memanfaatkan situasi kacau.

Ada dua kekuatan yang sangat mungkin menunggangi yakni, pemerintah sendiri (seperti pamswakarsa dulu) agar bisa diambil tindakan atau sikap politik darurat berupa menunda pemilu dan perpanjang jabatan presiden.

Kekuatan kedua adalah kelompok ekstrim kanan yang berusaha merongrong kekuasaan melalui amuk massa. Namun, kemungkinan kedua ini sulit mengingat mereka tidak memiliki kekuatan militer untuk kudeta.

Semua itu dapat dihindari dengan pelaksanaan proses pemilu yang adil dan pemerintah berlaku netral. Apabila tidak demikian, gelombang arus massa akan bergerak semakin besar. Saya yakin itu.

- Advertisement -

Berita Terkini