Nilai Tukar Petani Sumut Masih Bagus, Tapi Masih Didominasi Petani Kebun Sawit

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Nilai tukar petani (NTP) Sumatera Utara (Sumut) sejauh ini masih cukup baik karena indeksnya ada di atas 100. Sementara kinerjanya dibandingkan, atau mengacu kepada tahun dasar 2018 (100). Sejauh ini besaran NTP di Sumut 123.78 untuk bulan Januari 2023. Angkanya cukup bagus, namun angka tersebut menggambarkan keseluruhan atau rata rata NTP untuk semua jenis petani.

Hal itu dikatakan Pengamat Ekonomi Gunawan Benjamin di Medan, Sumatera Utara, Jumat (17/2/2023).

Padahal, kata Benjamin, besaran NTP tersebut semestinya tidak menjadi tolak ukur daya beli petani secara keseluruhan. Jika melihat besaran NTP di sub sektornya masing masing, maka NTP untuk tanaman perkebunan rakyat, yang dalam konteks ini di dominasi oleh petani kebun sawit menyumbang NTP yang tertinggi di SUMUT. Nilainya mencapai 157.83, mengalami penurunan dibandingkan bulan desember tahun lalu yang sempat di level 160.24.

“Akan tetapi di sisi lainnya, NTP untuk tanaman hortikultura dan tanaman pangan sebesar 91.55 dan 95.28. Ada gap (selisih) yang terlalu lebar antara NTP tertinggi dan terendah, dimana petani tanaman hortikultura dan tanaman pangan yang memiliki daya beli paling buruk saat ini, karena nilai indeksnya ada di bawah 100,” jelasnya.

Sambung Benjamin, petani tanaman pangan dan hortikultura ini punya peran vital dalam menyangga ketahanan pangan di wilayah Sumut. Jadi NTP yang masih terbilang bagus saat ini belum mewakili sejumlah petani yang NTP nya di bawah 100 tersebut. Saya mengatakan bahwa NTP saat ini masih lebih banyak bercerita tentang daya beli petani perkebunan khususnya petani kebun sawit.

“Selain petani perkebunan, petani perikanan juga memiliki NTP di atas 100. Tetapi angkanya yang berkisar 106 hingga 108 juga terpaut cukup jauh dibandingkan dengan NTP perkebunan. Sehingga cerita angka NTP saat ini, masih bercerita bagaimana petani sawit masih mampu menikmati keuntungan dari hasil jual tanamannya mengacu ke tahun dasar 2018,” kata Benjamin.

Dikatakan lagi Benjamin, di tengah kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok belakangan ini. Petani hortikultura dan tanaman pangan membutuhkan perhatian lebih. Indeks harga yang dibayar petani belakangan dalam tren naik seiring dengan kenaikan biaya input produksi dan biaya hidup sehari-hari. Namun, dilema yang kita hadapi sekarang adalah jika harga jual produk pertanian untuk bahan makanan pokok mengalami kenaikan, justru akan memicu terjadinya inflasi.

“Karena jika daya beli petani (hortikultura dan tanaman pangan) mengalami kenaikan, namun didorong oleh kenaikan harga jual produk tanamannya. Maka konsekuensinya adalah harga kebutuhan masyarakat mengalami kenaikan. Namun jika upaya untuk memperbaiki daya beli petani (NTP) dengan upaya untuk menurunkan indeks harga yang dibayar petani. Maka peran pemerintah disini adalah bagaimana menekan biaya input produksi, atau mengurangi pengeluaran petani dengan skema bantuan sosial,” jelasnya.

Lebih jauh Benjamin menjelaskan, acuan keberhasilannya adalah dengan melihat NTP petani yang harus diatas 100. Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menekan harga pupuk dan pestisida. Atau dengan pendekatan memberikan alokasi pupuk bersubsidi, atau juga bisa dengan memberikan bantalan sosial untuk mengurangi beban pengeluaran petani yang NTP nya di bawah 100 tersebut. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini