Pengusaha Masih Suka Simpan Duit di Luar Negeri, BI Rate Harus Naik Selamatkan Rupiah

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Jika membandingkan kinerja mata uang Rupiah sebelum dan sesudah keputusan BI terkait suku bunga acuan. Maka terlihat tekanan rupiah mereda setelah BI menaikkan bunga acuan 50 basis poin. Bunga acuan ada di level 5.25% saat ini. Dan memang sangat terlihat sekali mata uang rupiah melemah di pekan ini, yang menunjukan begitu besarnya tekanan pasar menjelang penetapan besaran bunga acuan oleh Bank Indonesia.

Hal itu disampaikan Analis Pasar Keuangan Gunawan Benjamin di Medan, Sumatera Utara, Kamis (17/11/2022).

“Kalau di akhir pekan kemarin Rupiah sempat menguat di bawah level 15.500. Pada perdagangan hari ini sesaat menjelang pengumuman BI 7 Days Repo Rate, mata uang rupiah sempat mengalami pelemahan hingga menyentuh 15.700 per US Dolar. Sebelum akhirnya sedikit menguat dikisaran 15.660 per US Dolar pada perdagangan sore,” jelas Benjamin.

Lanjut Benjamin, kebijakan BI menaikkan suku bunga acuan sebenarnya terjadi di saat kondisi fundamental ekonomi kita justru menunjukan kinerja yang bagus. Dipekan ini data Neraca perdagangan mencatatkan surplus yang lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Inflasi belakangan ini juga melandai bahkan mampu membukukan deflasi. Tekanan inflasi juga mereda belakangan ini, dan diperkriakan akan tetap rendah hingga tutup akhir tahun.

“Disisi lain, The FED juga diyakini akan bersikap lebih lunak dalam menyikapi kenaikan suku bunga acuannya kedepan, seiring inflasi yang mulai mereda. Sehingga kenaikan bunga acuan saat ini gaungnya adalah menghindari tekanan pada mata uang rupiah yang melemah terhadap US Dolar, sehingga bisa menghindarkan RI dari ancaman potensi inflasi yang lebih tinggi,” kata Benjamin.

Menurutnya, menaikkan bunga acuan berarti memperkecil perbedaan bunga acuan antara BI dengan Bank Sentral AS atau The FED yang saat ini bertengger di angka 4%. Yang tentunya kenaikan bunga acuan tersebut akan lebih banyak memberikan manfaat bagi dana dalam valas dan menghindarkan kita dari tekanan capital outflow. Hanya saja lantas apa gunanya fundamental ekonomi yang bagus, namun rupiah yang justru tertekan saat ini, hingga harus direspon dengan kenaikan suku bunga acuan?

Pertumbuhan ekonomi sebesar 5.7% pada kuartal ketiga, tambah Benjamin, seakan tidak mampu meredam animo pelaku pasar untuk lebih memilih memegang rupiah ketimbang US Dolar. Padahal, dibanyak Negara lain termasuk AS ekonominya saat ini lebih buruk dibandingkan Indonesia. Dari sekian banyak alasan yang mencuat, saya lebih menarik menguliti surplus neraca perdagangan yang seakan tidak mampu menahan pelemahan rupiah.

“Sejatinya disaat terjadi surplus terjadi ada pasokan US Dolar yang siap membuat cadangan devisa kian gemuk. Yang bisa digunakan untuk meredam gejolak rupiah. Tetapi pengusaha (eksportir) kita atau pemilik US Dolar dalam angka besar belum sepenuhnya mau mengkonversi, atau setidaknya tetap menyimpan valasnya di tanah air. Masih berhitung untung rugi bila menyimpan US Dolar disini,” ujarnya.

Padahal, kata Benjamin, bisnisnya ada di tanah air, US Dolar nya didapat dari berbisnis disini. Saat ini nasionalisme dibutuhkan dan harus dibuktikan untuk menjaga agar ekonomi RI bisa tetap berputar ditengah ancaman resesi global. Berurusan dengan buruknya ekonomi global belakangan ini, dibutuhkan keberpihakan kepada tanah air dibandingkan dengan hitungan bisnis semata. Sehingga pelemahan rupiah bisa diredam, dan suku bunga acuan bisa tetap rendah yang nantinya akan bermuara pada akselerasi ekonomi yang lebih baik. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini