Pro Kontra BLT Pasca Kenaikan BBM, Masyarakat Sudah Lapar Jadi Bantuannya Harus Instan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Pendapat yang beragam terkait dengan BLT setelah BBM dinaikkan. Atau ada pendapat lain seperti buat apa repot repot naikin harga BBM, kalau tidak dinaikkan masyarakat juga tidak membutuhkan BLT.

“Jawaban dari pertanyaan seperti itu tentunya akan menuai beragam respon tergantung sudut pandang masing masing. Akan tetapi saya menilai BLT itu dibutuhkan khususnya disaat saat seperti sekarang ini,” kata Pengamat Ekonomi Sumut Gunawan Benjamin, Kamis (8/9/2022).

Menurutnya, kalau BLT tidak disalurkan, pada saat ekonomi tengah mengalami guncangan seperti sekarang, dimana inflasi mengalami kenaikan dan ekonominya terancam stagflasi. Maka daya beli masyarakat terpukul.

“Jadi kalau masyarakat menengah kebawah/miskin tidak mendapatkan BLT disaat banyak kebutuhan masyarakat yang harganya melonjak,” ujarnya.

Maka hal tersebut, sambungnya, justru bisa memicu terjadinya krisis sosial. Artinya biaya hidup masyarakat yang naik tanpa diimbangi dengan pendapatan yang mumpuni, maka akan semakin banyak elemen masyarakat yang berpeluang turut menciptakan kondisi lingkungannya memburuk.

“Indikatornya bisa dilihat dari maraknya pencurian, perampokan, penjarahan atau aksi aksi lain yang mengganggu keamanan serta kenyamanan bermasyarakat,” tambahnya.

Jadi, lanjutnya, ibaratnya saat masyarakat kelaparan, maka yang dibutuhkan itu bantuan instan. Disaat sekarang ini, daya beli masyarakat tengah terpukul akibat kenaikan harga BBM.

“Solusi instannya ada di BLT itu. Kalau dari besaran BANSOS karena BBM naik yang sekitar 150 ribu per rumah tangga miskin, itu menurut hemat saya angkanya sudah mencapai 7%. Jika mengacu kepada angka garis kemiskinan Sumut tahun 2021 sebesar 525 ribu per kapita per bulan, atau sekitar 2.1 juta per keluarga,” jelasnya.

Dia menambahkan, BLT tambahan itu nilainya lebih tinggi dari ekspektasi inflasi di akhir tahun sebesar 6.4%. Jadi pada dasarnya efektif menjaga daya beli masyarakat miskin.

“Terkait kalau diklaim tidak tepat sasaran, makanya agar pemutakhiran data itu dilakukan sebaik mungkin, dan diupdate sesering mungkin. Ujung tombaknya ada di tingkat kepala desa atau lurah,” sambungnya.

Nah, lanjutnya, kalau menjawab kenapa BLT harus diberikan, apakah sebaiknya harga BBM tidak dinaikkan. Sederhana saja, penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah ini lebih tepat dialokasikan untuk Bansos.

“Kalau untuk mengimpor BBM kita butuh valuta asing yakni US Dolar. Jadi penghematan anggaran seharusnya tidak dikaitkan dengan cara berhemat untuk mengimpor BBM,” tambahnya.

Dia katakan, tetapi justru bagaimana ekspor harus dinaikan untuk membiayai impor BBM. Disitu lebih relevan, karena menurut hitungan saya ada sekitar 56% (crude oil) kebutuhan BBM harus diimpor. Kalau harga BBM tanah air dinaikkan, ini kan supaya mengerem laju konsumsi BBM itu sendiri.

“Dengan harapan impor BBM nya secara kuantitas mengalami penurunan. Sehingga kebutuhan US Dolarnya tidak naik, mata uang Rupiah terjaga, dan ancaman inflasi yang lebih besar diminimalisir,” pungkasnya. (Red)

- Advertisement -

Berita Terkini