Terungkap! Benang Merah Hubungan Uang Kripto Dengan Bank Sentral AS

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Harga uang kripto belakangan ini mengalami penurunan harga yang sangat tajam. Namun ada benang merah yang menggambarkan hubungan antara kebijakan yang diambil oleh Bank Sentral AS atau The FED terhadap harga uang kripto.

“Bank sentral AS tercatat sudah 3 kali memberlakukan kebijakan moneter ketat dalam 21 tahun terakhir. Sementara itu kehadiran uang kripto pertama terdesentralisasi yakni Bitcoin lahir pada tahun 2009,” kata Analis Pasar Keuangan Gunawan Benjamin di Medan, Sumatera Utara, Kamis (7/7/2022).

Sejak kelahirannya hingga pada tahun 2018, lanjutnya, harga Bitcoin mulai berfluktuasi yang dicerminkan dengan kinerja dalam bentuk grafik yang bergelombang.

“Aktifitas transaksi bitcoin terpantau mulai aktif di tahun 2018 tersebut. Nah ditahun 2018 itu, Bank Sentral AS atau The FED terakhir kalinya menaikkan bunga acuan di level 3.5%,” imbuhnya.

Harga bitcoin mengacu kepada coinbase.com, di tahun 2018 perlahan mengalami penurunan. Setelah mengalami kenaikan mencapai 200 jutaan lebih di desember 2017, menjelang tutup tahun 2018 harga bitcoin sempat turun hingga di bawah 50 juta.

“Selanjutnya harga bitcoin berfluktuasi dalam rentang harga 46 juta hingga 164 jutaan (periode 2018 hingga akhir 2020),” kata Benjamin.

Tetapi di tahun 2020, khususnya saat The FED mulai menggaungkan kebijakan quantitative easing (QE), harga bitcoin sejak saat itu dalam tren naik atau bullish. Dan diwaktu yang bersamaan, The FED juga melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan suku bunga acuan sebesar 0 – 0.25%.

“QE sendiri adalah kebijakan untuk menambah jumlah uang beredar masyarakat untuk menstimulus perekonomian. Dan pandemi Covid-19 yang mulai merebak di awal tahun 2020, membuat Bank Sentral AS mencetak uang lebih banyak guna menyelematkan kondisi ekonomi AS kala itu,” jelas Benjamin.

Nah, lanjutnya, uang yang mengalir kemasyarakat lewat QE tersebut, ternyata juga mengalir atau dibellikan ke uang kripto. Masih mengacu kepada coinbase.com, harga bitcoin sempat menyentuh 962 juta pada November 2021.

“Setelahnya, hingga hari ini harga bitcoin berada dalam tren turun. Dimana harga bitcoin saat ini dijual dikisaran 306 juta. Nah grafik kinerja harga bitcoin umumnya memiliki pola pergerakan yang sama dengan sejumlah uang kripto lainnya, salah satunya etherum,” jelasnya.

Benjamin mempertanyakan lantas dimana benang merahnya? disaat harga bitcoin menyentuh level tertinggi di November 2021, disaat itu justru The FED mulai mempertimbangkan mengurangi kebijakan QE nya.

Sesuai ekspektasi, sambungnya, QE mulai dikurangi sejak awal tahun ini, dan The FED juga berbalik mengetatkan kebijakan moneter ketat dengan mulai menaikkan suku bunga acuannya.

“Saya menilai QE yang berarti lebih banyak uang US Dolar di pasaran, ditambah dengan kondisi ekonomi yang buruk (resesi) selama pandemi Covid-19, menguntungkan bagi uang kripto,” kata Benjamin.

Ia menjelaskan karena uang kripto dijadikan instrument altenatif dalam mengembang-biakkan uang. Kalau berkaca pada kebijakan QE di tahun 2008 akibat krisis global. QE di masa itu umumnya masuk kepasar keuangaan global terlebih pasar keuangan di Negara berkembang.

“Tetapi pada tahun 2020 hingga saat ini, pandemi yang terjadi di banyak Negara di dunia, membuat uang dari QE mengalir ke uang kripto. Karena investor kuatir dengan kondisi fundamental banyak Negara yang terdampak pandemi, sehingga instrumen investasinya kurang menarik,” jelasnya.

Untuk saat ini, ujarnya, uang di pasar akan melihat US Dolar sebagai instrumen yang menarik. Karena imbal hasilnya masih mau naik lagi.

“Mungkinkah harga uang kripto kembali menarik dan berkinerja spektakuler?. Kita lihat saja nanti kebijakan The FED kedepan, dan kondisi ekonomi kedepan. Setidaknya setelah kebijakan moneter ketat The FED berakhir,” jelasnya.

- Advertisement -

Berita Terkini