Mewujudkan Sekolah/Madrasah yang Responsif Gender

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Semua orang di lahirkan merdeka dan setara mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendak nya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan (Pasal 1 Deklarasi Umum Hak azasi Manusia).

Secara nasional, penduduk baik laki-laki dan perempuan sudah memiliki peluang dan hak yang setara untuk mendapatkan layanan pendidikan bermutu karena hal ini merupakan amanat UUD 1945, misalnya: anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk dapat mengikuti pendidikan sampai ke jenjang pendidikan formal tertentu. Tentu tidaklah adil jika dalam era global ini menomorduakan (Subordinasi) pendidikan bagi perempuan, apalagi jika anak perempuan mempunyai kecerdasan dan kemampuan . Namun demikian kesenjangan gender masih terjadi di beberapa daerah, terkait dengan bidang pendidikan. Oleh karena itu, proses pembelajaran yang responsif gender perlu mendapatkan perhatian penting dan utama untuk mengatasi problem tersebut. Sebenarnya dalam bidang apapun termasuk pendidikan belum terwujudnya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi salah satunya oleh budaya patriarkhi yang sudah mengejawantah dalam pola pikir masyarakat.

Hal tersebut sebagaimana dipertegas oleh Ibu Khoffifah Indar Parawansa sekarang menjabat sebagai Mensos RI, bahwa beberapa hal yang mempengaruhi belum terwujudnya keserasian jender antara lain, masih kuatnya nilai-nilai sosial budaya yang patriakis. Nilai-nilai ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara. Keadaan ini ditandai dengan adanya pembakuan peran, beban ganda, sub-ordinasi, marjinalisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan perempuan tidak memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan serta tidak memperoleh manfaat dari pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki. Di samping itu, ketidaktepatan pemahaman ajaran agama seringkali menyudutkan kedudukan dan peranan perempuann di dalam keluarga dan masyarakat.

Sedangkan Mansour Fakih menyatakan bahwa sejarah perbedaan gender antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Lebih lanjut, Muhadjir M. Darwin dalam bukunya yang berjudul “Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik” mengemukakan bahwa perempuan Indonesia belum terbebas dari masalah ketimpangan gender dan nilai-nilai patriarki sebenarnya memiliki akar yang sangat kuat dalam kebudayaan Indonesia.

Masih dalam wacana di atas, oleh karena itu untuk membongkar realitas budaya yang mengakar tersebut diperlukan sarana yang efektif, yang dalam hal ini adalah melalui pendidikan.

Asumsinya adalah, pendidikan merupakan kunci utama dalam rangka transfer of knowledge, transfer of behaviour bahkan transferof culture, bagi peserta didik. Sehingga dalam konteks kajian ini ketika yang disampaikan kepada anak didik bias gender maka pola pikir yang terbentuk pada peserta didik juga akan bias gender, begitu pula sebaliknya.

1. Keadilan dan Kesetaraan Gender
Keadilan dan kesetaraan gender merupakan suatu kondisi yang setara dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh peluang/kesempatan, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Keadilan gender adalah keadilan dalam memperlakukan perempuan dan laki–laki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini mencakup perlakuan yang setara atau perlakuan yang berbeda tetapi diperhitungkan ekuivalen dalam hal hak, kewajiban, kepentingan dan kesempatan. Keseteraan gender pada hakekatnya berarti mengakui bahwa semua manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab, dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan (Unesco, 2002). Manisfestasi ketidakadilan gender bermacam–macam, secara garis besar ketidakadilan gender termanifestasi dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban ganda.

2. Sekolah/Madrasah Berwawasan Gender
Manajemen sekolah memainkan peran yang sangat penting dalam mendukung upaya untuk mewujudkan sekolah yang berwawasan gender. Sistem manajemen pendidikan di sekolah pada umumnya kurang memperhitungkan aspek kesetaraan dan keadilan gender dalam penyusunan rencana, pelaksanaan, serta dalam evaluasinya. Hal ini dapat dilihat dari peran dan peraturan yang seringkali tidak mencakup aksidan sanksi yang terkait dengan masalah-masalah hubungan gender seperti pelecehan seksual, ejekan (bullying) atau perlakuan tidak senonoh terhadap perempuan yang mempengaruhi hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Di samping itu, sebagian besar sekolah kurang sensitif terhadap pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak perempuan seperti kebutuhan fasilitas ruang khusus bagi anak perempuan pada waktu mereka sedang mendapatkan menstruasi, ketersediaan air, tempat sampah, pembalut wanita, dan sebagainya. Selain pemenuhan kebutuhan sebagaimana telah di sebutkan di atas, perlu diupayakan adanya penyusunan perencanaan dan anggaran responsif gender. Yang di maksud anggaran sekolah responsif gender adalah upaya yang dilakukan sekolah untuk menjamin agar anggaran yang dikeluarkan beserta kebijakan dan program yang mendasarinya dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan setiap warga belajar dari kelompok manapun, baik laki-laki maupun perempuan. Anggaran sekolah berwawasan gender merupakan anggaran yang disusun dan di sahkan melalui proses analisis dalam perspektif gender.

Anggaran yang responsif gender bukan anggran 50% untuk laki-laki dan 50% untuk perempuan. Bukan pula anggaran yang terpisah untuk perempuan dan laki-laki. Dalam konteks sekolah dalam hal ini berhubungan dengan pendidikan, anggaran yang responsif gender mencakup seluruh anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan pendidikan. Karena itu diperlukan adanya kerangka pendanaan dalam menjawab isu gender. Memasukkan perspektif gender dalam kebijakan pendidikan di sekolah bukanlah pekerjaan mudah, karena berbenturan dengan berbagai kepentingan, nilai maupun keyakinan seseorang/sekelompok orang yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan pendidikan. Secara garis besar ada 4 faktor yang memberi kontribusi cukup kuat terhadap terintegrasinya perspektif gender dalam pendidikan di sekolah/Madrasah.

Pertama, Kapasitas sumber daya manusia ( SDM ) yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan pendidikan di sekolah, SDM tersebut tidak bekerja dalam ruang yang vakum, tetapi berinteraksi secara terus menerus dengan faktor-faktor di luar dirinya, sehingga membentuk keyakinan tentang penting tidaknya memasukkan gender sebagai arus utama pada kebijakan pendidikan. SDM yang paham tentang gender, memiliki sensitivitas gender dan memiliki otoritas terkait dengan pembangunan pendidikan disekolah/Madrasah dengan memberi kontribusi sangat kuat terhadap terintegrasinya kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan pendidikan di sekolah. Kedua, Capacity building dan advokasi pengarusutamaan gender di bidang pendidikan di Sekolah/Madrasah, baik terhadap stakeholders pada tingkat internal maupun eksternal Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dirjen pendidikan islam dan yang dilakukan secara berjenjang dari top eksekutif hingga pelaksana di tingkat grass root.

Ketiga, Budaya organisasi yang mengedepankan visi dan misi untuk mewujudkan keseteraan dan keadilan gender. Keempat, Pembentukan dan penguatan jejaring dan kemitraan. Sedangkan ciri-ciri sekolah berwawasan gender, antara lain :

1. Kepemimpinan dilakukan secara horisontal dan team work kooperatif yang ramah dan setuju terhadap perbedaan. Selain itu, manjemen tidak menawarkan peran stereotip gender sehingga menghalangi capaian target Sekolah/Madrasah;

2. Pembagian peranatau posisi fleksibel tergantung pada kebutuhan, kesempatan, komitmen dan kualitas. Bersambung… Opini Sumut, Nazaruddin, S.PdI

Penulis Adalah Ka. MTs Madinatul Ilmi dan ketua IGI Kabupaten Langkat.

- Advertisement -

Berita Terkini