Benturan Kaum Beragama di Era Digital

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa agama dengan berbagai macam namanya tidak pernah mengajarkan suatu keburukan atau pun bentuk kejahatan, kecuali itu suatu agama yang mengandung unsur syirik, mitologi, takhayul dan agama yang diatasnamakan. Agama yang kita yakini kebenarannya saat ini pun jika tidak bisa kita pisahkan dari unsur syirik, takhayul, mitologi, melakukan bentuk kejahatan atas nama agama dan semacamnya pasti akan mengalami masalah.

Beragama atau memiliki suatu kepercayaan itu sifatnya masih dinamis. Bukan nilai-nilai dasar agamanya yang berubah akan tetapi pemahaman dan atau kepercayaan kita lah yang akan berubah sesuai perkembangan pemahaman terhadap agama, ilmu pengetahuan dan kemajuan zaman. Dengan perlahan-lahan ajaran agama yang kita yakini saat ini akan mengalami ujian. Maka tidak jarang dikatakan oleh guru-guru, penceramah-penceramah dan tokoh-tokoh agama, bahwa tingkat keimanan seseorang sering dinamis atau naik-turun.

Beragama sesuatu yang fitrah pada setiap diri manusia. Nurcholish Madjid (1992) selalu menegaskan bahwa manusia tidak ada yang tidak beragama secara absolut, yang biasa disebut ateisme. Walau ada seseorang atau sekelompok manusia mengatakan bahwa mereka tidak memiliki agama atau kepercayaan secara absolut itu tidak mungkin, karena ia akan menjadikan sesuatu apa pun menjadi ajaran kepercayaannya, misalnya itu kepada akalnya, ilmu pengetahuan, menuhankan tokoh-tokoh pemikiran yang ia yakini dan bentuk-bentuk lainnya. Jadi, tidak beragama atau ateisme bukanlah permasalahan utama dalam agama-agama. Tapi mengenai bagaimana keyakinan (iman) yang bercampur antara kebenaran dan kepalsuan (politeisme).

Benturan Kaum Beragama di Era Digital

Sebagai kaum beragama yang tidak tertutup, perkembangan atau kemajuan zaman tidaklah dapat ditolak lagi karena merupakan hukum alam atau hukum Tuhan (Sunnatullah). Perkembangan atau kemajuan zaman akan terus-menerus seiring kemajuan manusia sampai batas waktu yang telah ditentuakan Sang Maha Pencipta. Nah, disinilah letak ilmu dan iman menjadi suluhnya.

Salah satu perkembangan atau kemajuan zaman yang dapat kita rasakan saat ini adalah kemajuan tekhnologi, informasi dan komunikasi lewat internet. Kemajuan zaman ini, masyarakat umum mengatakannya adalah era digital. Dimana secara mayoritas kehidupan masyarakat telah menggunakan sistem digital (internet) untuk memudahkan pekerjaannya. Dengan sistem digital ini memudahkan mencari dan mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya.

Shelina Janmohamed (2017) mengatakan bahwa, internet meruntuhkan penghalang bagi publik dan memudahkan mengakses informasi yang menjadi kebutuhannya. Batas-batas keluarga, suku, dan geografis hilang. Internet memudahkan untuk segalanya, baik berkomunikasi, berbagi cerita, mempelajari sesuatu tanpa batas penghalang dan penuh kebebasan, dapat meningkatkan keimanan dan hal-hal positif lainnya.

Akan tetapi, sangat perlu diingat bahwa di era digital ini bukan berarti era kesempurnaan dari setiap zaman yang pernah ada dan yang akan datang. Kecanggihan dan kecepatan mengakses segala hal dalam layar smart phone kita bukan berarti tidak berdampak negatif. Anak muda yang kita kenal Generasi Milenial, Generasi Y, dan Generasi Alfa, sangat dekat dengan internet akan sangat rentan terpengaruh oleh virus-virus buruk yang dibagikan lewat aplikasi internet dalam smart phone, misalnya lewat Facebook, Intagram, WhatsApp dan media sosial online lainnya. Hal demikian juga berlaku bagi kaum tua pengguna internet.

Dengan kemudahan mengakses (search) dan serta membagikan (share) seluruh apa yang dikehendaki dalam dunia internet dengan sendirinya akan mengalami masalah. Dunia internet adalah dunia maya, akan tetapi bukan berarti tidak ada suatu tindakan kejahatan di dalamnya. Konflik tidak hanya terjadi dalam kehidupan sosial secara langsung, tapi konflik sosial juga bisa lewat media sosial online yang berdampak besar ke kehidupan nyata masyarakat.

Belum lekang dalam ingatan kita bahwa isu-isu hoax menjadi perbincangan alot di masyarakat kita. Berita-berita bohong yang menyebar secara tulisan atau pun video menjadi faktor keresahan masyarakat, khususnya pemerintah dan pihak yang menangani keamanan dan ketertiban masyarakat.

Selain berita-berita bohong, penyebaran suatu video yang seharusnya tidak dikonsumsi oleh seluruh masyarakat menjadi faktor terjadinya konflik sosial di negara kita. Tentunya kita belum lupa bagaimana ceramah Ustadz Somad mendapat tanggapan pedas, hingga sampai dilaporkan kepada pihak polisi terkait isi ceramah beliau yang salah ditanggapi oleh orang-orang. Ada perasaan bahwa baru saja beliau mengucapkan itu, padahal kejadian (ceramah) itu sudah lama berlalu, bukan sebulan atau setengah tahun, tapi malah tiga tahun lalu, kemudian baru viral dan jadi pembahasan.

Siapakah yang salah dan bertanggungjawab atas permasalahan ini? Saya secara pribadi berpendapat bahwa siapa yang menyebarkan atau memajangnya di Youtube lah yang harus ditindak, bukan Ustad Somad yang menjadi bahan pembicaraan. Dan lagi pula ceramah itu secara internal di masjid, untuk kaum Islam, seharusnya tidak melebar ke masyrakat umum. Nah, begitu juga dengan kejadian Ahok. Seharusnya tidak perlu menanggapinya terlalu besar sehingga terjadi konflik sosial walau secara terang-terangan tidak ada yang mengungkapkannya, tapi dalam hati terbersit kebencian. Ini lah sedikit contoh bentuk benturan kaum beragama sebagaimana judul tulisan ini.

Benturan kaum beragama memang bukan hanya terjadi di era digital ini. Benturan kaum beragama sudah sering terjadi di jaman dahulu tapi tidak cepat menyebarnya seperti saat ini. Benturan kaum beragama saat ini karena terprovokasi oleh pihak yang menginginkan kehancuran tatanan masyarakat sosial di negara Indonesia ini. Karena, isu agama menjadi isu yang sangat laku untuk dijual apalagi untuk kepentingan politik praktis. Saya berpikir bahwa inilah salah satu implikasi masalah keimanan yang dimaksudkan Cak Nur.

Era digital menjadi tantangan bagi kita sebagai kaum beragama di Indonesia ini secara khususnya, dan di dunia ini secara umumnya. Masih sangat hangat bagaimana awal pemicu kerusuhan di Papua. Pastinya tidak lepas dari penyebaran sebuah video (walau bukan berkaitan dengan agama) yang berhasil memprovokasi. Tidak menutup kemungkinan nanti terjadi pada konflik atau benturan kaum beragama yang lebih besar dari kerusuhan Papua, ceramah Ustadz Abdul Somad, yang lama seperti Ahok dan kejadian lainnya.

Etika Berinternet Sebagai Solusi

Etika kehidupan bukan hanya ada dalam dunia nyata, apakah itu etika kepada Tuhan, manusia dan makhluk lainnya. Akan tetapi, dalam dunia maya (internet) kita sangat membutuhkan juga yang namanya etika (akhlak). Mengapa harus etika? Sebagaimana yang dikatakan Karl Bart bahwa etika sebanding dengan moral. Kedua-duanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan, tingkah laku manusia, kesopanan dan suatu konstansi.

Etika berinternet tentu sedikit banyaknya ditekankan pada regulasi pemerintah lewat UU ITE yang harus kita perhatikan dan aplikasikan dalam menggunakan internet. Secara sederhananya kita katakan seperti, menyebarkan informasi atau berita yang sifatnya tidak memprovokasi sosial, tidak menyebarkan hoax, tidak mudah terpengaruh serta tidak menelan bulat-bulat informasi atau berita yang disebarkan lewat media sosial online, dan jangan sampai bersikap reaksioner.

Era digital lewat jaringan internet yang kita konsumsi sehari-hari pada saat ini, kita harus menyolidkan kesatuan dan persatuan bangsa. Membuat hubungan baik antara umat beragama, suku, ras dan antar dunia. Jaringan internet kita jadikan untuk membangun peradaban manusia, karena perbedaan adalah hukum alam atau sunnatullah (hukum Tuhan) dan mengandung hikmah. Setiap kita harus mengawasi diri dari berbuat jahat dan melakukan kejahatan. Benturan antar kaum beragama di Indonesia dan seluruh dunia harus dihindari, kemudian memfokuskan membangun tatanan masyarakat madani. Mudah-mudahan![]

Penulis: Ibnu Arsib (Penggiat Literasi di Sumut).

Keterangan : Tulisan ini pernah diterbitkan Koran Harian Analisa di Kolom Opini, September 2019.

- Advertisement -

Berita Terkini