Tugas Utama BEM Berjuang untuk Kesejahteraan Mahasiswa, Sudahkah?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Warga negara yang tidak suka dengan sebuah kebijakan pemerintah adalah sesuatu yang sangat wajar. Begitu pun ketika tidak suka dengan kondisi yang dirasakan nya saat ini. Mengapa dianggap wajar? Karena ada pula pihak yang setuju dengan kebijakan tersebut dan menganggap kondisi saat ini sudah baik. Pro kontra adalah wajar. Yang tidak wajar adalah yang tidak memahami ini. BEM UI adalah salah satunya, dan BEM di beberapa kampus adalah yang lainnya. Saya akan jelaskan.

Jika mereka paham demokrasi, maka pun paham soal beda pendapat. Tinggal jika ingin mengetahui berapa prosentase yang pro dan kontra, lakukanlah polling ataupun pemungutan suara. Pemungutan suara yang paling besar berskala nasional di Indonesia adalah ketika Pilpres dan Pileg 2019 lalu. Jokowi terpilih kembali menjadi presiden periode 2019-2024. Apa maknanya? Jokowi masih dipercaya oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Artinya pula, masih lebih banyak yang pro kebijakan Jokowi ketimbang yang kontra. Akui dan pahami itu sebagai sebuah sistem pemerintahan an politik yang kita sama-sama anut sekarang ini. Itu dulu deh dipahami deggan benar, diakui tidak? Kalau tidak diakui ya selesai lagi diskusinya. Itu namanya memaksakan kehendak yang menyimpang dari teori sistem pemerintahan di Indonesia.

Padahal di Sidang MK juga sudah diputuskan secara sah dan meyakinkan bahwa hasil Pilpres 2019 sudah sesuai dengan konstitusi kita, artinya sah. Hargai dan hormati itu. Oke ya. Lalu, kembali ke soal BEM UI. BEM adalah sebuah organ kemahasiswaan. Kurang lebih, samalah dengan presiden dan lembaga kepresidenannya. Sama pula dengan presiden yang tentu tidak semua orang suka dengan beliau (tadi itu, ada yang pro dan kontra), maka BEM pun demikian.

Apakah semua mahasiswa UI pro dengan apa yang dilakukan oleh pengurus BEM? Pastilah ada yang kontra. Jangankan dengan mahasiswa UI, bahkan antar BEM sendiri. Apakah semua BEM PT setuju atau pro dengan BEM UI? Tidak juga, pasti dan yang kontra. Yang ingin saya katakan, bukan berarti salah apa yang dilakukan BEM UI, namun apa memang sudah apresiatif dan representatif mewakili mayoritas mahasiswa UI?

Jangan-jangan itu cuma style atau gaya-gayaan pengurus BEM UI saja biar dianggap hebat dan berani oleh SJW seperti Najwa Shihab? Itu satu soal selain pula, apakah yang disampaikan mereka yang viral soal Jokowi sebagai The King of Lips Service sudah benar? Itu menjadi perdebatan lainnya (nanti kita bahas). Katakanlah BEM secara sistem sudah dianggap mewakili suara mahasiswa, tapi berani tidak melakukan polling pro-kontra di internal mahasiswa UI?

Itu sebuah metode akademik untuk melihat apakah yang dilakukan BEM sudah sesuai atau belum dengan suara mahasiswa? Jangan mentang-mentang BEM lalu bersikap, berasumsi sendiri dan seenaknya mewakili mahasiswa. Alangkah lebih gentle jika itu disuarakan secara pribadi, karena berat menanggung beban jika mengatasnamakan seluruh mahasiswa melalui BEM. Iya jika mahasiswa setuju, bagaimana jika tidak?

Pertanyaan lain yang justru lebih prinsip dan substantif, apakah BEM sudah mewakili suara mahasiswa untuk mensejahterakan mereka dalam proses perkuliahan di kampus? Karena itu yang menjadi tugas utama BEM. Mahasiswa yang telat atau bahkan tidak mampu bayar SPP, fasilitas kuliah yang minim, dosen killer, sistem perkuliahan yang tidak kondusif dll dsb. Sudahkah mereka berjuang untuk itu?

Apa gunanya punya organ bernama BEM dan memilih pengurusnya jika tidak memikirkan nasib mahasiswa tapi malah genit berpolitik praktis? Oh ya, yang saya tahu, bahwa BEM sekarang ini semata EO untuk acara-acara yang sifatnya karitatif, seperti: seminar, pensi dll. Hanya itu. BEM tidak punya ruh memperjuangkan nasib mahasiswa yang “tertindas” oleh sistem di kampusnya sendiri. Mereka lebih suka mengolok-olok presiden, ngurusin KPK dan produk perundang-undangan.

Mohon maaf ya, mahasiswa dulu menilai ngurusin produk perundang-undangan meski penting tapi itu agak genit dan lebay serta elite. Bukan areanya mahasiswa. Paling ya satu dua mahasiswa yang diserahkan ngurusi publik policy. Karena dulu kami sebagai mahasiswa mengenal dua jalur strategi perjuangan, yakni: atas dan bawah. “Atas” itu berkait dengan advokasi kebijakan, dikenal rada elite. Banyak mahasiswa yang gak mau dan malas ngurusin.

Banyak mahasiswa yang lebih suka dengan strategi ke bawah, yakni pengorganisasian langsung ke mahasiswa dan rakyat (petani, buruh dan nelayan). Nah, beda sekali dengan strategi perjuangan mahasiswa zaman now. Mereka sepertinya (terutama pengurus) lebih suka berdekat-dekatan dengan tokoh partai politik. Mungkin juga sebagai jaminan masa depan yang bisa dijadikan batu loncatan menjadi politikus di Senayan nantinya.

Baiklah, kini kita bahas soal Jokowi. BEM mengatakan Jokowi banyak ketidaksesuaian antara yang diucapkan dengan faktanya, isunya terkait: janji minta dikritik, janji memperkuat KPK, dan soal RKUHP. Adik-adik ku di BEM UI atau di kampus lainnya, ketahuilah kondisi politik terkait kebebasan bersuara saat ini sangat jauh berbeda dengan masa orba. Anda boleh berbuat dan berkata apapun, paling-paling ya dipanggil rektorat ataupun kepolisian. Paling-paling ada yang iseng nge-hack akun medsos. Sakit dan berat?

Jangan baper lah, jangan cengeng. Kakak-kakak kelas mu dulu mendapat deraan yang jauh lebih sadis. Dengarkan cerita mereka atau baca sejarah masa orba. Siapa yang berani kritik dan mengolok-olok Suharto ketika itu? Bahkan sekadar berbisik pun harus sembunyi-sembunyi karena intel menyebar. Dipopor senjata, ditembak, diculik, disiksa bahkan dibunuh adalah resiko yang sudah kami sadari akan kami terima, dan itu fakta. Bukan hanya fiksi karangan Rocky Gerung (master of fiksi).

Kondisi sudah jauh berubah. Kini masyarakat tidak membutuhkan orang berani saja (seperti masa orba), karena semua orang sekarang sudah pemberani semua. Tapi masyarakat butuh pencerahan dengan info yang valid dan dapat dipertanggung-jawabkan. Terlebih anda adalah intelektual muda yang bukan ranahnya mencari panggung supaya disebut hebat karena berani, tapi hebat karena valid dan benar.

Jika memang obyektif, maka sebutkan apa yang positif dari pemerintahan sekarang, mengapa tidak anda angkat? Atau memang BEM sudah menjadi buta mata sebelah dan menganggap semua kebijakan pemerintah adalah salah, sehingga memberi gelar seperti itu? Kebencian yang mendalam (entah apa sebabnya) telah membuat mahasiswa tidak mampu bersikap secara akademis lagi. Kalian pasti berpikir bawa apapun yang tidak beres, pastilah semua kesalahan presiden Jokowi.

Jika itu yang sudah tertanam ya saya tidak perlu lagi meneruskan diskusi, tidak perlu lagi berpikir dialektis, karena hati dan pikiran kalian sudah tertutup sama sekali terhadap pikiran lain. Belajar berpolitik baik dan bagus, bahkan menurut saya wajib hukumnya bagi mahasiswa. Perjuangkan nasib hidup mahasiswa, turun ke lapangan, mengorganisir dan berjuang bersama rakyat. Beri pendidikan politik yang mencerahkan. Bangun bangsa dan negeri ini dengan kontribusi kalian yang positif.

BEM tidak harus berlagak bak politikus oposisi yang ada di senayan. Berpikir subyektif kepada pemerintah, menebar kebencian, berpegang kepada kebebasan berpendapat sebebas-bebasnya tanpa kaedah-kaedah akademik, dan merasa bangga setelah menyerang pemerintah. Maaf saya kurang respek. Sebaliknya, lihat apa yang disampaikan presiden, beliau tidak marah, tidak reaksioner, sangat biasa saja. Bagaimana jika presidennya Suharto? Bayangkan sendiri.

Oleh : Agung Wibawanto

- Advertisement -

Berita Terkini