Demokrasi dan Gempuran Kaum Subaltern

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Dinamika Politik yang teraktualisasi dalam proses demokrasi mengisyaratkan banyak hal yang menarik untuk ditelisik, Meski pilkada langsung di sebagian besar wilayah telah berlalu, sejumlah masalah terkait kelangsungan demokrasi di Tanah Air perlu dikedepankan.

Fakta menunjukkan, warga yang tidak menggunakan hak pilihnya rata-rata 30 persen, bahkan di beberapa wilayah mencapai 50 persen lebih. Kebanyakan golput adalah kaum miskin yang beranggapan, pemilu tidak mengubah nasibnya akibat aspirasi kaum miskin tidak pernah tertuang menjadi kebijakan publik. Karena kaum miskin tidak memiliki akses bicara di panggung politik, mereka mewujudkan kekecewaannya dengan menjadi golput. Itulah bahasa artikulasi kaum subaltern dalam menyampaikan ketidak setujuan politiknya.

Hal ini menjadi menarik distorsi yang mengisyaratkan demokrasi dipersimpangan jalan dengan terminiologi antara Idialita dan Realita menjadi kalkulasi Politik tak seindah dengan alur demokrasi itu sendiri.

Artikulasi perlawanan ”subaltern”

Dalam artikel Can the Subaltern Speak?, seorang post-kolonialis Gayatri Spivak (1985) menegaskan, kaum subaltern adalah mereka yang selalu dalam posisi direpresentasikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti politisi, birokrat, ilmuwan sosial, dan aktivis kemasyarakatan. Mereka tidak pernah bisa merepresentasikan dirinya karena kurang memiliki akses bicara di arena publik. Kaum subaltern adalah kelompok yang selama ini selalu dalam posisi tidak berdaya (disempowered), tidak pernah bisa berbicara di media publik (disenfranchised), dan bersifat marjinal. Golongan ini dapat meliputi kelompok pekerja, petani, perempuan, difabel, rakyat, wong cilik.

Karena tidak bisa merepresentasikan diri, pemerintah sering menjadi pihak yang merepresentasikan kaum subaltern. Contohnya, sederet kebijakan-kebijakan bagi kaum subaltern terkesan memanjakan dan kerap menjadi bingkai dialektik pada mereka seakan pemerintah menjadi bagian yang memproteksi kebutuhan mayoritas kaum subaltern. Pemerintah menganggap sederet program KJP, BPJS, Kartu Indonesia Pintar dan lain sebagainya merupakan kompensasi akan banyak menolong kaum miskin. Bahkan, Trend dalam politik perkotaan yang mengarah pada planalogi masyarakat cosmopolitan, tanpa disadari produk political marketing para politisi kerap memberikan segudang kompensasi bagi target suara yang mengarah pada menjual tipu membeli mimpi. Faktanya, rakyat miskin tetap saja dengan demokrasi yang memaknai habitatnya silent mayoriti.

Para akademisi dan aktivis sosial juga sering merepresentasikan kondisi dan aspirasi rakyat miskin dengan cara membela kepentingan mereka.

Bagi kaum miskin, yang kini dirasakan adalah hidup kian susah. Meski politisi, ilmuwan sosial dan aktivis selalu menyatakan, demokrasi perlu ditegakkan sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan bangsa (termasuk kemiskinan), hidup tetap susah, pendidikan kian mahal, pelayanan kesehatan tidak terjangkau, dan lainnya. Sementara pihakpihak yang merepresentasikan rakyat terus berbicara di ruang publik, kesejahteraan rakyat tak ada perubahan berarti. Maka, logis jika rakyat miskin menjadi distrust terhadap demokratisasi dan melakukan pembangkangan politik.

Memproteksi demokrasi

Jika demokratisasi di era reformasi hanya menghasilkan korupsi yang kian transparan, disparitas sosial yang menajam, politik uang, harga BBM membubung, kesejahteraan rakyat kian buruk, maka pertanyaan kaum subaltern adalah untuk apa berdemokrasi? Siapa yang diuntungkan oleh proses demokrasi? Rakyat miskin yang selalu direpresentasikan atau mereka yang selalu merepresentasikan?

Mungkin pilihan kaum subaltern agar kebijakan publik lebih berpihak kepada mereka adalah dengan cara mengganggu jalannya demokratisasi yang sedang bergulir, seperti menjadi golput, enggan membayar pajak, memacetkan kredit pembangunan, dan melawan penggusuran.

Situasi seperti ini jika tak segera diatasi akan menciptakan fenomena demokrasi beku (frozen democracy), proses yang seolah menuju bentuk demokrasi, tetapi tak pernah sampai pada titik nyata karena hanya berputar-putar di sekitar proses. Dalam sejarah pergerakan politik dunia, demokrasi tidak pernah bisa tegak sendiri, selalu diproteksi pihak yang sedang berkuasa. Karena inti demokrasi adalah kebebasan, partisipasi, dan kompetisi, maka proteksi terhadap demokrasi dengan cara pemerintah mewujudkan insan-insan yang punya SDM untuk mampu berdemokrasi. Caranya, membuat kebijakan yang memudahkan rakyat mengakses pendidikan, kesehatan, dan perumahan agar tercipta SDM yang siap bersaing. Jika pemerintah tak memproteksi demokrasi, pembangkangan kaum subaltern dapat menjadi peringatan, demokrasi bisa berakhir di era reformasi. Opini Medan, Jose Anwar Dalimunthe

Penulis adalah Mantan Ketum KAHMI Medan

- Advertisement -

Berita Terkini