Taman Siswa di Tengah Kaum Jenggoters

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pada saat budaya Indonesia makin intens dijajah oleh budaya Arab, didukung segelintir antek Arab lokal, kelompok sawo matang disini – yang giat mengunggulkan peradaban gurun pasir – ajaran yang diterapkan Ki Hadjar Dewantara di masa pra kemerdekaan sangat relevan dibahas lagi di masa kini.

Ki Hadjar Dewantara (1889 – 1959) menciptakan sistem pembelajaran berbasis kebudayaan untuk tetap mempertahankan kebudayaan asli Indonesia. Sistem pendidikan tersebut dilakukan secara informal dengan menekankan keterampilan tradisional dan nilai-nilai kehidupan orang Jawa, (tentulah kini budaya Nusantara) terutama pada musik dan tarian tradisional.

Sedangkan mata pelajaran yang berasal dari Barat juga diajarkan agar membantu siswa mengatasi tuntutan kehidupan modern saat ini.

“Nationaal Onderwijs Taman Siswa” atau yang sekarang kita kenal dengan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada bulan Juli tahun 1922. Sekolah ini menerapkan sistem pembelajaran yang canggih pada zamannya.

Sistem yang dibuat Ki Hadjar Dewantara ini menghasilkan banyak sekali keuntungan untuk bangsa Indonesia. Selain masyarakatnya diajari untuk menjadi terdidik dan tidak ketinggalan zaman.

Ki Hadjar Dewantara sendiri mengecap pendidikan Belanda yakni ELS (Eropeesche Legere School atau sekolah dasar) untuk anak-anak Eropa dan bangsawan yang ada di Indonesia.
Setelah lulus dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia yang sekarang jadi Kedokteran Universitas Indonesia.

Putra bangsawan dari keluarga keraton, cucu dari Pakualaman III – dari pasangan Gusti Pangeran Harya Surjaningrat – ini masuk organisasi pergerakan Boedi Oetomo yang didirikan oleh Dr. Soetomo. Bersama sama Dr. Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo mereka dikenal dengan nama “tiga serangkai”.

Selain menonjol sebagai tokoh pergerakan dan pejuang kemerdekaan mereka juga pendidik bangsa.

Sejak akhir tahun 1930-an sekolah Taman Siswa sudah menyebar ke seantero Nusantara. Hanya diperlukan delapan tahun saja, sistem pendidikan Taman Siswa ini sudah menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air karena, sistemnya memang diperuntukkan bagi kaum pribumi yang pada masa itu juga masih sedikit dapat mengenyam bangku pendidikan.

Pembelajaran terkait kebudayaan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme ini menjadi tombak perjuangan orang-orang indonesia untuk mengusir Belanda.

Apa yang dimaksud dengan pendidikan yang berbasis kebudayaan itu dalam sistem pembelajarannya murid diajarkan tentang apa saja yang ada di Indonesia, seperti budaya, bahasa, dan banyak hal lagi tentang ke-Indonesiaan. Hal ini ditujukan untuk menumbuhkan rasa Nasionalisme dari peserta didik.

Pada zaman serba “hijroh” – yang memuliakan budaya Padang Pasir akhir akhir ini – dan marak munculnya kaum “hijabers”, “cikranger” – “jenggoters”, jidat hitam, yang melupakan budaya bangsa, gagasan gagasan yang diusung Taman Siswa yang meningkakan kesadaran budaya bangsa dan budaya bangsa sendiri sangat relevan diingatkan dan diterapkan kembali.

Maka pada Hari Pendidikan 2 Mei 2021 ini kini kita diingatkan untuk menyadarkan kembali bahwa kita punya budaya besar yang harus dirawat. Dilestarikan. Bukan malah jadi kambing piaraan yang dicokok kaum “jenggoters”. Jadi Arab Sawo Matang, yang hari hari ber-‘akhi-ukhti’ dan melupakan panggilan sayang, ‘kangmas-mbakyu’ – ‘akang- teteh’ – ‘abang-empok’ – ‘uni uda’. *

PS :
Semboyan Ki Hajar Dewantara,

Ingat ngarsa sung tuladha : di depan memberikan contoh, petunjuk dan teladan.

Ing madya mangun karsa : di tengah memberikan daya, kehendak semangat.

Tut wuri handayani : di belakang memberikan dorongan dan mengawasi.

Oleh : Supriyanto Martosuwito

- Advertisement -

Berita Terkini