Anak Kita : Mengubah Mitos

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Idealnya ada tiga institusi yang berperan penting sebagai wadah pembinaan anak. Ketiga institusi yang disepakati yaitu, antara lain: keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiganya merupakan “The Schooling Society” yang dalam praksisnya yang belum melakukan anak sebagai subyek.

Pada keluarga ada dua dimensi berpikir yang bertahan dalam memperlakukan anak pada masyarakat kita. Pertama, jika keluarga yang mapan secara ekonomi, anak lebih dikendalikan dengan oleh kekuatan-kekuatan materi. Bahkan “dijanjikan” bahwa kemampuan ekonomi lah yang menjamin sukses tidaknya seorang anak.

Anak lebih ditempatkan pada kepentingan sosial ekonomi dan martabat orang tua dari pada kesinambungan kemanusiaan nuraninya sebagai anak. Anak dicekoki dangan kata-kata harus dan jangan, hanya demi kewibawaan orang tua yang sesaat, tanpa dipikirkan bahwa anak sebenarnya ingin “keluar” dari pengaruh “kekuasaan” itu. Tentu dalam proses penumbuhan alami. Praktik pendidikan seperti ini jelas mempertegas kedudukan anak sebagai obyek.

Anak ‘dicetak’ untuk siap pakai sesuai dengan kebutuhan guru, sekolah, masyarakat dan pembangunan. Nilai kognitif murni menjadi standard penilaian atas kecerdasan dan intelegensi seorang anak, bukan bakat dan bidang-bidang yang diminati.

Pertanyaan umum yang berkembang dari belajar hanya tertumpu pada, “Nilai berapa, peringkat berapa dan berapa IP-mu?” Menghadapi ”pola” seperti ini, anak mau tidak mau akan terbingkai dalam satu alur berpikir, tanpa alternatif yang dapat diciptakannya. Oleh karna itu, tidak banyak anak yang hadir kreatif, tanggap dan kritis dari bangku sekolah daripada anak yang sebenarnya berhadapan dengan realitas.

Di masyarakat, anak tampaknya juga mendapat perlakuan yang sama seperti dalam keluarga maupun dalam lembaga pendidikan seperti sekolah. lihat saja model-model ”pola” konsumsi yang berkembang, anak lebih ditempatkan sebagai obyek suatu produksi.

Masyarakat lebih menilai keberhasilan anak dari potensi-potensi ekonomi dari pada potensi sosial dan budaya. Contoh konkret, seorang anak yang bekerja pada pusat kepentingan ekonomi secara langsung lebih mempunyai harkat daripada seorang anak yang menjadi pekerja seni atau seniman. Padahal, belum tentu pekerjaan yang terakhir tersebut akibat langsungnya tidak besar terhadap nurani dan “pencerahan” suatu masyarakat atau bangsa.

Penutup

Sebagai suatu masyarakat yang berangkat dari kekuatan mitos, kepercayaan-kepercayaan historis, kita sebaiknya memilih model apa yang tepat untuk membangun kehidupan anak yang lebih representatif? Di dalam keluarga yang mapan secara ekonomi, belum tentu perangkat-perangkat pembinaan anak dikelola secara modern.

Artinya, apakah anak sudah merupakan bagian penentu kebijakan keluarga, atau setidak-tidaknya dilibatkan sebagai subyek penentu. Di dalam sekolah, anak seharusnya diperkenalkan dengan hal-hal yang relialistis dari pada sekadar menelan butir-butir teori atau konsep. Mampu menilai dan menimbang kondisi nyata yang selalu dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari.

Guru bukan menggurui anak, tetapi memotivasi kepeduliannya terhadap belajar dan menumbuhkan kesadaran akan kreativitas pada dirinya untuk memajukan pertumbuhan pribadi dan kemandiriannya yang berhubungan dengan lingkungan tempat tinggalnya. Bagaimana anak tidak selalu mendengar dan mendapat ‘ancaman’ atau ‘sanksi’ dalam belajar ketika ia menjadi jenuh. Di masyarakat anak tidak hanya menjadi lapisan marginal, tetapi menjadi penting sebagai ”sokoguru” masyarakat. Dengan kata lain, hak-hak asasi anak dalam masyarakat kita menjadi prioritas dalam kosa kata pembangunan. Tanpa hal itu, kita tidak mungkin mengatakan bahwa bangsa ini “sedang membangun” suatu generasi.Semoga.

Penulis : Zulkarnaen Siregar

- Advertisement -

Berita Terkini